BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes mellitus adalah sindrom
kelainan metabolisme karbohidrat yang ditandai hiperglikemia kronik akibat defek
pada sekresi insulin dan atau inadekuatnya fungsi insulin. (Tjekyan, 2007).
Kini
DM menjadi salah satu masalah kesehatan yang besar. Menurut survei yang di
lakukan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO), jumlah penderita Diabetes
Mellitus di Indonesia pada tahun 2000 terdapat 8,4 juta orang, jumlah tersebut
menepati urutan ke 4 terbesar di dunia, sedangkan urutan di atasnya adalah
India (31,7 juta), Cina (20,8 juta), dan Amerika Serikat (17,7 juta).
Diperkirakan jumlah penderita Diabetes
Mellitus akan meningkat pada tahun 2030 yaitu india (79,4 juta), cina, Amerika Serikat (30,3 juta) dan
Indonesia (21,3 juta). Jumlah penderita Diabetes Mellitus tahun 2000 di dunia
termasuk indonesia tercatat 175,4 juta orang, dan diperkirakan tahun 2010
menjadi 279,3 juta orang, tahun 2020 menjadi 300 juta orang dan tahun 2030
menjadi 366 juta orang. (Dr. Hasdianah H.R, 2012).
Di
Indonesia berdasarkan penelitian epidemiologis didapatkan prevalensi Diabetes
Mellitus sebesar 1,5 – 2,3% pada penduduk yang usia lebih 15 tahun, bahkan di
daerah urban prevalensi DM sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%.
Prevalensi tersebut meningkat 2-3 kali dibandingkan dengan negara maju,
sehingga Diabetes Mellitus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius,
dan dapat terjadi pada lansia. (Dr. Hasdianah H.R, 2012).
Peningkatan
kejadian DM juga tercermin di tingkat provinsi khususnya provinsi Sulawesi
Selatan. Berdasarkan surveilans rutin penyakit tidak menular berbasis rumah
sakit di Sulawesi Selatan tahun 2008, DM termasuk dalam urutan keempat penyakit
tidak menular (PTM) terbanyak yaitu sebesar 6,65% dan urutan kelima terbesar PTM
penyebab kematian yaitu sebesar 6,28%. Bahkan pada tahun 2010, DM menjadi
penyebab kematian tertinggi PTM di Sulawesi Selatan yaitu sebesar 41,56%.
Peningkatan kasus diabetes melitus juga terjadi di tingkat kabupaten/kota,
khususnya di Kota Makassar. Diabetes mellitus menempati peringkat kelima dari
10 penyebab utama kematian di Kota Makassar tahun 2007 dengan jumlah sebanyak
65 kasus. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Makassar, angka kejadian
penyakit diabetes mellitus pada tahun 2012 sejak bulan Januari hingga Desember
sebanyak 7000 kasus (Sari dkk, 2013).
Data
penderita DM di Rumah Sakit Tk II Pelamonia Makassar tahun 2012 tentang jumlah
sebanyak 1.375 orang, tahun 2013 tentang jumlah sebanyak 1.568 orang, tahun
2014 tentang jumlah sebanyak 1.792 orang (Rekam Medik Rumah Sakit Tk II
Pelamonia Makassar, 2015). Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan
jumlah penderita DM dari tahun ke tahun. (Pabateh dkk, 2015)
Diabetes
Mellitus merupakan suatu penyakit kronis yang disebabkan oleh faktor keturunan,
karena didapat atau keduanya bersamaan, yang mengakibatkan berkurangnya
produksi insulin oleh pankreas atau insulin yang dihasilkan tidak efektif.
Insulin sendiri dibutuhkan untuk mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan
menyalurkannya ke dalam sel-sel tubuh yang membutuhkan. Karena adanya gangguan
produksi dan atau efektifitas insulin kurang, maka pada penderita diabetes
terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia). (Nurpalah &
Aryanti, 2014).
Diabetes
Mellitus sering disebut dengan the great imitator, yaitu penyakit yang
dapat menyerang semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai
keluhan. Penyakit ini timbul secara perlahan-lahan, sehingga seseorang
tidak menyadari adanya berbagai perubahan dalam dirinya. Perubahan
seperti minum menjadi lebih banyak, buang air kecil menjadi lebih
sering, dan berat badan yang terus menurun, berlangsung cukup lama dan biasanya
cenderung tidak diperhatikan, hingga seseorang pergi ke petugas kesehatan dan
memeriksa kadar glukosa darahnya. Atau biasanya pasien DM datang ke Rumah Sakit
atau pelayanan kesehatan lainnya setelah muncul komplikasi. Komplikasi DM
bersifat menahun (kronis), terutama pada struktur dan fungsi pembuluh darah
yang disebut makroangiopati dan mikroangiopati. Jika hal ini dibiarkan begitu
saja, akan timbul komplikasi lain yang cukup fatal, seperti penyakit jantung,
ginjal, kebutaan, aterosklerosis, bahkan sebagian tubuh bisa diamputasi. Dampak lain yang jarang terpantau
adalah gangguan elektrolit akibat dari buang air kecil yang berlebihan karena
adanya diuresis osmosis. (Upoyo
dkk, 2015).
Hiperkalemia (kadar kalium serum >5,0 mEq/L)
terjadi karena peningkatan masukan kalium, penurunan ekskresi urin terhadap
kalium, atau gerakan kalium keluar dari sel-sel. Perubahan pada kadar kalium
serum menunjukan perubahan pada kalium CES (cairan Ekstraseluler), tidak selalu
pada kadar tubuh total. Pada ketoasidosis diabetik sebagai contoh kalium dalam
jumlah besar dapat hilang pada urin karena diuresis osmosis akibat glukosa.
(Nurpala & Aryanti, 2014)
Dalam
diabetes kalium sangat berguna dalam meningkatkan kepekaan insulin, sehingga
proses pengurasan gula dalam darah berlangsung efektif, kalium juga menurunkan
resiko hipertensi serta serangan jantung pada penderita diabetes. Bagi
penderita diabetes dengan insulin, asupan kalium jauh lebih penting karena
insulin memerlukan banyak kalium. (Indriani, 2012)
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka sebagai peneliti bermaksud untuk meneliti “Gambaran Hasil Kadar Elektrolit (Kalium)
Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe II”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka peneliti
merumuskan masalah sebagai berikut “Bagaimanakah Gambaran
Hasil Kadar Elektrolit (Kalium) pada penderita Diabetes Mellitus Tipe II” ?
C.
Tujuan Penelitian
Untuk
mengetahui gambaran hasil kadar
elektrolit (kalium) pada penderita diabetes mellitus tipe II.
D.
Manfaat Penelitian
1. Akademik
Sebagai sumbangsih
ilmiah bagi almamater program studi
D-III Analis Kesehatan
STIKes Mega Rezky Makassar.
2. Mahasiswa
Memberikan informasi
tambahan dalam peningkatan mutu terhadap pemeriksaan Kimia Klinik khususnya pemeriksaan Elektrolit (Kalium).
3. Masyarakat
Untuk memberikan pengetahuan pada masyarakat
khususnya pada penderita Diabetes Mellitus agar menjalankan pola hidup sehat.
4. Peneliti
Menambah pengetahuan dan pengalaman penulis
dalam mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama masa perkuliahan utamanya
dalam bidang laboratorium.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tinjauan
Umum Tentang Diabetes Mellitus
1.
Pengertian Diabetes Mellitus
Diabetes
Mellitus (DM) merupakan penyakit kelainan metabolisme yang disebabkan kurangnya
hormon insulin. Kelainan ini bersifat kronis yang menganggu metabolisme
karbohidrat, protien maupun lemak. (Upoyo dkk, 2015). Diabetes mellitus tipe II adalah jenis DM yang
paling banyak ditemukan di masyarakat. (Trisnawati & Setyorogo, 2013).
