BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
|
Tuberculosis (TB) adalah penyakit menular langsung
yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.
Penyakit TB masih menjadi masalah kesehatan global dan merupakan penyebab
kematian kedua setelah HIV. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2011 ada 8,7 juta kasus baru TB
(13% merupakan koinfeksi dengan HIV) dan
1,4 juta orang meninggal karena TB (Anonim, 2013).
Di Indonesia setiap tahunnya kasus TB paru
bertambah seperempat juta kasus baru dan
sekitar 140.000 kematian terjadi setiap
tahunya. Indonesia termasuk 10 negara tertinggi penderita kasus TB paru didunia. Menurut WHO (2012) dalam laporan GLOBAL REPORT 2011 bahwa prevalensi TB paru
diperkirakan sebesar 289 kasus per
100.000 penduduk, dan angka kematian sebesar 27 kasus per 100.000 penduduk. Penderita TB paru yang
tertinggi berada pada kelompok usia
produktif (15-50 tahun) yaitu berkisar 75%. Seorang pasien TB paru dewasa diperkirakan akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3-4
bulan sehingga berakibat pada kehilangan pendapatan rumah tangganya yaitu sekitar 20-30%. Selain
merugikan secara ekonomis, TB paru juga
memberikan dampak buruk lainya, yaitu dikucilkan oleh masyarakat (WHO, 2013).
Prevalensi TB paru di Indonesia, Sulawesi selatan
berada pada posisi ke 17 dan merupakan daerah yang memiliki tingkat prevalensi
tinggi dikawasan Indonesia timur dengan jumlah penderita TB paru yang tercatat
mulai januari sampai dengan desember 2006 sebanyak 59,115 orang dengan kasus
baru sebanyak 8,463 orang. Dari 23 kabupaten yang ada di Sulawesi selatan,
Makassar merupakan penyumbang terbanyak dalam kasus TB paru ( WHO Global
Tuberculosis Control, 2013).
Berdasarkan data yang diperoleh di BBKPM Makassar, jumlah
pasien pada golongan penyakit TB paru BTA (+) pada tahun 2013 di balai besar
kesehatan paru masyarakat Makassar mencakup 6,341 penderita (BBKMP, 2013).
Mengingat hal tersebut diatas maka perhatian perlu
lagi ditingkatkan untuk penyakit ini
baik dalam diagnosis, pengobatan,
pencegahan maupun penemuan kasus sedini mungkin. Pemeriksaan sputum dengan mikroskopis langsung mempunyai
banyak kelemahan karena harus terkandung
minimal 5.000 kuman/cc sputum untuk
mendapatkan hasil positif, sehingga hasil negatif belum tentu
berarti tidak ada kuman. Pemeriksaan ini
merupakan sarana diagnostik yang
termudah, tercepat dan termurah. Pemeriksaan sputum langsung atau tanpa
pengolahan yang telah banyak dilakukan di puskesmas – puskesmas tempat pemeriksaan awal penderita memiliki
kelemahan karena masih banyaknya
jaringan dan lendir yang akan memperbesar volume sampel, sehingga akan memperkecil kemungkinan untuk
dapat mengambil sampel yang mengandung
kuman Mycobacterium tuberculosis (S.Darmawati,
2012).
Dekontaminasi dengan NaOH 4% metode kubica berguna
untuk pencairan dan pencucian sampel
(melepaskan organisme dari sel dan
mucus). Suatu sampel dekontaminan dapat larut dan dapat membunuh beberapa
bakteri dan jamur dari sputum dan tujuan dari pemusingan (sentrifuge)
diharapkan agar bakteri yang semula tersebar dalam sampel pemeriksaan dapat
terkumpul sehingga positif rate meningkat dan tingkat kontaminasi dapat
diturunkan (Hernika T, 2010).
Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui perbandingan hasil pemeriksaan basil tahan asam
antara mikroskopis langsung dan dengan metode kubica agar diperoleh informasi tentang metode
diagnosa penyakit TB yang lebih akurat.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi
rumusan masalah adalah : apakah ada
perbandingan hasil pemeriksaan basil tahan asam antara mikroskopis langsung dan
dengan metode kubica ?
C.
TUJUAN
PENELITIAN
1. Tujuan
umum
Untuk mengetahui
perbandingan hasil pemeriksaan basil tahan asam menggunakan mikroskopis
langsung dan dengan metode kubica.
2.
Tujuan khusus
a.
Untuk mengetahui cara pembuatan
preparat apusan basil tahan asam dengan menggunakan mikroskopis langsung.
b.
Untuk mengetahui cara pembuatan
preparat apusan basil tahan asam dengan menggunakan
metode kubica.
c.
Untuk mengetahui perbandingan
hasil dari kedua metode tersebut.
D. MANFAATPENELITIAN
1.
Akademik
Sebagai sumbangsih keputusan ilmiah bagi almamater program studi DIII analis kesehatan stikes mega rezky makassar.
2.
Praktis
Sebagai informasi bagi praktisi laboratorium kesehatan
terhadap hasil pemeriksaan sputum penderita tuberkulosis.
3.
Masyarakat
Sebagai informasi kepada masyarakat tentang bahaya yang
ditimbulkan oleh bakteri Mycrobacterium
tuberkulosis.
4.
Peneliti
Sebagai khasana keilmuan yang diaplikasikan dalam suatu karya
tulis ilmiah.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang TB Paru
1.
Definisi
TB Paru
Tuberkulosis
paru adalah penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis,
yakni kuman aerob yang dapat hidup
terutama diparu atau diberbagai tubuh yang lainya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Kuman
ini juga mempunyai kandungan lemak yang
tinggi pada membran selnya sehingga
menyebabkan bakteri ini menjadi tahan terhadap asam dan pertumbuhan dari kumanya berlangsung dengan
lambat. TB mendorong respon dari imun
kita yang menyebabkan karusakan jaringan
yang signifikan. Bahkan pengobatan TB yang sukses sering kali meninggalkan jaringan perut permanen dan
fibrosis. TB yang tidak diobati dapat
berkembang menjadi emfiema tuberculosis dan
fibrotoraks. Angka mortalitas yang tinggi kadang disebabkan karena ada kerusakan pada pembulu darah bronkus dan
paru yang dapat menyebabkan hemoptisis.
TB aktif merupakan penyakit merusak yang
menyebabkan penurunan berat badan, demam, dan kehilangan nafsu makan. Ketika seseorang dengan batuk TB paru
aktif, bakteri dapat dilepaskan keudara
dan dapat menginfeksi orang lain. Hal ini terjadi ketika ada bakteri Mycobacterium tuberculosis terjepit dialveoli. TB yang telah terinfeksi aliran darah dan beredar
seluruh tubuh dikenal sebagai TB milier,
yang merupakan bentuk yang sangat serius dari
penyakit ini (Monalisa M, 2015).