Berikut pengertian diabetes mellitus
dari berbagai pendapat yaitu :
1) Diabetes
mellitus (DM) adalah penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak cukup
dalam memproduksi insulin atau ketika tubuh tidak efisien menggunakan insulin
itu sendiri. (Saptarini, 2012)
2) Menurut
International Diabetes Federation (IDF), DM adalah penyakit kronis yang
digambarkan sebagai keadaan kadar glukosa darah yang meningkat (hiperglikemia) yang berhubungan dengan
kematian. (Tarigan, 2012)
3) Diabetes mellitus adalah gangguan kronis yang
ditandai dengan metabolisme karbohidrat dan lemak yang diakibatkan oleh
kekurangan insulin atau secara relatif kekurangan insulin (Tucker, 2011)
4) World
Health Organisation (WHO) mendefinisikan
diabetes melitus (DM) sebagai penyakit yang ditandai dengan terjadinya
hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang
dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja dan atau
sekresi insulin. (Awad dkk, 2013)
Berdasarkan
pengertian diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa diabetes mellitus
adalah penyakit kronis yang ditandai dengan gangguan metabolisme karbohidrat,
protein dan lemak yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut.
2.
Faktor Resiko Diabetes Mellitus
Tingginya
prevalensi DM, yang sebagian besar adalah tergolong dalam DM tipe II disebabkan
oleh interaksi antara faktor-faktor kerentanan genetis dan paparan terhadap
lingkungan. Faktor lingkungan yang diperkirakan dapat meningkatkan faktor
resiko DM tipe II adalah perubahan gaya hidup seseorang, diantaranya adalah
kebiasaan makan yang tidak seimbang akan menyebabkan obesitas. Selain pola
makan yang tidak seimbang, kurangnya aktifitas fisik juga merupakan faktor
resiko dalam memicu terjadinya DM (Tjekyan, 2007; Awad dkk, 2013)
Resistensi
insulin terikat obesitas adalah resiko utama untuk DM. Kaitan antara obesitas
dan resistensi insulin sepertinya adalah sebab-akibat karena studi pada manusia
dan hewan mengindikasikan bahwa peningkatan atau penurunan berat badan
berkolerasi erat dengan sensitivitas insulin. Resistensi insulin terikat obesitas
adalah kelainan yang kompleks yang melibatkan berbagai jalur mekanisme. Pada
penderita obesitas akan berkembang resistensi terhadap aksi seluler insulin
yang ditandai oleh berkurangnya kemampuan insulin untuk mendukung pengambilan
glukosa pada jaringan lemak dan otot. (Dewi, 2007)
Kelompok
umur yang paling banyak menderita DM adalah kelompok umur 45-52 tahun.
Peningkatan resiko diabetes seiring dengan
umur, khususnya pada usia lebih dari 40 tahun, disebabkan karena pada
usia tersebut mulai terjadi peningkatan intolenransi glukosa. Adanya proses
penuaan menyebabkan berkurangnya kemampuan sel β pankreas dalam memproduksi
insulin. Selain itu pada individu yang berusia lebih tua terdapat penurunan
aktivitas mitokondria di sel-sel otot sebesar 35%. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan kadar lemak di otot sebesar 30% dan memicu terjadinya resistensi
insulin. (Trisnawati, 2013)
3.
Klasifikasi Diabetes Mellitus
Klasifikasi
DM yang dianjurkan oleh PERKENI adalah yang sesuai dengan anjuran klasifikasi
DM American Diabetes Assocation.
Klasifikasi etiologi diabetes mellitus adalah sebagai berikut :
1) Diabetes Mellitus Tipe I
Nama lain dari diabetes tipe I adalah insulin dependent diabetes, yaitu diabetes yang bergantung pada insulin. Diabetes
tipe I adalah penyakit diabetes yang terjadi karena adanya gangguan pada
pankreas, menyebabkan pankreas tidak mampu memproduksi insulin dengan optimal.
Kita tahu bahwa pankreas berperan penting dalam keseimbangan kadar gula darah.
Pada diabetes tipe I, pankreas memproduksi insulin dengan kadar yang sedikit
sehingga tidak mencukupi kebutuhan untuk mengatur kadar gula darah dengan
tepat. Pada perkembangan selanjutnya, pankreas bahkan menjadi tidak mampu lagi
memproduksi insulin. Akibatnya, penderita diabetes tipe I harus mendapatkan
injeksi insulin dari luar, ini biasa disebut dengan insulin dependent. (Sutanto, 2013).
Kurangnya
atau tidak adanya produksi insulin oleh pankreas, menyebabkan glukosa dalam
pembuluh darah tidak dapat diserap sel-sel tubuh untuk digunakan sebagai bahan
bakar. Akibat dari itu, glukosa yang tidak bisa dipakai oleh sel-sel tubuh akan
menumpuk dalam aliran darah. Pada gilirannya, hal ini kemudian menyebabkan rasa
kelaparan yang tinggi pada penderita karena sel-sel tidak mendapat energi dari
glukosa. Inilah ironi pada penyakit diabetes tipe I, glukosa melimpah dalam
pembuluh darah tapi sel-sel tubuh tidak bisa meggunakannya sebagai energi.
Selain itu, tinggnya tingkat glukosa dalam darah menyebabkan penderita sering
buang air kecil, yang pada gilirannya juga menyebabkan rasa haus yang
berlebihan. (Sutanto, 2013)
2) Diabetes Mellitus Tipe II
Diabetes
mellitus tipe II atau disebut juga dengan noninsulin
dependent diabetes, diabetes yang tidak bergantung pada insulin. Ini
merupakan perbedaan diabetes tipe I dengan diabetes tipe II. Pada diabetes tipe
I penderita memiliki ketergantungan pada injeksi insulin, hal ini dikarenakan
organ pankreas penderita tidak mampu memproduksi insulin dengan jumlah yang
cukup bahkan tidak memproduksi sama sekali. Tapi pada diabetes tipe II, organ
pankreas penderita mampu memproduksi insulin dengan jumlah yang cukup namun
sel-sel tubuh tidak merespon insulin yang ada dengan benar. (Sutanto, 2013)
Jika
didefenisikan, diabetes tipe II adalah penyakit diabetes yang disebabkan karena
sel-sel tubuh tidak menggunakan insulin sebagai sumber energi atau sel-sel
tubuh tidak merespon insulin yang dilepaskan pankreas, inilah yang disebut
dengan resistensi insulin. (Sutanto, 2013)
Resistensi
insulin ini menyebabkan glukosa yang tidak dimanfaatkan sel akan tetap berada
di dalam darah, semakin lama semakin menumpuk. Pada saat yang sama, terjadinya
resistensi insulin membuat pankreas memproduksi insulin yang berlebihan, lama
kelamaan, dalam kondisi yang tidak terkontrol pankreas akan mengurangi jumlah
produksi insulin. Orang yang kelebihan berat badan memiliki resiko lebih tinggi
mengalami resistensi insulin, karena lemak menggangu kemampuan sel-sel tubuh
untuk menggunakan insulin. Tapi tidak menutup kemungkinan orang orang yang berbadan
kurus juga bisa terserang diabetes tipe ini. (Sutanto, 2013)
Secara
umum ada dua penyebab utama terjadinya penyakit diabetes tipe II ini, yaitu
faktor genetik (keturunan) dan hiperglikemia (tingginya kadar gula darah).
Faktor keturunan sangat berpengaruh dalam diabetes tipe II. Jika orang tua
menderita diabetes, maka kemungkinan besar anaknya juga menderita diabetes.
Diabetes karena keturunan ini akan aktif dengan sendirinya manakala dipicu
dengan rendahnya tingkat aktifitas sehari-hari, kurang olah raga, pola makan
yang salah, gaya hidup yang kurang sehat dan kelebihan berat badan (terutama
disekitar pinggang). (Sutanto, 2013)
Saat ini,
diabetes tipe II merupakan jenis diabetes yang paling banyak diderita dan
meyerang orang dari segala usia. Jumlah penderitanya jauh lebih banyak
diabndingkan dengan diabetes tipe I. Pada umumnya, diabetes tipe II terjadi
secara bertahap. Perkembangan gejala terjadi bertahap selama beberapa minggu
atau bulan, dan tidak cukup jelas pada awalnya, sehingga banyak orang yang tidak
menyadari dirinya telah mengalami penyakit diabetes. Oleh karena itu,
mencermati gejala-gejala dari diabetes tipe ini menjadi sangat penting. Deteksi
dini penyakit diabetes bermanfaat untuk menghindari akibat-akibat yang lebih
parah. (Sutanto, 2013)
3) Diabetes Gestasional
Diabetes
gestasional adalah diabetes yang disebabkan karena kondisi kehamilan. Pada
diabetes gestasional, pankreas penderita tidak dapat menghasilkan insulin yang
cukup untuk mengontrol gula darah pada tingkat yang aman bagi si ibu dan janin.
(Sutanto, 2013)
Diabetes
tipe ini menjangkit wanita yang tengah hamil. Lebih sering menjangkit di bulan
ke enam masa kehamilan. Resiko neonatal yang terjadi keanehan sejak lahir
seperti berhubungan dengan jantung, sistem nerves yang pusat, dan menjadi sebab
bentuk cacat otot atau jika atau jika diabetes gestasional tidak bisa
dikendalikan bayi yang lahir tidak normal yakni besar atau disebutnya makrosomia yaitu berat badan bayi diatas
4 kg. Untuk mengendalikannya harus mendapatkan pengawasan semasa hamil, sekitar
20-25% dari wanita penderita diabetes gestasional dapat bertahan hidup.
(Novitasari, 2012)
4.
Patofisiologi Diabetes Mellitus
Menurut
Brunner & Suddart (2002) patofisiologi terjadinya penyakit diabetes
mellitus tergantung kepada tipe diabetes yaitu :
1) Diabetes Tipe I
Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan
insulin karena sel-sel pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa
yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada
dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup
tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut
diekskresikan dalam urin (glukosuria).
Ekskresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elektrolit yang
berlebihan, keadaan ini dinamakan diuresis
osmosis. Pasien mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi).
2) Diabetes Tipe II
Patofisiologi pada non insulin dependent
diabetes mellitus disebabkan karena dua hal yaitu (1) penuruna respon jaringan
perifer terhadap insulin, peristiwa tersebut dinamakan resistensi insulin, dan
(2) penurunan kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin sebagai respon
terhadap beban glukosa. Konsentrasi insulin yang tinggi mengakibatkan reseptor
insulin berupaya melakukan pengaturan sendiri (self regulation) dengan menurunkan jumlah reseptor atau down
regulation. Hal ini membawa dampak pada penurunan respon reseptornya dan lebih
lanjut mengakibatkan terjadinya resistensi insulin.
Resistensi insulin menyebabkan ketidakmampuan
insulin menurunkan kadar gula darah. Akibatnya pankreas harus mensekresi
insulin lebih banyak untuk mengatasi kadar gula darah. Pada tahap awal ini,
kemungkinan individu tersebut akan mengalami gangguan toleransi glukosa.
Kondisi resistensi insulin akan berlanjut dan semakin bertambah berat,
sementara pankreas tidak mampu lagi terus menerus meningkatkan kemampuan
sekresi insulin yang cukup untuk mengontrol gula darah. Pada tahap ini sel β
pankreas mengalami adaptasi diri sehingga responnya untuk mensekresi insulin
menjadi kurang sensitif, dan pada akhirnya membawa akibat pada defisiensi
insulin. Peningkatan produksi glukosa hati, penurunan pemakaian glukosa oleh
otot dan lemak berperan atas terjadinya hiperglikemia kronik saat puasa dan
setelah makan. Akhirnya sekresi insulin oleh sel β pankreas akan menurun dan
kenaikan kadar gula darah semakin bertambah berat.
3) Diabetes Gestasional
Terjadi pada wanita yang tidak menderita diabetes
sebelum kehamilannya. Hiperglikemia terjadi selama kehamilan akibat sekresi
hormon-hormon plasenta. Sesudah melahirkan bayi, kadar glukosa darah pada
wanita yang menderita diabetes gestasional akan kembali normal. (Brunner &
Suddarth, 2012)
5.
Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus
Gejala
klinis DM adalah rasa haus yang berlebihan (polidipsi),
sering kencing (poliuri) terutama
pada malam hari, dan sering merasa lapar (polifagi).
DM juga dapat tidak bergejala (asimtomatis).
Dan gejala DM yang lain adalah berat badan yang turun dengan cepat, keluhan
lemah, kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur,
impotensi, luka sulit sembuh, keputihan, penyakit kulit akibat jamur dibawah
lipatan kulit, perubahan tingkah laku, menurunnya status kongnitif atau
kemampuan fungsional (antara lain: delirium, demensia, depresi, agitasi, mudah
jatuh, dan inkontinensia urin), dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi besar
dengan berat badan > 4 kg. (Kemenkes, 2013; Kurniawan, 2010)
6.
Diagnosis Diabetes Mellitus
Menurut
pedoman American Diabetes Association (ADA) 2011 dan konsensus Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia (PERKENI) 2011 untuk pencegahan dan pengelolaan DM tipe
II, kriteria diagnostik DM dapat ditegakan bila : (1) glukosa plasma sewaktu
≥200 mg/dl bila terdapat keluhan klasik DM penyerta, seperti banyak kencing (poliuri), banyak minum (polidipsi), banyak makan (polifagi), dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, (2) glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl
dengan gejala klasik penyerta, (3) glukosa 2 jam pasca pembebanan ≥200 mg/dl
(Kemenkes, 2013). Dipihak lain seseorang dengan kadar glukosa darah diatas
normal, tetapi belum memenuhi kriteria diabetes dianggap mengalami keadaan
pradiabetes yang berisiko berkembang menjadi DM tipe II.
Keadaan
pradiabetes tersebut meliputi glukosa darah puasa (GDP) terganggu dan toleransi
glukosa terganggu (TGT). Menurut ADA 2011, kriteria GDP terganggu adalah bila
kadar glukosa darah puasa seseorang berada dalam rentang 100-125 mg/dl,
sedangkan kriteria TGT ditegakkan bila hasil glukosa darah 2 jam pasca
pembebanan berada dalam kisaran 140-199 mg/dl. Kadar gula darah puasa
dikumpulkan setelah responden menjalani puasa makan dan minum selama 10-12 jam
sebelum pemeriksaan darah, sedangkan nilai TGT diambil dari hasil glukosa darah
2 jam pasca pembebanan 75 gram glukosa anhidrat (kemenkes, 2013)
Studi
epidemiologi menunjukan bahwa prevalensi DM maupun TGT meningkat seiring dengan
pertambahan usia, menetap sebelum akhirnya menurun. Dari data WHO didapatkan
bahwa setelah mencapai usia 30 tahun, kadar glukosa darah akan naik 1-2
mg%/tahun pada saat puasa dan akan naik sebesar 5,6-13 mg%/tahun pada 2 jam
setelah makan (Kurniawan, 2010)
7.
Penanganan Diabetes Mellitus
Telah
disepakati bahwa DM tidak dapat disembuhkan, tetapi kadar gula darah dapat
dikendalikan. Penderita DM sebaiknya melaksanakan 4 pilar pengelolaan DM yaitu
edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervesi farmakologis. Untuk
dapat mencegah terjadinya komplikasi kronis, diperlukan pengendalian DM yang
baik yang mempunyai sasaran dengan kriteria nilai baik, diantara gula darah
puasa 80-100 mg/dl, gula darah 2 jam sesudah makan 80-144 mg/dl, HbA1C
<6,5%, kolesterol total <200 mg/dl, trigliserida <150 mg/dl, indeks
masa tubuh (IMT) 18,5-22,9 kg/m2 dan tekanan darah <130/80 mmHg. (Mihardja,
2009; Utomo dkk, 2012)
WHO
memastikan peningkatan penderita DM tipe II paling banyak akan terjadi di
negara-negara berkembang termasuk indonesia. Sebagian peningkatan jumlah
penderita DM tipe II karena kurangnya pengetahuna tentang pengelolaan DM.