2.
Klasifikasi
Penyakit Tuberkulosis
Bentuk penyakit tuberculosis ini dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tuberculosis
paru dan tuberculosis ekstra paru.
a. Tuberculosis
Paru
Penyakit
ini merupakan bentuk yang paling sering
dijumpai, yaitu sekitar 80% dari semua penderita. Tuberculosis yang menyerang jaringan paru-paru ini
merupakan satu-satunya bentuk dari TB
yang mudah tertular kepada manusia lain, asal
kuman bisa keluar dari sipenderita (sholeh S naga, 2012).
b. Tuberculosis
Ekstra Paru
Penyakit
ini merupakan bentuk penyakit TB yang
menyerang organ tubuh lain, selain paru-paru, seperti pleura, kelenjar limfe, persendian tulang belakang,
saluran kencing, dan susunan saraf
pusat. Oleh karena itu, penyakit TB ini kemudian dinamakan penyakit yang tidak pandang bulu, karena
dapat menyerang seluruh organ dalam
tubuh manusia secara bertahap. Dengan
kondisi organ tubuh yang telah rusak, tentu saja dapat menyebabkan kematian bagi penderitanya (sholeh
S naga, 2012).
3.
Patogenesis
TB Paru
a. Tuberculosis
primer
Penularan
tuberculosis paru terjadi karena kuman dibatukan atau dibersinkan keluar menjadi Droplet nuclei dalam udara sekitar
kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet,
ventilasi yang buruk dan kelembaban.
Dalam suasana lembab dan gelap kuman
dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang
sehat, ia akan menempel pada saluran
napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5
mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama
kali oleh neutrofil, kemudian baru makrofag
(Idrus A, 2009).
Pada
sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan
seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi
respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada
sebagian kasus lainya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. pada individu yang tidak dapat menghancurkan
seluruh kuman, makrofag alveolus akan
mengfagosit kuman TB yang sebagian besar
dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang
biak didalam makrofag, dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag
(Kemenkes, 2013).
Kuman
yang bersarang dijaringan paru akan ber-bentuk
sarang tuberculosis pneumonia dan disebut sarang primer atau efek primer atau sarang focus Ghon. Sarang
primer ini dapat terjadi disetiap bagian
jaringan paru. Bila menjalar sampai ke
pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan
limfe, orofaring, dan kulit, terjadi
limfadenopati regional kemudian bakteri masuk
kedalam vena dan menjalar keseluruh organ seperti paru, otak, ginjal, dan tulang. Bila masuk ke Arteri
pulmonalis maka terjadi penjalaran ke
seluruh bagian paru menjadi TB milier (Aru W,
2009).
Dari
fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui
saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi disaluran
limfe (limfangitis) dan dikelenjar limfe (limfadenitis) yang
terkena. Jika focus primer terletak
dilobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus
(perihiler), sedangkan jika focus primer
terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara focus
primer, limfangitis, dan limfadenitis
dinamakn kompleks primer (Kemenkes,
2013).
Waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB bervariasi
selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung
selama 4-8 minggu (Kemenkes, 2013).
b. Tuberculosis
pasca primer (Tuberkulosis sekunder)
Kuman
yang Dormant pada tuberculosis primer
akan muncul bertahun-tahun kemudian
sebagai infeksi endogen menjadi
tuberculosis dewasa (tuberculosis post
primer = TB pasca primer = TB
sekunder). Tuberculosis sekunder terjadi karena
imunitas menurun seperti malnutrisi, alcohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberculosis
pasca primer ini dimulai dengan sarang
dini yang berlokasi diregio atas paru
(bagian apical-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah didaerah parenkim paru-paru dan tidak
kenodus hiler paru. Sarang dini ini mula-mula
juga berbentuk pneumonia kecil. Dalam
3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel
latia-langhans (sel besar dengan banyak
inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat (Bambang S,
2009).
4.
Penularan
Penyakit TB Paru
Banyaknya
kuman dalam paru-paru penderita menjadi satu
indikasi tercepat penularan penyakit tuberculosis ini terjadi
diudara melalui sputum yang berupa Droplet. Bagi penderita tuberculosis paru yang memiliki banyak sekali kuman, dapat
terlihat langsung dengan mikroskop pada
pemeriksaan sputumnya. Hal ini tentunya sangat
menular dan berbahaya bagi lingkungan penderita (Sholeh S naga, 2012)
Pada
saat penderita batuk atau bersin, kuman TB paru dan BTA positif yang berbentuk droplet sangat kecil
ini akan berterbangan diudara. Droplet
yang sangat kecil ini kemudian mengering dengan
cepat dan menjadi droplet yang mengandung kuman tuberculosis. Kuman ini dapat bertahan diudara selama
beberapa jam lamanya, sehingga cepat
atau lambat droplet yang mengandung unsur kuman
tuberculosis akan terhirup oleh orang lain. Apabila droplet ini telah terhirup dan bersarang didalam paru-paru
seseorang, maka kuman ini akan mulai
membela diri atau berkembang biak. Dari sinilah akan terjadi infeksi dari satu penderita kecalon
penderita lain (mereka yang telah terjangkit penyakit) (Sholeh S naga, 2012).
Daya penularan
dari seseorang penderita ditentukan oleh
banyaknya kuman yang dekeluarkan dari paru-parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan sputum,
makin menular penderita tersebut. Bila
hasil pemeriksaan sputum, negative (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut tidak
menular. Kemungkinan seseorang
terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Bakteri yang terkumpul didalam paru-paru
dapat menyebar melalui pembuluh darah atau
kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TB dapat
menginfeksi hampir seluruh organ tubuh
seperti : paru-paru, otak, ginjal, saluran
pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain. Meskipun demikian organ tubuh yang paling sering
terkena yaitu paru-paru. (Hernika T, 2010).
1.
Tanda
dan Gejala Klinis Penyakit TB Paru
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi
gejala umum dan gejala khusus yang
timbul sesuai dengan organ yang terlibat.
Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakan diagnosa
secara klinis (Monalisa M, 2015).
Gejala umum adalah berupa batuk-batuk
selama lebih dari 3 minggu (dapat
disertai dengan darah), demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam
hari disertai keringat malam,
kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul, penurunan nafsu makan dan
berat badan, perasaan tidak enak
(malaise), lemah (Monalisa M, 2015).
Sedangkan gejala khusus tergantung dari
organ tubuh mana yang terkena, bila
terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju keparu-paru) akibat penekanan kelenjar getah
bening yang membesar, akan menimbulkan
suara mengi, suara nafas melemah yang disertai
sesak. Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru),
dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi
gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit
diatasnya, pada muara ini akan keluar
cairan nanah. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai
meningitis (radang selaput otak),
gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan
kesadaran dan kejang-kejang (Monalisa M, 2015).
1.
Diagnosis
Laboratorium
Diagnosis
tuberculosis dapat ditegakan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainya. Pada program penanggulangan tuberculosis
dengan strategi DOTS, pemeriksaan
hapusan sputum mikroskopis dan sinar x tembus dada merupakan metode standar. Dalam perkembanganya
kini banyak teknik diagnostik baru yang
diperkenalkan dan telah cukup luas
dipakai, misalnya Polymerase chain
reaction (PCR), Bact alert, Nucleid
acid amplification, dan Deteksi interferon
gamma (Nur Adi, 2013).
Sampai
dewasa ini diagnosis tuberculosis paru yang digunakan secara rutin di laboratorium klinik, termasuk
Rumah Sakit dan puskesmas adalah diagnosis
bakteriologis dengan teknik mikroskopis
BTA pada sediaan apusan sputum. Pada kasus tertentu dilakukan kultur
untuk konfirmasi diagnosis laboratorium. Teknik kultur memiliki sensitivitas dan spesifitas yang
tinggi, dapat mendeteksi paling sedikit
10 mikrobakteria/ml specimen sputum, kendalanya
selain memerlukan waktu yang lama lebih dari satu minggu untuk memperoleh hasilnya, juga diperlukan suatu
fasilitas laboratorium khusus untuk kultur
Mycobacterium tuberculosis yang
terjamin keamananya (Nur Adi, 2013).
Teknik
mikroskopis langsung dapat dilakukan dalam waktu relatif cepat tetapi teknik ini kurang sensitive,
dibutuhkan paling sedikit
mikrobakteria/ml specimen sputum untuk mendapatkan hasil yang positif, yang merupakan kendala pada kasus
dini, karena umumnya belum banyak jumlah
mikroba dalam sputum penderita(Nur Adi, 2013).
Untuk
menentukan adanya BTA dalam sputum diperlukan cara pengambilan sputum yang baik dan benar.
Pewarnaan ZN digunakan untuk mendeteksi
BTA dalam sputum. Untuk peningkatan efektivitas
pewarnaan ZN dalam mendeteksi BTA dalam sputum, diperlukan proses dekontaminasi sebelum pewarnaan.
Dekontaminasi sputum dengan zat yang
telah ditentukan berarti kuman lain dibunuh,
sedangkan BTA terkonsentrasi dalam sedimen sputum. Dengan sedimen sputum ini dilakukan pewarnaan ZN
(Hernika T, 2015).
2.
Pengobatan
dan Pencegahan Penyakit TB
Tujuan
pengobatan TB paru yaitu untuk menyembuhkan
penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencega terjadinya resistensi kuman terhadap OAT
(Obat Anti Tuberkulosis).
Jenis
OAT terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E), dan Streptomisin (H).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap,
yaitu tahap intensif dan lanjutan, pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari
dan perlu diawasi secara langsung untuk
mencegah terjadinya resistensi obat, bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara
tepat, biasanya penderita menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu, sebagian besar penderita TB BTA positif
menjadi BTA negative (konversi) dalam 2
bulan. Pada tahap lanjutan penderita mendapat
jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama, tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persister sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan (Anonim, 2007).
Upaya
pencegahan adalah upaya kesehatan yang dimaksudkan agar setiap orang terhindar dari
terjangkitnya suatu penyakit dan dapat
mencegah terjadinya penyebaran penyakit. Tujuanya adalah untuk mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya penyakit yaitu penyebab
penyakit (agent), manusia atau tuan
runag (host) dan factor
lingkungan (environment) (Notoatmojo,
2007).
Banyak
hal yang bisa dilakukan mencegah terjangkitnya TBC paru. Pencegahan-pencegahan berikut dapat
dikerjakan oleh penderita, masyarakat,
maupun petugas kesehatan :
a. Bagi
penderita, pencegahan penularan dapat dilakukan dengan menutup mulut saat batuk, dan membuang sputum
tidak disembarangan tempat.
b. Bagi
masyarakat, pencegahan penularan dapat dilakukan dengan meningkatkan ketahanan terhadap bayi,
yaitu dengan memberikan vaksinasi BCG.
c. Bagi
petugas kesehatan, pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TBC,
yang meliputi gejala, bahaya, dan akibat
yang ditimbulkanya terhadap kehidupan
masyarakat pada umumnya.
d. Pencegahan
penularan juga dapat dicegah dengan
melaksanakan desinfeksi, seperti cuci tangan, kebersihan rumah yang ketat, perhatian khusus terhadap
muntahan atau ludah anggota keluarga
yang terjangkit penyakit ini (Piring, Tempat
tidur, Pakaian), dan menyediakan ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup (Sholeh S
Naga, 2012).
A. Tinjauan Umum Tentang BTA
Mycobacterium tuberculosis
adalah
bakteri penyebab terjadinya penyakit
tuberculosis. Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882. Hasil penemuan ini
diumumkan di Berlin pada tanggal 24
maret 1882 dan tanggal 24 setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Tuberkulosis (Notoatmodjo, 2007).
Klasifikasi Mycobacterium
tuberculosis :
Kingdom : protophyta
Division : schizomycetes
Class : bakteri
Ordo : actinomycetales
Family : mycobacteriaceae
Genus : mycobacterium
Spesies : Mycobacterium
tuberculosis
Mycobacterium tuberculosis
adalah
kuman yang termasuk genus Mycobacterium, family mycobacteriaceae dan ordo actinomycetales. Mykobakterium
tuberculosis merupakan basil gram positif dan mengandung asam mikolik (waxes), didinding
selnya yang menyebabkan kuman bersifat
tahan asam dan dapat menimbulkan infeksi kronis (Erma lestari,
2005).
Mycobacterium
tuberculosis berbentuk batang lurus atau agak bengkok, panjang 1-4 mikron, lebar antara
0,3-0,6 mikron, obligat, tidak membentuk
spora, tidak motil, tidak berkapsul dan tidak tahan terhadap penghilangan zat warna dengan asam alkohol (Erma lestari,
2005).
Kemampuan mikobakterium tuberculosis dalam menginfeksi
hospes dan bertahan terhadap pengaruh factor lingkungan tidak lepas dari
struktur dan komponen penyusun sel, unsur-unsur yang tercantum dibawa ini
terutama ditemukan dalam dinding sel. Dinding sel mikobakteria dapat merangsang
hipersensitifitas jenis lambat dan merangsang suatu kekebalan terhadap infeksi.