Penderita DM yang mempunyai pengetahuan yang cukup tentang DM, kemudian
selanjutnya mengubah perilakunya, akan dapat mengendalikan kondisi penyakitnya
sehingga dapat hidup lebih lama. Inilah yang menyebaban edukasi menjadi salah
satu komponen penanganan DM. (Witasari dkk, 2009)
Latihan
jasmani secara teratur dapat menurunkan kadar gula darah. Latihan jasmani selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas,
sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, berenang, dan senam diabetes. (Utomo, 2012)
8.
Komplikasi Diabetes Mellitus
Komplikasi
yang sering terjadi apabila DM tidak terkendali dan tidak ditangani dengan baik
adalah timbulnya berbagai penyakit penyerta pada berbagai organ tubuh seperti
mata, ginjal, jantung, pembuluh darah dan sistem saraf. Berbagai penyakit yang
dapat timbul akibat DM yang tidak terkontrol antara lain : neuropati,
hipertensi, jantung koroner, retinopati, nefropati dan gangren. Untuk itu perlu
kerjasama yang baik antara pasien, keluarga, masyarakat dan juga petugas
kesehatan dalam menanganai dan mengelola penderita DM. (Indriyani dkk, 2007;
Mihardja, 2009)
9.
Pencegahan Diabetes mellitus
Tingakat
pengetahuan yang rendah akan dapat mempengaruhi pola makan yang salah sehingga
menyebabkan obesitas, yang akhirnya mengakibatkan kenaikan kadar glukosa darah.
Salah satu upaya pencegahan DM adalah dengan perbaikan pola makan melalui
pemilihan makanan yang tepat. Semakin rendah penyerapan karbohidrat, semakin
rendah kadar glukosa darah. Kandungan serat yang tinggi dalam makanan akan
mempunyai indeks glikemik yang rendah sehingga dapat memperpanjang pengosongan
lambung yang dapat menurunkan sekresi insulin dan kadar kolesterol total dalam
tubuh. (Witasari dkk, 2009).
B.
Tinjauan Umum Tentang Elektrolit
1.
Pengertian Elektrolit
Elektrolit
adalah senyawa di dalam larutan yang berdisosiasi menjadi partikel yang
bermuatan (ion) positif atau negatif. Ion bermuatan positif disebut kation dan
ion bermuatan negatif disebut anion. Keseimbangan keduanya disebut sebagai
elektronetralitas. (Yaswir & ferawati, 2012).
Garam
yang terurai didalam air menjadi satu atau lebih partikel-partikel yang
bermuatan, disebut sebagai ion atau elektrolit. Elektrolit tubuh mencakup
Natrium (Na+), Kalium (K+), Kalsium (Ca2+),
Magnesium (Mg2+), Klorida (Cl-), Bikarbonat (HCO3-),
Fosfat (PO3-), dan Sulfat (SO4-).
(Pariury, 2013).
Elektrolit
sebagai komponen yang ada dalam tubuh kita harus dijaga keseimbangannya. Hal
ini dikarenakan fungsi dari elektrolit yang sangat penting dan mampu
mempengaruhi keseimbangan cairan dan fungsi sel. (Pranata, 2013).
2.
Pembagian Elektrolit
Elektrolit
di dalam tubuh manusia ada dua jenis, yaitu kation dan anion. Kation dan anion
inilah yang mempengaruhi peran dalam menjaga keseimbangan elektrolit. Kation
dan anion mempengaruhi tekanan osmotik cairan ekstraseluler dan intraseluler
dan langsung berhubungan dengan fungsi seluler. Berikut adalah penjelasan
seputar kation dan anion.
1) Kation
Kation merupakan ion yang bermuatan positif.
Kation utama dalam tubuh manusia adalah natrium (Na+), kalium (K+),
kalsium (Ca2+) dan magnesium (Mg2+). Kation tersebut
tersebar dalam cairan ekstrasel dan intrasel. Kation tersebut bekerja pada
transmisi neurokimia dan transmisi neuromuskuler yang nantinya akan
mempengaruhi fungsi otot, irama dan kontraktilitas jantung, alam perasaan dan
perilaku, serta fungsi saluran pencernaan.
2) Anion
Anion merupakan ion yang bermuatan negatif.
Anion utama dalam tubuh antara lain klorida (Cl-), bikarbonat (HCO3-),
dan fosfat (PO3-). Anion tersebut tersebar dalam ruang intrasel
dan ekstrasel. Dikarenakan kation berkaitan erat dengan anion, maka anion juga
mempengaruhi keseimbangan dan fungsi cairan dan elektrolit, dan asam basa.
(Pranata, 2013)
Elektrolit
dalam tubuh merupakan substansi yang membawa muatan positif (kation) atau yang
membawa muatan negatif (anion). selain itu elektrolit juga merupakan suatu
senyawa kimia yang dapat diuraikan menjadi ion dalam air. Satuan untuk
elekrolit biasanya dirumuskan dengan mEq/L. Elektrolit dalam tubuh manusia
sangat beragam jenisnya. Setiap elektrolit tersebut mempunyai fungsi yang
berbeda-beda dalam menjaga homoestasis tubuh manusia. (Pranata, 2013).
C.
Tinjauan Umum Tentang Kalium
1.
Pengertian Kalium
Kalium (K+)
merupakan kation yang sangat penting untuk banyak fungsi tubuh manusia.
Elektrolit ini jumlahnya lebih banyak
berada pada intrasel (intraselluler fluid)
dari pada di cairan ekstraseluler (pada intravaskuler
fluid). Kadar normal kalium dalam serum adalah 3,6-5,5 mEq/L. Jumlah asupan
kalium tiap hari adalah 40-60 mEq/L. Kalium sekitar 80-90% diekskresikan ke
dalam urin dan 8% ke dalam feses. Sumber kalium dapat didapatkan dari
buah-buahan, sari buah, sayur-sayuran, atau suplemen kalium. Pisang dan buah
kering kaya akan kandungan kalium. (Pranata, 2013).
Jumlah kalium dalam tubuh merupakan
cermin keseimbangan kalium yang masuk dan keluar. Pemasukan kalium melalui
saluran cerna tergantung dari jumlah dan jenis makanan. Orang dewasa pada
keadaan normal mengkonsumsi 60-100 mEq kalium perhari. (Yaswir & ferawati, 2012)
2.
Fungsi Kalium
Fungsi dari ion kalium antara lain:
1) Transmisi dan konduksi implus saraf
2) Kontraksi otot rangka, jantung dan otot polos
3) Untuk kerja enzim dalam proses glikolisis
(proses merubah karbohidrat menjadi energi) dan proses merubah asam amino
menjadi protein.
4) Meningkatkan penyimpanan glikogen di hepar
5) Mengatur osmolalitas cairan seluler. (Pranata,
2013)
3.
Gangguan Keseimbangan Kalium
Bila kadar
kalium kurang dari 3,6 mEq/L disebut sebagai hipokalemia dan kadar kalium lebih
dari 5,5 mEq/L disebut sebagai hiperkalemia. Kekurangan ion kalium dapat
menyebabkan frekuensi denyut jantung melambat. Peningkatan kalium plasma 4-5
mEq/L dapat menyebabkan aritmia jantung,
konsentrasi yang lebih tinggi lagi dapat menimbulkan henti jantung.
1) Penyebab hipokalemia
Penyebab hipokalemia dapat dibagi sebagai
berikut :
a. Asupan kalium yang kurang
Orang
tua yang hanya makan roti panggang dan teh, peminum alkohol yang berat sehingga
jarang makan dan tidak makan dengan baik, atau pada pasien sakit berat yang
tidak dapat makan dan minum dengan baik melalui mulut atau disertai oleh
masalah lain misalnya pada pemberian diuretik atau pemberian diet rendah kalori
pada program menurunkan berat badan dapat menyebabkan hipokalemia.
b. Pengeluaran
kalium berlebihan
Banyak jalan yang bisa menyebabkan
kalium keluar dari tubuh. Muntah, pemasangan selang nasogastrik, diare dan
pemakaian obat pencahar merupakan faktor yang menyebabkan pengeluaran kalium
berlebih. Banyak asumsi bahwa klien yang muntah berat akan mengeluarkan banyak
kalium. Akan tetapi, sebenarnya kalium yang keluar dari saluran pencernaan atas
tidak sebanyak yang kita perkirakan. Tetapi pengeluaran kalium banyak dari
ginjal. Kondisi-kondisi tersebut memicu terjadinya alkalosis metabolik sehingga
banyak bikarbonat yang difiltrasi di glomerulus. Bikarbonat ini mempunyai daya
ikat yang kuat terhadap kalium di tubulus distal (duktus koligentes). Kondisi
ini akan diperparah dengan adanya hiperaldosteron akibat dari hipovolemia
(muntah). Kondisi tersebut akan memicu peningkatan ekskresi kalium melalui urin
dan terjadilah hipokalemia. Pada kejadian diare, pengeluaran kalium karena
dipicu oleh asidosis metabolik (keluar bersama bikarbonat).
Pengeluaran kalium lewat ginjal
juga disebabkan oleh diuretik, kelebihan hormon mineralokortikoid primer
(hiperaldosteronisme primer).
c. Kalium
masuk dalam sel
Secara anatomis kalium memang
merupakan ion intrasel. Akan tetapi,
kadar dalam plsama ada juga walaupun sedikit. Jika kadar yang minimal ini
mengalami penurunan tentunya akan mengakibatkan dampak. Kalium yang masuk
kedalam sel yang melebihi batas inilah sebagai penyebabnya. Hal itu diakibatkan
oleh alkalosis ekstrasel, pemberian insulin, peningkatan aktifitas
beta-andrenergik, paralisis periodik hipokalemik, dan hiponatremia.
Kondisi hipokalemia ini dipicu oleh
adanya kerusakan sel yang dikarenakan trauma, cedera, pembedahan dan syok.
Sehingga, kalium di dalam sel (intraselluler)
akan keluar dan masuk ke cairan intravaskuler yang pada akhirnya akan di ekskresikan
oleh ginjal. Kondisi ketidakseimbangan ini akan memacu proses hemostatis dengan
cara perpindahan kalium dari plasma masuk ke dalam sel. Tujuannya adalah untuk
memulihkan keseimbangan kalium seluler. Kondisi inilah yang kemudian memicu
terjadinya hipokalemi. (Pranata, 2013).
Gejala
yang bisa dijumpai pada klien pada hipokalemia antara lain kelemahan otot,
lelah, nyeri otot, denyut nadi lemah dan tidak teratur, pernapasan dangkal,
hipotensi, bisisng usus menurun. Jika dalam kondisi berat akan terjadi
kelumpuhan (rabdomiolisis), aritmia, blok jantung, paresthesia, distensi usus.
Tekanan darah juga akan mengalami peningkatan. Pada ginjal akan terjadi poliuri
dan polidipsi. (Pranata, 2013).
2) Penyebab
hiperkalemia
Hiperkalemia
dapat disebabkan oleh :
a. Keluarnya
kalium dari intrasel ke ekstrasel
Keluarnya kalium ini dipicu oleh
asidosis metabolik, defisiensi insulin, katabolisme jaringan meningkat,
pemakaian obat penghambat β-andrenergik, serta pseudo hiperkalemia akibat
pengambilan sampel darah, sehingga sel darah merah mengalami lisis.
b. Berkurangnya
ekskresi kalium melalui ginjal
Kejadian ini terjadi karena
hipoaldosteronisme, gagal ginjal, deplesi volume sirkulasi efektif, pemakaian
siklosporin. Pada klien yang mengalami kondisi hiperkalemia, akan dijumpai
tanda dan gejala antara lain mual, kejang perut, oliguria, takikardia, yang
pada akhirnya jika tidak ditindaklanjuti menyebabkan bradikardia, lemas, dan
baal (kesemutan pada anggota gerak tubuh). (Pranata, 2013).
D.
Analisis Jurnal
Tabel II.1
Analisis Jurnal
No
|
Judul
|
Peneliti
|
Tahun
|
Hasil Penelitian
|
1
|
Gambaran kadar
Kalium Pada Penderita diabates mellitus tipe 2
|
Rianti Nurpala
& Dini Aryanti
|
2014
|
dari 20 sampel
penderita DM di dapat 16 pasien (80%) Hipokalemia, 2 pasien (10%)
Hiprkalemia, dan 2 Pasien (10%) kaliumnya normal
|
2
|
Gambaran elektrolit
(Natrium – Kalium serum) penderita diabetes mellitus di RS Prof Dr Margono
Soekarjo purwokerto
|
Arif Setyo dkk
|
2015
|
Hasilnya 46,94%
responden mengalami hiponatremia, natrium normal 46,94%, dan hipernatremia
6,12% serta hipokalemia 26,53%, kalium normal 71,43%, hiperkalemia 2,04%
|
E.
Kerangka
Pikir
Diabetes
mellitus merupakan suatu penyaki kronis yang disebabkan oleh faktor keturunan,
karena didapat atau keduanya bersamaan, yang mengakibatkan berkurangnya
produksi insulin oleh pankreas atau insulin yang dihasilkan tidak efektif.
Insulin sendiri dibutuhkan untuk mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan
menyalurkannya kedalam sel-sel tubuh yang membutuhkan. (Nurpalah & Aryanti,
2014)
Kasus
Diabetes yang sering dijumpai adalah DM Tipe II, yang umumnya mempunyai latar
belakang kelainan berupa resistensi insulin. Pada awalnya resistensi insulin
belum menyebabkan diabetes klinis. Sel beta pankreas masih dapat
mengkompensasi, sehingga terjadi hiperinsulinemi, kadar glukosa darah masih
normal atau baru sedikit meningkat. Setelah terjadi kelelahan sel beta pankreas
baru terjadi diabetes klinis, yang ditandai dengan adanya kadar glukosa darah
yang meningkat, memenuhi kriteria diagnosis diabetes mellitus.
Dalam
diabetes kalium sangat berguna dalam meningkatkan kepekaan insulin, sehingga
proses pengurasan gula dalam darah berlangsung efektif, kalium juga menurunkan
resiko hipertensi serta serangan jantung pada penderita diabetes. Bagi
penderita diabetes dengan insulin, asupan kalium jauh lebih penting karena
insulin memerlukan banyak kalium. Dari beberapa penelitian lain mengatakan
bahwa kalium dapat meningkatkan kepekaan insulin, sehingga proses pengurasan
gula dalam darah berlangsung efektif. Sehingga pada pasien DM Tipe II asupan
atau suplementasi kalium menjadi sangat penting karena penggunaan insulin
memboroskan kalium, sehingga pada pasien DM Tipe II asupan kalium sangat
penting apalagi bila dilihat sumber kalium merupakan sayur dan buah.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis
Penelitian
Jenis penilitian yang dilakukan adalah
penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan hasil pemeriksaan
elektrolit kalium pada penderita diabetes mellitus tipe II.
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
1. Waktu
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal
13 juni - 22 juni 2016.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan di Laboratorium Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar .
C.
Populasi,
Sampel dan Kriteria Sampel
1.
Populasi
Populasi dalam penelitian ini
adalah semua
pasien
penderita diabetes mellitus tipe II di Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah
sebagian penderita diabetes mellitus tipe II berdasarkan hasil rekam medik di
Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar sebanyak
24 sampel.