Komponen basil tuberculosis terdiri dari :
1. Lemak
(lipid)
Mikobakteria kaya akan
lemak kompleks (lipid), kandungan lemak pada dinding sel antara 20 hingga
40% dari berat keringnya. Didalam sel lemak
terikat pada protein dan polisakarida. Lemak bertanggung jawab terhadap
sebagian besar reaksi-reaksi seluler jaringan dari bakteri tuberculosis. Selain
itu lemak juga bertanggung jawab terhadap sifat tahan asam, apabila lemak
bakteri tuberculosis dihilangkan dengan eter, maka sifat tahan asam akan
hilang.
2. Protein
Masing-masing tipe
mikobakteria berisi beberapa protein yang mendatangkan reaksi tuberculin. Ikatan
protein pada fraksi lilin, dengan injeksi menyebabkan sensitivitas tuberculin. Protein
ini juga dapat menimbulkan pembentukan berbagai antibody. Antigen dengan berat
molekul 6 kDa, 16 kDa, 38 kDa merupakan protein antigen yang dikeluarkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang dapat
menimbulkan antibody.
3. Polisakarida
Peranan polisakarida dalam pathogenesis
belum diketahui secara pasti, namun hasil penelitian mengindikasikan bahwa
beberapa polisakarida dapat merangsang hipersensitivitas tipe cepat dan
bertindak sebagai antigen dalam reaksi dengan serum orang terinfeksi (Syahruni H, 2010).
Dinding Mycobacterium
tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari
lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. Tuberkulosis ialah asam mikolad,
lilin kompleks (complex-waxes),
trehalosa dimikolat yang disebut cord factor dan mycobacterial
sulfolipids yang berperan dalam
virulensi. Asam mikolad merupakan asam lemak
berantai panjang (C60-C90) yang menghubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan
dengan peptidoglikan oleh jembatan
fosfodiester. Asam Mikolad mempunyai lapisan dinding yang sangat tebal, terdiri dari cabang-cabang dari
asam lemak saturated a-alkyl B-hydroxyl
fatty acids dalam bentuk lapisan lilin (wax). Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut
adalah polisakarida seperti
arabinogalaktan dan arabinomanan. Kompleks peptidoglikan, arabinogalaktan, dan asam mikolad dari cord
factor berfungsi sebagai cell wall
skeleton. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan M. Tuberculosis bersifat tahan asam (Sylvia
R, 2011).
Karakteristik M.
Tuberkulosis ditandai oleh sifat alami dari
dinding selnya. Struktur dinding selnya mempengaruhi resistensi M. Tuberkulosis terhadap bahan-bahan
dari lingkungan. Dari respon imun inang
dan berperan pada patogenitasnya. Sitoplasma sel M. Tuberkulosis diselimuti
oleh membran lipid dua lapis. Peptidoglikan yang kaku merupakan lapisan sebelah dalam dinding sel.
Sejumlah protein berhubungan dengan
peptidoglikan, yang terletak diantara membran,
beberapa protein ini mungkin imonugenik atau berupa epitop yang
dapat menginduksi pembentukan antibody
(Hernika T, 2010).
Arabinomanan menancap dalam membran sel dan meluas
kepermukaan. Arabinomanan merupakan campuran heterogen dari phosphorilated polysaccharide yang terdiri
dari arabinose dan mannose. Lapisan dinding sel wax mengandung asam mikolik dan
glikopeptida juga dapat meningkatkan imunogenitas dan menginduksi delayed type hypersensitivitas
(Hernika T, 2010).
A. Tinjauan Umum Tentang Sputum
Sputum adalah hasil sekresi mekanisme pembersihan
dari trakea dan bronki serta dikeluarkan melalui batuk yang dalam. Sputum yang
kemungkinan mengandung kuman BTA adalah yang berasal dari lesi paru terbuka.
Sputum tersebut dapat berupa mukopurulen atau purulen (Erma lestari, 2005).
Pemeriksaan sputum penting karena dengan ditemukanya
kuman BTA diagnosa tuberculosis suda dapat dipastikan. Disamping itu
pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang suda
diberikan (Nur Adi, 2013).
1.
Pengambilan
specimen sputum
Pasien diberitahu
bahwa contoh uji sputum sangat bernilai untuk menentukan status penyakitnya,
karena itu anjuran pemeriksaan SPS untuk pasien baru dan SP untuk pasien dalam
pemantauan pengobatan harus dipenuhi. Sputum yang baik adalah yang berasal dari
saluran nafas bagian bawah, berupa lendir yang berwarna kuning kehijauan
(mukopurulen). Pasien mengumpulkan sputum dalam keadaan perut kosong, sebelum
makan/minum dan membersihkan rongga mulut terdahulu dengan berkumur air bersih
(Kemenkes, 2012).
Bila
ada kesulitan mengeluarkan sputumnya pasien harus diberi obat ekspektoran yang
dapat merangsang pengeluaran sputum dan diminum pada malam sebelum mengeluarkan
sputum. Olahraga ringan sebelum mengeluarkan sputum juga dapat merangsang
sputum keluar. Sputum adalah bahan infeksius sehingga pasien harus berhati-hati
saat mengeluarkanya dan mencuci tangan. Pasien dianjurkan membaca prosedur
pengumpulan sputum yang tersedia ditempat/lokasi (Kemenkes, 2012).
Pengumpulan
sputum dilakukan diruang terbuka dan mendapat sinar matahari langsung atau
diruangan dengan ventilasi yang baik, untuk mengurangi kemungkinan penularan
akibat percikan sputum yang infeksius. Tempat pengumpulan sputum dilengkapi dengan
prosedur mengeluarkan sputum, tempat cuci tangan dengan air mengalir dan sabun.
Waktu pengumpulan sputum yaitu :
a. S
(Sewaktu, pertama): Sputum dikumpulkan saat datang pada kunjungan pertama.
b. P
(Pagi) : Sputum dikumpulkan pagi segera setelah bangun tidur pada hari ke-2,
dibawa langsung oleh pasien kelaboratorium.
c. S
(Sewaktu, kedua) : Sputum dikumpulkan dilaboratorium pada hari ke-2 saat
menyerahkan dahak pagi (Kemenkes, 2012).
1.
Sputum
dengan homogenisasi NaOH 4%
Homogenisasi/
dekontaminasi merupakan suatu metode untuk mengumpulkan kuman TB didalam sampel
yang semula tersebar menjadi terkumpul dan juga dapat membunuh kuman selain M.Tuberkulosis (Hernika T, 2015).
Teknik
homogenisasi/ dekontaminasi yang biasa digunakan adalah metode kubica yaitu
dengan mencampurkan satu bagian NaOH 4% dengan satu bagian sputum,
dikocok-kocok selama 15 menit, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm.
Selama 15 menit, supernatan dibuang kemudian filtrate dibuat smear dan siap
untuk dilakukan pengecatan dengan metode Ziehl Nelseen (Erma L, 2005)
Homogenisasi/
Dekontaminasi dengan NaOH 4% metode kubica berguna untuk pencairan dan
pencucian sampel (melepaskan organisme dari sel dan mucus).Suatu sampel
dekontaminan dapat larut dan dapat membunuh beberapa bakteri dan jamur dari sputum
sehingga positif rate meningkat dan tingkat kontaminasi dapat diturunkan
(Hernika T, 2010).
A. Tinjauan Umum Tentang Pembuatan
Apusan/Preparat
Sediaan apusan terdiri dari ukuran, kerataan,
ketebalan, dan kebersihan sediaan apus. Ukuran sediaan hapus yang baik ialah
2x3 cm, karena dengan ukuran tersebut dapat dibaca 150 lapang pandang sepanjang
garis tengah dari kiri kekanan. Kerataan sediaan apus dilihat dari dahak yang
tersebar merata, tidak terlihat daerah yang kosong pada kaca objek. Ketebalan
sediaan apus diperiksa dengan cara memegang sediaan apus yang belum dicat 4-5
cm diatas surat kabar. Ketebalan sediaan apus dianggap baik apabila huruf-huruf
tulisan pada surat kabar masih dapat terbaca. Secara mikroskopis, leukosit
tersebar merata dan tidak saling bertumpuk. Sedangkan kebersihan sediaan apus,
sediaan harus terbebas dari sisa-sisa zat warna fukhsin, kotoran serta Kristal yang
dihasilkan dari pemanasan terlebih saat pewarnaan (Depkes RI, 2007).
Sediaan yang telah dibuat dikeringkan pada suhu
ruang kemudian fiksasi dengan melewatkan sediaan diatas api 2-3 kali, fiksasi
dilakukan dekat dengan sumbu dan jangan terlalu lama. Apusan yang telah dibuat
harus dikeringkan lalu difiksasi, tujuan dari fiksasi ini adalah melekatkan
bakteri pada glass objek dan mematikan bakteri (Depkes RI, 2011)
A.
Tinjauan
Umum Tentang Pewarnaan
Pewarnaan mula-mula dikembangkan oleh Paul Erlich
pada tahun 1882 sebagai zat warna utama menggunakan Aniline oil metil violet, pelunturnya asam klorida (HCL) dan zat
warna lawanya Bismarc brown y. Erlich
menemukan bahwa bakteri tuberkel (Mycobacterium
tuberculosis) sesudah diwarnai dengan pewarna aniline dan kemudian
ditangani dengan asam, tidak kehilangan warnanya. Metode ini dikembangkan oleh
Zielh (1882) mengganti aniline dengan fenol, dan Neelsen (1883) menggunakan karbol fukhsin sebagai aniline dan
asam sulfat (H2SO4) sebagai pengganti asam khlorida (HCL). Perkembangan selanjutnya,
sebagai peluntur zat warna utama adalah asam alcohol dan sebagai zat warna
lawan adalah methilen blue. Metode pewarnaan ini disebut Ziehl Neelsen, sesuai
dengan nama peneliti yang mengembangkanya (Syahruni H, 2010).
Pewarnaan ini ditunjukan terhadap bakteri yang
mengandung lemak dalam konsentrasi tinggi sehingga sukar menyerap zat warna,
namun jika bakteri diberi zat warna khusus misalnya karbol fukhsin melalui
proses pemanasan, maka akan menyerap zat warna dan akan tahan diikat tanpa
mampu dilunturkan oleh peluntur yang kuat sekalipun seperti asam alcohol.
Karena itu bakteri ini disebut bakteri tahan asam (BTA). Teknik pewarnaan ini
dapat digunakan untuk mendiagnosa keberadaan bakteri penyebab tuberculosis yaitu
Mycobacterium tuberculosis. Ada
beberapa cara pewarnaan tahan asam, namun yang paling banyak adalah cara
menurut Ziehl-Neelsen (Hernika T, 2014).
Komposisi
dari pewarna Ziehl Neelsen terdiri dari :
1. Karbol
fukhsin, adalah campuran antara fenol (C6H5OH) dan fukhsin basa (C2OH19N3.HCL)
larutan dalam campuran air alcohol-fenol, umumnya digunakan dalam prosedur pewarnaan
mikobakteri yang memiliki kandungan asam mikolad yang cukup tinggi pada dinding
selnya. Sifat-sifat dari karbol fukhsin
yaitu mudah menembus lapisan lemak, mewarnai bagian inti dan sel bakteri,
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap sel bakteri yang mengandung asam
mikolad.
2. Asam
Alkohol 3%, asam alcohol yang digunakan disini adalah campuran antara HCL pekat
dan Etanol 96%, 3 ml HCL pekat dilarutkan dengan Etanol 96% sebanyak 97 ml.
larutan ini digunakan sebagai dekolorisasi pada pewarnaan Ziehl Neelsen.
3. Methilen
bleu, zat warna yang biasa digunakan sebagai indikator, pada bidang ilmu
biologi methilen blue (C16H18N3CIS) digunakan sebagai pewarna dalam pewarnaan.
Larutan methilen blue dapat digunakan untuk mewarnai RNA atau DNA. Methilen
blue bersifat sedikit beracun dan tidak merusak rantai asam nukleotida pada
proses pewarnaan. Methilen blue yang digunakan pada pewarnaan Ziehl adalah
methilen blue 0,3% yang dibuat dengan melarutkan 0,3 gram serbuk methilen blue
dengan aquades sebanyak 100ml/l.
Prosedur pewarnaan tahan asam yang paling tua, pewarnaan Ziehl Neelsen
mensyaratkan bahwa pewarna karbol fukhsin dipanasi sampai beruap selama proses
pewarnaan. Zat dekolorisasi adalah
campuran asam hidroklorida pekat dan alcohol 96% dan zat warna tandinganya
adalah methilen blue. Pewarnaan ini tergolong pewarnaan diferensial karena
dapat membedakan bakteri yang tahan asam dan yang tidak tahan asam. Sediaan apus
bakteri yang suda difiksasi dipanasi dengan karbol fukhsin, dekolorisasi dengan
asam alcohol 3%, mikobakteri dan nokardium tidak akan melepas warnanya sesudah
diperlakukan dengan asam. Hal tersebut disebabkan karna kadar asam-asam mikolad
pada dinding sel sangat tinggi yang membuat sel mikobakteri Nampak seperti
lilin dan bersifat hidrofob (Syahruni H, 2010).
Pewarnaan metode Ziehl Neelsen mempunyai
prinsip dasar yaitu bakteri Mycobacterium
tuberculosis pada saat ditetes dengan karbol fukhsin dan dipanaskan maka
lapisan lipid pada dinding sel akan terbuka sehingga karbol fukhsin akan masuk
kedalam sel, pada saat didinginkan kembali maka lapisan lipid akan tertutup
kembali sehingga pada saat dekolorisasi dengan HCL alcohol 3% karbol fukhsin
tidak akan luntur dan diberikan larutan methilen blue sebagai warna latar
belakang (Hernika T, 2014).