3. Kriteria
Sampel
a. Kriteria
Inklusi
1) Pasien
yang telah didiagnosis menderita DM tipe II
2) Usia
lebih dari 40 tahun
3) Lama
menderita kurang dari 2 tahun
4) Bersedia
menjadi responden
5) Pasien
yang dirawat di RS TK II Pelamonia
b. Kriteria
Eksklusi
1) Bukan
penderita DM tipe II
2) Tidak
bersedia menjadi responden
D.
Teknik
Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampling dalam
penelitian ini secara purposive sampling.
Purposive sampling merupakan salah
satu metode non random yang mengambil semplingnya sesuai dengan kriteria yang
ditentukan oleh peneliti.
E.
Perkiraan
Besar Sampel
Penentuan besar sampel menggunakan rumus
Arikunto dimana untuk menentukan besarnya sampel apabila subjek kurang dari100,
lebih baik di ambil semua, jika subjeknya lebih besar dapat diambil antara
20-25%.
Dengan rumus :
n = 20% × N
= × 120
= 24
F. Variabel Penelitian
1. Variabel
bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini
adalah hasil pemeriksaan elektrolit kalium pada penderita diabetes mellitus
tipe II.
2. Variabel
Terikat
Variabel terikat adalah penderita diabetes
mellitus tipe II.
G. Teknik Pengumpulan Data
Data
diperoleh dengan cara melakukan studi pendahuluan yaitu wawancara petugas rekam
medik laboratorium mengenai data sekunder pasien diabetes mellitus tipe II di
Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar serta melakukan pemeriksaan laboratorium.
H.
Tahapan
Kegiatan Yang Dilakukan
1.
Prosedur
pemeriksaan Elektrolit (Kalium)
Metode :
ISE (Ion Selective Electrode)
Prinsip
Alat :
Kalium, natrium, klorida akan ditarik oleh elektroda yang sensitif terhadap ion-ion tersebut.
Kemudian digunakan elektroda reference untuk membandingkan naik turunnya
potensial.
2.
Prosedur
Kerja
a. Pra
Analitik
1. Persiapan
Pasien : Tidak ada
persiapan khusus
2. Persiapan
Sampel : Darah vena
3. Alat
yang digunakan : Rapidchem 744, tip, klinipet, cup
4. Bahan
yang digunakan : Serum, reagen
standar B
b. Analitik
1.
Proses Pengambilan
Darah
1) Letakan
lengan pasien lurus diatas meja dengan telapak tangan menghadap keatas.
2) Kemudian
lengan diikat dengan cukup erat dengan turniquet untuk membendung aliran darah,
tetapi tidak boleh terlalu kencang sebab dapat merusak pembuluh darah
3) Pasien
disuruh mengepal dan membuka tangannya beberapa kali untuk mengisi darah.
4) Dalam
keadaan tangan pasien masih mengepal, ujung telunjuk kiri pemeriksa mencari
lokasi pembuluh darah yang akan ditusuk.
5) Bersihkan
lokasi tersebut dengan kapas alkohol dan biarkan kering.
6) Peganglah
semprit dengan tangan kanan dan ujung telunjuk pada pangkal jarum.
7) Tegangkan
kulit dengan jari telunjuk dan ibu jari kiri diatas diatas pembuluh darah
supaya pembuluh darah tidak bergerak, kemudian tusukkan jarum dengan sisi
miring menghadap keatas dengan membentuk sudut ±250.
8) Jarum
dimasukkan sepanjang pembuluhn darah ±1-11/2 cm.
9) Dengan
tangan kiri, pengisap semprit ditarik perlahan-lahan sehingga darah masuk
kedalam semprit.
10) Sementara
itu kepalan tangan dibuka dan ikatan pembendung direnggangkan atau dilepas
sampai didapat sejumlah darah yang dikehendaki.
11) Letakan
kapas kering pada tempat tusukan, jarum ditarik kembali.
12) Pasien
disuruh menekan bekas tempat tusukan dengan kapas tersebut selama beberapa
menit dengan keadaan tangan masih lurus
13) Lepaskan
jarum dari sempritnya dan alirkanlah (jangan disemprotkan) darah kedalam wadah
atau tabung yang tersedia melalui dindingnya.
2. Prosedur
Kerja alat Rapidchem 744
1)
Pada menu layar “Analyze sample”
2)
Tekan tombol “Yes”
3)
“Lift
sample to Analyze” angkat cover probe
4)
“Probe
in sample” letakkan cup sample pada ujung probe
5)
Tekan tombol “Yes”
6)
“Remove
sampel return sample” tutup cover probe
7)
Alat akan melakukan analyze
8)
Kemudian tunggu 5-10
menit sampai keluar hasil.
9)
Hasil akan keluar dalam
bentuk prin out.
3. Prosedur
Maintenance Harian
1) Pada
menu layar “Daily Cleaner”
2) Tekan
tombol “Yes”
3) “Lift sampler to use
cleaner” angkat covet probe
4) “Probe in cleaner”
letakkan “daily cleaner” pada ujung probe
5) Tekan
tombol “yes”
6) “Remove clear return
sample” tutup
cover probe”
7) Alat
akan melakukan cleaning
8) Tunggu
sampai selesai
4. Prosedur
Melakukan Kalibrasi
1) Pada
menu layar “calibrasi “
2) Tekan
tombol “yes”
3) Alat
akan melakukan kalibrasi tunggu sampai selesai
5. Prosedur
Melakukan Control
1)
Pada menu layar “Analyze QC”
2)
Tekan tombol “Yes”
3)
“Analyze
QC level 1” tekan “Yes”
4)
“Life
sampel to Analyze Control”, angkat cover probe
5)
“Probe
in QC Level 1”, letakkan cup sampel pada ujung probe
6)
Tekan tombol “Yes”
7)
“Remove
control return sample”, tutup cover probe
8)
Alat akan melakukan analyze
9)
Tunggu sampe selesai.
6. Prosedur
Menjalankan Sample
1) Pada
menu layar “Analyze QC”
2) Tekan
tombol “yes”
3) “Lift sampler to analyze
control” angkat cover probe
4) “Probe in sample”
letakkan cup sample pada ujung probe
5) Tekan
tombol “yes”
6) “Remove sample return
sample” tutup cover probe
7) Alat
akan melakukan analyze
8) Tunggu
sampai selesai
c. Pasca
Analitik
1) Catat
hasil pada buku arsip.
2) Catat
hasil di formulir hasil kemudian di tandatangani oleh penanggung jawab
Laboratotium.
Sumber
: laboratorium
RS Tingkat II Pelamonia
I.
Interpretasi
Hasil
1.
Interpretasi
Nilai Normal
Kalium
: 3,6 – 5,5 mEq/L
A.
Defenisi
Operasional
1. Diabetes
Mellitus adalah penyakit
kronis yang ditandai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak
yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut.
2. Elektrolit adalah senyawa di dalam larutan yang
berdisosiasi menjadi partikel yang bermuatan (ion) positif atau negatif.
3. Kalium (K+) merupakan kation yang
sangat penting untuk banyak fungsi tubuh manusia.
B.
Etika
Penelitian
Etika penelitian merupakan masalah yang
sangat penting dalam penelitian, mengingat penelitian ini berhubungan dengan
manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan. Masalah etika yang
harus diperhatikan antara lain :
1.
Informed
Consent (Penjelasan dan Persetujuan)
Lembaran
persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi
kriteria peneliti. Bila subjek menolak maka peneliti tidak akan memaksa
kehendak dan tetap menghormati hak-hak subjek.
2. Anonimity
(Tanpa Nama)
Dalam
penelitian ini akan dijamin kerahasiaan data dari para responden dengan cara
tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan
hanya manuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang
akan disajikan.
3. Confidentiality
(Kerahasiaan)
Memberikan
jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-maslah
lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh
peneliti hanya
kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.
C.