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
A.
Jenis
Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang disajikan
dalam bentuk deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui perbandingan hasil pemeriksaan
basil tahan asam menggunakan mikroskopis
langsung dan dengan metode kubica.
B.
Tempat
dan Waktu
Penelitian
ini dilaksanakan di Rumah sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar pada bulan juni –
juli 2016.
C.
Populasi
sampel
1. Populasi
Populasi dalam
penelitian ini adalah penderita TB paru yang melakukan pemeriksaan di Rumah
Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian
ini adalah sputum penderita TB paru yang negatif (-), scanty, 1+, 2+, dan 3+.
3. Besaran
sampel
Sampel pada penelitian
ini diambil sebanyak 10
4. Tehnik
pengambilan sampling
Tehnik pengambilan
sampling dalam penelitian ini adalah purposive sampling.
D.
Kriteria
Sampel
1. Kriteria
inklusi
a. Suspek
TB paru yang baru melakukan pemeriksaan
b. Sampel
sputum dengan pemeriksaan mikroskopis langsung
c. Sampel
sputum dengan menggunakan metode kubica
2. Kriteria
eksklusi
a. Pasien
TB paru yang sudah mendapatkan pengobatan OAT
b. Pasien
yang tidak bersedia menjadi subjek penelitian.
E. Variable Penelitian
Variabel
dalam penelitian ini terdiri dari variable terikat dan independen
1. Variabel
terikat
Variabel terikat dalam
penelitian ini adalah sputum penderita TB paru.
2.
Variable independen
Variabel independen
dalam penelitian ini adalah bakteri Basil Tahan Asam.
F. Definisi Operasional
1. TB
paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis atau basil tuberkel yang tahan asam.
2. Bakteri
tahan asam adalah bakteri yang pada pengecetan ZN tetap mengikat warna pertama,
tidak luntur oleh asam dan alkohol 3 %, sehingga tidak mampu mengikat zat warna
kedua, di bawa mikroskop tampak bakteri berwarna merah dengan latar biru.
3. Sputum
adalah bahan yang dikeluarkan dari paru-paru, bronkus, dan trakea melalui
mulut.
4. NaOH
4%-NALC-Natrium Sitrat adalah senyawa dekontaminasi yang digunakan dalam
pembuatan preparat penderita TB untuk membunuh bakteri dan fungi lain yang
terdapat dalam sputum.
5. Preparat
dengan homogenisasi/dekontaminasi adalah preparat yang dibuat apusan dengan
penambahan senyawa dekontaminasi.
6. Pewarnaan
Ziehl Neelsen adalah pewarnaan tahan asam yang menggunakan carbol fuchsin 0,3%
sebagai pewarna utama, HCL alkohol 3% sebagai peluntur, dan methilen blue 0,3%
sebagai warna latar/dasar.
G.
Alat
dan Bahan
1. Alat
Rak sediaan, Pinset,
Lampu spiritus, Stopwatch, Kaca objek, Ose/lidi, Pipet tetes, Air
mengalir/botol semprot air, Mikroskop dan oil imersi, centrifuge, pipet, thermo
HT, tabung falkon.
2. Bahan
Carbol fuchsin 0,3%, Larutan
peluntur (HCL alkohol) 3%, Larutan methilen blue 0,3%,NALC 1 gr
(N-Acetyl-L-cystein + NaOH 4%).
H.
Prosedur
Kerja
1. Pengambilan
sampel sputum
a. S
(sewaktu), Sputum dikumpulkan pada saat suspek TB paru datang pertama kali.
Saat pulang suspek membawa sebuah pot sputum untuk sputum hari kedua.
b. P
(pagi), Sputum dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua segera setelah bangun
tidur.
c. S
(sewaktu), Sputum dikumpulkan di unit pelayanan kesehatan (UPK) pada hari kedua
saat menyerahkan sputum pagi.
2. Pembuatan
preparat.
a. Pembuatan
preparat metode smear langsung
1)
Ambil contoh uji dahak pada bagian yang
purulen dengan lidi.
2)
Sebarkan diatas kaca sediaan dengan
bentuk oval ukuran 2x3 kemudian ratakan dengan gerakan spiral kecil-kecil.
Jangan membuat gerakan spiral bila sediaan dahak sudah kering karena akan
menyebabkan aerosol.
3)
Keringkan pada suhu kamar.
4)
Masukan lidi bekas kedalam wadah berisi
desinfektan.
5)
Fiksasi dilakukan dengan memegang kaca
sediaan dengan pinset, pastikan kaca sediaan menghadap keatas. Lewatkan sediaan
diatas api bunsen yang berwarna biru 2-3 kali selama 1-2 detik.
b. Pembuatan
preparat dengan metode kubica
1)
Sputum dimasukan kedalam tabung falkon (
tabung centrifuge) sebanyak 50 ml.
2)
Tambahkan larutan dekontaminasi yaitu
larutan NaLC 1 gr (N-Acetyl-L-cystein + NaOH 4%) dengan volume perbandingan
yang sama (1:1).
3)
Divortex selama beberapa detik, pastikan
spesimen benar-benar tercampur. Jika masih berlendir, tambahkan sejumlah kecil
bubuk NALC (0,1-0,2 gr) langsung ke tabung spesimen.
4)
Biarkan selama 15 menit pada suhu kamar.
5)
Kemudian tambahkan Phospat Buffer Saline
(PBS) pH 6,8 hingga volume mencapai 50 ml.
6)
Centrifuge spesimen dengan kecepatan
3000 rpm selama 15 menit.
7)
Diamkan selama 5 menit untuk
memungkinkan aerosol menetap.
8)
Supernatan dibuang secara perlahan dan
endapan ditambahkan 1-2 ml PBS ( pH 6,8).
9)
Selanjutnya hasil dekontaminasi ini
dibuat smear mikroskopi dengan bantuan pipet.
10) Lalu
keringkan diatas thermo HT.
c. Pewarnaan
menggunakan metode Ziehl Neelsen
1) Diletakan
sediaan diatas rak dengan jarak minimal 1 jari telunjuk.
2) Tuangkan
carbol fuchsin 0,3 % menutupi seluruh permukaan sediaan.
3) Panaskan
sediaan dengan sulut api sampai keluar uap (jangan sampai mendidih), kemudian
dinginkan selama lima menit.
4) Buang
carbol fukhsin perlahan-lahan satu persatu.
5) Bilas
dengan air mengalir.
6) Tuangkan
asam alcohol 3 % pada sediaan biakan beberapa saat lalu bilas dengan air sampai
bersih, tidak tampak sisa zat warna merah. Bila masi tampak warna merah lakukan
decolorisasi beberapa kali.
7) Bilas
dengan air mengalir.
8) Tuangkan
0,3 % methilen blue hingga menutupi seluruh sediaan dan biarkan 10-20 detik.
9) Buang
methilen blue setu persatu sediaan.
10) Bilas dengan air mengalir.
11) Keringkan sediaan pada rak pengering.
3. Pembacaan
dan pelaporan hasil
a. Pembacaan
1)
Sediaan yang telah kering ditetesi
minyak imersi.
2)
Dilihat dengan mikroskop dengan
pembesaran obyektif 10x untuk menentukan focus atau lapang pandang.
3)
Lensa obyektif 100x dilakukan pembacaan
disepanjang garis horisontal dari ujung kiri ke ujung kanan atau sebaliknya.
4)
Dicari dengan adanya batang panjang atau
pendek yang berwarna merah dengan latar belakang berwarna biru.
5)
Dibaca minimal 100 LP.
b. Pelaporan
hasil
Pelaporan hasil
pemeriksaan mikroskopis dengan mengacu kepada skala International Union Against
To Lung Disease (IUATLD) :
1)
Negatif : tidak ditemukan BTA dalam 100
lapang pandang.
2)
Scanty : ditemukan 1-9 BTA dalam 100
lapang pandang (tuliskan jumlah BTA yang ditemukan).
3)
1+ : ditemukan 10-99 BTA dalam 100
lapang pandang
4)
2+ :ditemukan 1-10 BTA setiap 1 lapang
pandang
(periksa minimal 50 lapang pandang).
(periksa minimal 50 lapang pandang).
5)
3+ : ditemukan ≥ 10 BTA dalam 1 lapang
pandang (periksa minimal 20 lapang pandang).
A. AnalisaData
Hasil
uji laboratorium akan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar yang selanjutnya
dianalisa secara deskriptif dan dibandingkan
dengan tingkat hasil pemeriksaan mikroskopis langsung dan metode kubica.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Penelitian
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dari 10
sampel sputum penderita Tb dengan metode mikroskopis langsung (direct) dengan
metode kubica (indirect) yang dilakukan pada tanggal 27 juni sampai 04 juli
2016 di Laboratorium Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar, maka diperoleh
hasil pemeriksaan yang tersedia pada table berikut :
Tabel 1. Perbandingan hasil antara
pemeriksaan mikroskopis langsung
(direct) dengan menggunakan metode kubica (indirect)
NO
|
KODE
SAMPEL
|
MIKROSKOPIS
LANGSUNG (DIRECT)
|
METODE
KUBICA (INDIRECT)
|
1
|
741273
|
1+
|
3+
|
2
|
748782
|
Neg
|
3+
|
3
|
748783
|
3+
|
3+
|
4
|
749563
|
2+
|
2+
|
5
|
H049
|
1+
|
1+
|
6
|
OAT 393
|
2AFB
|
2AFB
|
7
|
733484
|
Neg
|
Neg
|
8
|
757017
|
1+
|
1+
|
9
|
761791
|
2+
|
2+
|
10
|
762284
|
3+
|
3+
|
Sumber
: Data Primer Juli 2016
Tabel diatas menunjukan hasil pemeriksaan
sampel sputum dengan metode kubica (indirect) diperoleh BTA lebih banyak dibandingkan
dengan mikroskopis langsung (direct).
B.
Pembahasan
Penelitian
ini adalah penelitian yang disajikan dalam bentuk deskriptif yang bertujuan
untuk mengetahui perbandingan hasil antara pembuatan preparat sputum penderita
Tb dengan menggunakan mikroskopis langsung (direct) dan dengan metode kubica
(indirect). Sampel dianalisis di Laboratorium Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo
Makassar.
Pemeriksaan
BTA secara mikroskopis langsung (direct) dengan metode kubica (indirect) dapat
lebih mengkonsentrasikan BTA yang semula tersebar dan dalam keadaan bebas. Hal
tersebut dapat lebih mempermudah ditemukanya BTA. Dari data hasil pemeriksaan
diatas, sampel yang dibuat dengan mikroskopis langsung (direct) dan yang dibuat
dengan metode kubica (indirect), diperoleh hasil dengan jumlah kuman dimana
dengan metode kubica (indirect) lebih banyak ditemukan kuman Mycobacterium tuberculosis dari pada
yang dibuat pulasan langsung (direct).
Terkait
dengan metode kubica (indirect) dan dengan mikroskopis langsung (direct) juga
dapat memberikan gambaran bahwa metode kubica (indirect) lebih unggul dalam
metode pemeriksaan BTA dimana hasil yang ditemukan memiliki perbedaan. Ini
menunjukan bahwa metode kubica (indirect) pada saat pembuatan sediaan dapat
memudahkan penemuan dan memperbanyak jumlah BTA yang ditemukan.
Pada
metode kubica (indirect) intensitas warna biru pada latar belakang lebih
sedikit dibandingkan dengan mikroskopis langsung (direct) yang mempunyai
intensitas warna biru pada latar yang lebih pekat selain itu terlihat lebih
bersih pada saat pemeriksaan dimikroskop. Hal tersebut dikarenakan penambahan larutan
dekontaminasi NALC (N-Acetyl-L-cystein + NaOH 4%) yang dapat menghancurkan dan
mematikan zat lain yang terdapat dalam sampel sputum seperti sel-sel epitel,
leukosit, benang lendir, dan zat lainya yang terdapat dalam sputum rusak akibat
proses dekontaminasi sehingga sediaan tampak lebih bersih.
Proses
metode kubica (indirect) juga dapat meyebabkan BTA terlepas dan dalam keadaan
bebas sehingga dapat terwarnai dengan baik dan dapat ditemukan dalam jumlah
yang banyak. Sedangkan pada mikroskopis langsung (direct) sputum yang purulen
dapat menutupi BTA pada saat pembuatan sediaan serta sifat intraseluler dari
BTA sehingga setelah terwarnai BTA sulit ditemukan atau tidak tampak pada
pemeriksaan mikroskop.
Pemeriksaan
sputum menggunakan metode kubica dilaksanakan dengan beberapa langkah kerja
yaitu dimulai dari pencampuran sputum dengan larutan NALC (N-Acetyl-L-cystein +
NaOH 4%) , homogenisasi dan sentrifugasi. Proses homogenisasi bertujuan untuk menghomogenkan
sputum sehingga kuman BTA yang terdapat dalam sputum akan tersebar merata.
Sentrifugasi dilakukan untuk mengkonsentrasikan kuman BTA pada satu titik
sehingga uintuk proses pengambilan sampel akan lebih efektif. Kecepatan
sentrifugasi yang digunakan yaitu 3000 rpm selama 15 menit, pada kecepatan ini
kuman BTA diendapkan secara efektif.