Analisa Data
Data yang diperoleh disajiakan
dalam bentuk deskripsi dengan menggunakan tabel yang dirumuskan sebagai berikut
:
× 100%
Keterangan :
X = Jumlah sampel dengan Hipokalemia/
hiprkalemia/ kalium normal
n =
jumlah populasi
π =
jumlah yang dicari
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Penelitian
Berdasarkan hasil data pemeriksaan
laboratorium dari 24 sampel penderita penyakit diabetes mellitus tipe II yang
terdapat di Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar yang dilaksanakan pada tanggal
13 juni - 22 juni 2016 di Laboratorium Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar,
maka diperoleh hasil pemeriksaan yang tersedia pada tabel berikut :
Tabel IV.1
Hasil Penelitian Kalium Pada Penderita
Diabetes Mellitus Tipe II
No
|
Kode Sampel
|
Hasil Kalium
|
Keterangan
|
Nilai
Normal
|
1
|
A
|
3,62 mEq/L
|
Normal
|
3,6 – 5,5 mEq/L
|
2
|
B
|
2,86 mEq/L
|
Hipokalemia
|
|
3
|
C
|
4,40 mEq/L
|
Normal
|
|
4
|
D
|
3,64 mEq/L
|
Normal
|
|
5
|
E
|
2,81 mEq/L
|
Hipokalemia
|
|
6
|
F
|
5,78 mEq/L
|
Hiperkalemia
|
|
7
|
G
|
4,68 mEq/L
|
Normal
|
|
8
|
H
|
4,72 mEq/L
|
Normal
|
|
9
|
I
|
4,29 mEq/L
|
Normal
|
|
10
|
J
|
2,09 mEq/L
|
Hipokalemia
|
|
11
|
K
|
3,32 mEq/L
|
Hipokalemia
|
|
12
|
L
|
4,37 mEq/L
|
Normal
|
|
13
|
M
|
4,36 mEq/L
|
Normal
|
|
14
|
N
|
3,18 mEq/L
|
Hipokalemia
|
|
15
|
O
|
4,02 mEq/L
|
Normal
|
|
16
|
P
|
4,01 mEq/L
|
Normal
|
|
17
|
Q
|
3,46 mEq/L
|
Hipokalemia
|
|
18
|
R
|
3,38 mEq/L
|
Hipokalemia
|
|
19
|
S
|
3,46 mEq/L
|
Hipokalemia
|
|
20
|
T
|
4,28 mEq/L
|
Normal
|
|
|
|
|||
21
|
U
|
|||
4,04 mEq/L
|
Normal
|
|
||
22
|
V
|
2,68 mEq/L
|
Hipokalemia
|
|
23
|
W
|
5,73 mEq/L
|
Hiperkalemia
|
|
24
|
X
|
3,33 mEq/L
|
Hipokalemia
|
Sumber : Data Sekunder
Dari hasil penelitian dilakukan
pengolahan data yag diperoleh, dihitung presentasenya sebagai berikut :
× 100%
%
sampel Normal :
× 100%
%
sampel Hipokalemia :
× 100%
%
sampel Hiperkalemia :
× 100%
Tabel
VI.2
Hasil Persentasi
Kadar Kalium
Kategori
|
Jumlah Data
|
Persentasi
|
Hiperkalemia
|
2
|
10%
|
Hipokalemia
|
10
|
40%
|
Normal
|
12
|
50%
|
Sumber : Data Sekunder
Setelah dilakukan penelitian selama
10 hari yakni pada tanggal 13 juni - 22 juni 2016 dan berdasarkan hasil
penelitian yang dapat dilihat pada tabel IV.1, dan tabel IV.2 dapat disimpulkan
yaitu dari 24 sampel yang diteliti di dapatkan hasil 12 pasien 50% kaliumnya
normal dengan kode (A, C, D, G, H, I, L, M, O, P, T, U), 10 pasien 40%
mengalami Hipokalemia dengan kode (B, E, J, K, N, Q, R, S, V, X), dan 2 pasien 10%
Hiperkalemia dengan kode (F, W).
B.
Pembahasan
Penelitian yang dilakukan merupakan
penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan untuk mengetahui gambaran hasil
kadar elektrolit (kalium) pada penderita diabetes mellitus tipe II di Rumah
Sakit TK II Pelamonia Makassar.
Elektrolit berkaitan dengan keseimbangan
cairan dalam sel kita, elektrolit terutama penting jika kita mengalami
dehidrasi (kekurangan cairan). Zat kalium berpengaruh pada beberapa organ tubuh
utama, termasuk jantung. Tingkat zat kalium dapat meningkat akibat diabetes,
dan dapat tidak normal akibat muntah dan diare. Diabetes juga diketahui dapat
menjadi penyebab meningatnya zat kalium. Penderita diabetes sering memerlukan
insulin untuk mempertahankan kadar glukosa, ketika terjadi kekurangan insulin
dalam tubuh sel-sel lemak dalam tubuh mengalami kerusakan. Hal ini dapat
menyebabkan cairan dan kalium dalam sel untuk berpindah ke dalam aliran darah
sehingga mengakibatkan terjadinya hiperkalemia. Pada pasien diabetes mellitus
yang diperiksa kadar kaliumnya, 2 pasien diantaranya mengalami hiperkalemia
sebanyak 10%, pasien tersebut
mengalami DM yang disertai dengan adanya penyakit jantung, hipertensi, dan
gangguan fungsi ginjal (terdapat peningkatan ureum dan kreatinin), dimana pada
penyakit ginjal adanya Oliguria yang berlanjut menjadi Anuria dapat menyebabkan
penurunan eksersi urin terhadap kalium, dan pada kardiovaskuler terjadi
Disritma jantung, Bradikardia, sehingga menyebabkan Hiperkalemia. Sedangkan pada 10 pasien mengalami
hipokalemia sebanyak 40%, pasien tersebut diantaranya ada yang disertai penyakit
ginjal dan stroke, yang merupakan pasien dengan sakit berat yang tidak dapat
makan atau minum melalui mulut sehingga menderita hipokalemia, dimana
hipokalemia sedang dapat disebabkan oleh kurangnya asupan kalium dalam makanan
sehari-hari atau dapat juga disertai kehilangan melalui saluran cerna atau
ginjal sehingga menyebabkan Hipokalemia. sedangkan pada 12 pasien kaliumnya normal sebanyak
50%, pasien tersebut hanya disertai penyakit lambung, dan pemilihan makanan
yang cukup baik seperti konsumsi buah-buahan yang merupakan sumber kalium, hal
ini menyebabkan pasien memiliki kadar kaliumnya normal.
Adapun alat yang digunakan adalah
rapidchem 744 dengan metode ISE (ion
selective elektrode), metode ISE merupakan metode yang paling sering
digunakan untuk pemeriksaan kimia darah khususnya pemeriksaan elektrolit.
Metode ISE mempunyai akurasi yang baik, koefisien variasi kurang dari 1,5%,
kalibrator dapat dipercaya dan mempunyai program pemantauan mutu yang baik.
Pada alat rapidchem 744 terdapat tiga parameter pemeriksaan yaitu natrium,
kalium, dan klorida. Elektrolit diperlukan untuk memelihara potensial
elektrokimiawi membran sel yang akhirnya dapat mempengaruhi fungsi saraf otot
serta aktivitas sel seperti sekresi kontraksi dan berbagai proses metabolik
lain. Ada dua macam kelainan elektrolit yang terjadi, kadarnya terlalu tinggi
(hiper) dan kadarnya terlalu rendah (hipo). Peningkatan kadar konsentrasi
kalium dalam plasma darah disebut hiperkalemia dan penurunan kadar kalium dalam
plasma darah disebut hipokalemia. Hiperkalemia dapat mengakibatkan gangguan
pada irama jantung dan apabila konsentrasinya lebih tinggi dapat menimbulkan
henti jantung, sedangkan hipokalemia dapat menyebabkan frekuensi denyut jantung
melambat.