Sesuai
hasil penelitian, didapatkan Neg (-)
pada pemeriksaan mikroskopis langsung (direct), menggunakan metode
kubica (indirect) 3+ sedangkan hasil mikroskopis (direct) didapatkan 1+ dan
untuk metode kubica (indirect) didapatkan 3+ , hal ini menunjukan bahwa
terdapat perbedaan yang bermakna antara sampel yang dibuat dengan mikroskopis
langsung (direct) dengan sampel yang dibuat dengan menggunakan metode kubica
(indirect).
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
pada pemeriksaan Tb seperti faktor internal yaitu dahak yang tidak purulen,
menggunakan reagen yang melewati batas kadaluarsa, dan cara pembuatan sediaan
preparat tidak sesuai 2x3. Sedangkan faktor eksternal yaitu tenaga laboratorium
yang tidak berkopeten.
Hasil penelitian ini diperkuat oleh data
penunjang dari penelitian sebelumnya oleh DARMAWATI pada tahun 2012 dengan
judul Peningkatan Efektifitas Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Tersangka
Penderita Tuberculosis (TBC) Paru yang menyimpulkan bahwa terdapat kenaikan
jumlah pasien yang dinyatakan positif dengan perlakuan menggunakan metode
kubica (indirect) apabila dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis secara
langsung (direct).
Adapun kekurangan dalam menggunakan metode kubica seperti larutan NALC tidak bisa
lewat dari 24 jam karena ada agen-agen mukolitik yang rusak, zat kimia yang
digunakan empat macam yaitu NaOH 4%,Na cuitrat 2.9% ,NALC bubuk, PBS, dan tidak
umum digunakan hanya laboratorium penelitian yang menggunakan karna sulit
didapatkan zat NALC bubuk. Sedangkan kelebihan dari metode kubica yaitu larutan
NALC sebagai dekontaminan juga sebagai pencairan,m pencucian sampel (melepaskan
mikroorganisme dari sel dan mukus),
memendekan waktu dekontaminasi sehingga mengoptimalkan pemeriksaan BTA, sediaan
terlihat lebih bersih karena larutan NALC memecahkan sel-sel epitel maupun sel
lainya sehingga sediaan tampak lebih bersih, BTA terkonsentrasi dan mudah
ditemukan.
BAB
V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Pada
pembuatan preparat apusan BTA dengan menggunakan mikroskopis langsung (direct) dilakukan dengan cara sampel
dahak yang purulen disebarkan diatas kaca sediaan dengan bentuk oval ukuran 2x3
kemudian ratakan dengan gerakan spiral kecil-kecil dan keringkan pada suhu
kamar selanjutnya fiksasi diatas Bunsen.
2. Pembuatan
preparat apusan BTA dengan menggunkan metode kubica (indirect) sama dengan menggunakan mikroskopis langsung bedanya pada
metode kubica dilakukan dengan menambahkan larutan NALC 1 gr
(N-Acetyl-L-cystein + NaOH 4%).
3. Terdapat
perbedaan antara metode mikroskopis langsung (direct) dan metode kubica (indirect)
dalam menemukan BTA dimana pada metode kubica (indirect) didapatkan hasil yang lebih bagus.
B.
Saran
1. Petugas
laboratorium sebaiknya menggunakan metode kubica (indirect) pada pemeriksaan TB untuk mendapatkan hasil yang labih
bagus lagi.
2. Masyarakat
sebaiknya berhati-hati dan menjaga kesehatan agar terhindar dari penularan
bakteri Tuberculosis ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Akiko
fujiki, 2007. Panduan petugas laboratorium TB di unit pelayanan kesehatan.
Jepang. Hal 3,10,11.
Anonim,
2010. Tuberkulosis paru pada masa
pengobatan. Sumatra utara. Diakses pada tanggal 20 april 2016 pukul 20.00
wita.
Adi
Nur, 2013. Jurnal media analis kesehatan.Makassar.
Diakses pada tanggal 21 april 2016 pukul 09.06 wita
Alwi
idrus, Sudoyo Aru W, Setiyohadi B, 2009. Buku
ajaran ilmu penyakit dalam. EGC Jakarta pusat 10430.Hal : 2232,2233.
Darmawati
S, Sinto Dewi S. 2012. Peningkatan
efektifitas pemeriksaan mikroskopis sputum tersangka penderita tuberculosis
(TBC) paru dibalai pengobatan penyakit paru (BP4) semarang.Http://Jurnal.unimus.ac.id.
Diakses pada tanggal 20 april 2016 pukul 20.15 wita.
Departemen
kesehatan, 2007. Program penanggulangan
TBC, pusat data dan informasi. PT Jakarta.
Erma
Lestari, 2005. Nilai diagnostik pemeriksaan mikroskopis basil tahan asam metode
konsentrasi dibandingkan dengan kultur pada sputum tersangka tuberculosis paru.
Universitas diponegoro semarang.https://core.ac. uk/download/files/379/11713049.pdf.
Diakses pada tanggal 20 april 2016 pukul 20.22 wita
Kemenkes
RI, 2013. Petunjuk teknis manajemen TB
anak. PT Jakarta. Hal:2
Kemenkes
RI, 2012. Modul pelatihan pemeriksaan dahak mikroskopis TB. PT Jakarta.
Hal:29,30,44,45,46,47,49.
Kemenkes
RI, 2011. Pedoman nasional pengendalian tuberculosis. PT Jakarta
Lyanda
Apri.2012. Jurnal tuberculosis Indonesia.
Fakultas kedokteran universitas Indonesia Jakarta. Diakses pada tanggal 20
april 2016 pukul 19.25 wita
Meidania
Monalisa, 2015. Penatalaksanaan fisioterapi pada tuberculosis paru dirumah sakit paru
ario wirawan salatiga. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Diakses pada
tanggal 21 april 09.01 wita
Notoadmojo,
S. 2007. Ilmu kesehatan masyarakat dan
seni. Jakarta: Rineka Cipta.
Naga
S Sholeh, 2012. Buku panduan lengkap ilmu penyakit dalam. PT Jogjakarta.
Hal:312,313.
Syahruni
H, 2010. Analisis hasil pemeriksaan basil tahan asam (BTA) dengan pewarnaan
ziehl neelsen dan pemeriksaan serologi metode rapid test TB pada penderita suspek tuberculosis paru.Universitas HasanudinMakassar.http://repository.unhas.ac.id:4001/digilib/files/disk1/252/--syahrunihi-12585-1-..ok.pdf.
Diakses pada tanggal 21 april pukul 09.22 wita
Sylvia
R, 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingginya angka suspek tuberculosis dipuskesmas perawatan ratu agung.
Universitas Bengkulu.http://repository.unib.ac.id/6878/1/laporan%20tb%20upload.pdf.
Diakses pada tanggal 21 april pukul 09.27 wita
Ganis