Sampel dalam penelitian ini adalah
penderita diabetes mellitus tipe II di Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar.
Sampel mula-mula di ambil dari pasien penderita diabetes mellitus tipe II
kemudian dimasukan dalam wadah sampel (tabung reaksi) yang telah disiapkan dan
dimasukkan kedalam ruangan kimia klinik untuk diperiksa, kemudian sampel
dicentrifuge selama 5-10 menit dengan kecepatan 4500 rpm bertujuan untuk
memisahkan antara serum dengan plasma, serum dipipet sebanyak 500 µl
menggunakan klinipet yang telah disiapkan kemudian dimasukkan didalam cup,
kemudian sampel dimasukkan kedalam alat elektrolit rapidchem 744 untuk
diperiksa.
Dari hasil pemeriksaan elektrolit kalium
pada penderita diabetes mellitus tipe II di Rumah Sakit TK II Pelamonia
Makassar didapatkan 12 pasien (50%) kaliumnya normal, 10 pasien (40%) mengalami
hipokalemia dan 2 pasien (10%) hiperkalemia, hal ini menunjukan bahwa penderita
diabetes mellitus tipe II lebih cenderung beresiko mengalami hipokalemia,
dimana kondisi hipokalemia ini berdampak pada jantung. oleh karena itu
diharapkan kepada penderita diabetes agar mengupayakan untuk menjaga kadar
elektrolit dalam batas normal. Selain itu bagi institusi pelayanan kesehatan
(Rumah Sakit) dapat memberikan terapi yang tepat untuk mencegah komplikasi
akibat gangguan elektrolit serta mengupayakan menjaga kadar elektrolit
khususnya kalium agar tetap dalam batas normal.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan untuk mengetahui gambaran hasil kadar elektrolit kalium pada
penderita diabetes mellitus tipe II, dari 24 sampel didapatkan 12 pasien (50%)
mempunyai kadar kalium yang normal, 10 pasien (40%) mengalami hipokalemia dan 2
pasien (10%) hiperkalemia, hal ini menunjukan bahwa penderita diabetes mellitus
tipe II lebih cenderung beresiko mengalami hipokalemia, dimana kondisi
hipokalemia ini berdampak pada jantung.
B.
Saran
1. Diharapkan
kepada peneliti selanjutnya untuk mengembangkan penelitian bukan hanya mengenai
pemeriksaan elektrolit kalium, tapi juga jenis elektrolit yang lain pada
penderita diabetes mellitus tipe II untuk mengetahui gambaran keseimbangan cairan tubuh.
2.
Diharapkan pemeriksaan
elektrolit khususnya kalium dianjurkan untuk dijadikan sebagai pemeriksaan
tambahan pada penderita diabetes mellitus tipe II untuk menghindari gangguan
keseimbangan cairan tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Awad
N, Langi Y.A, Pandelaki K, 2013. Gambaran
Faktor Resiko Pasien Diabetes
Mellitus Tipe II di Poliklinik Endokrin Bagian/SMF FK-UNSRAT RSU Prof. Dr. R.D
Kandou Manado Periode Mei 2011 – Oktober 2011. Jurnal e-Biomedik (eBM),
Vol. 1 No. 1.
Brunner dan Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi VIII. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Dewi M, 2007. Resistensi
Insulin Terikat Obesitas : Mekanisme Endokrin dan Intrinsik Sel. Jurnal
Gizi Dan Pangan. 2010; 2(2).
Hasdianah, 2012. Mengenal
Diabetes Mellitus Pada Orang Dewasa dan Anak – Anak Dengan Solusi Herbal.
Yogyakarta : Penerbit Nuha Medika.
Indriani C, 2012. Hubungan Kadar Kalium Dengan Kadar Gula Darah Sewaktu Pada Pasien DM
Tipe II di RS Atma Jaya Jakarta. Skripsi.
Indriyani P, Supriyanto H, Santoso A, 2007. Pengaruh Latihan Fisik; Senam Aerobik
Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Pada Penderira DM Tipe 2 di Wilayah
Puskesmas Bukateja Purbalingga. Media Ners. Vol. 1 No. 2.
Kemenkes, 2013. Riset
Kesehatan Dasar : Riskesdas 2013. Jakarta : Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Kurniawan I, 2010. Diabetes Mellitus Tipe 2 Pada Usia Lanjut. Majalah Kedokteran
Indonesia. Vol. 60 No. 12.
Mihardja L, 2009. Faktor Yang Berhubungan Dengan Pengendalian Gula Darah Pada Penderita
Diabetes Mellitus di Perkotaan Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia.
Vol. 59 No. 9.
Novitasari R, 2012. Diabetes Mellitus Dilengkapi Senam DM. Yogyakarta : Penerbit Nuha
Medika.
Nurpalah N, Aryanti D, 2014. Gambaran Kadar Kalium Pada Penderita Diabetes Mellitus. Jurnal
Kesehatan Bakti Tunas Husada. Vol. 12 No. 1.
Pabateh E, Evendil S, Ayumar A, 2015. Perbedaan Kadar Kreatinin Serum Dengan Kadar
Gula Darah Yang Terkontrol dan Tidak Terkontrol Pada Pasien Diabetes Melitus
Tipe II di Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar.
Pariury I, 2013. Gambaran
Kadar Elektrolit (Na+, K+) Pada Penderita Gagal Ginjal
Kronik (GGK). Skripsi.
Pranata A.E, 2013. Manajemen Cairan Dan Elektrolit. Yogyakarata : Penerbit Nuha Medika.
Saptarini C, 2012. http://e-journal.uajy.ac.id/377/3/2BL01043.pdf.
Diakses Di Makassar 27 April 2016. Jam 18.39 Wita.
Sari A, Citrakesumasari, Alharini S, 2013. Upaya Penanganan dan Perilaku Pasien Penderita
Diabetes Mellitus Tipe II di Puskesmas Maccini Sawah Kota Makassar Tahun 2013.
Sutanto T, 2013. Diabetes
Deteksi, Pencegahan, Pengobatan. Yogyakarta : Penerbit Buku Pintar.
Tarigan L.A, 2012. Defenisi Diabetes Mellitus. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30732/4/Chapter%20II.pdf.
Diakses
Di Makassar 27 April 2016. Jam 17.25 Wita.
Tjekyan S, 2007. Resiko
Penyakit Diabetes Mellitus Tipe II di Kalangan
Peminum Kopi di Kotamadya Palembang Tahun 2006-2007. Makara
Kesehatan. Vol. 11 No.2
Trisnawati S.K, Setyorogo S, 2013. Faktor Resiko Kejadian Diabetes Mellitus
Tipe II di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012. Jurnal
Ilmiah Kesehatan. 2013; 5(1).
Tucker, 2011. Primary
Prevention Of Ischemic Stroke : A Statement For Healthcare Professionals
From The Stroke Council Of The American Heart Association.
Upoyo A.S, Muniro, Maryana, 2015. Gambaran Elektrolit (Natrium – Kalium Serum)
Penderita Diabetes Mellitus di RS Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto.
Jurnal Kesehatan “Samodra Ilmu” Vol. 06 No. 01.
Utomo O.M, Azam M, Anggraini D.N,
2012. Pengaruh Senam Terhadap Kadar Gula
Darah Penderita Diabetes. Unnes Journal of Public Health. 2012; 1(1)
Witasari U, Rahmawaty S, Zulaekah
S, 2009. Hubungan Tingkat Pengetahuan,
Asupan Karbohidrat dan Serat Dengan Pengendalian Kadar Glukosa Darah Pada
Penderita Diabetes Mellitus Tipe II. Jurnal Penelitian Sains &
Teknologi. Vol. 10 No. 2
Yaswir
R, Ferawati I, 2012. Fisiologi dan
Gangguan Keseimbangan Natrium, Kalium dan Klorida Serta Peeriksaan Laboratorium.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(2).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar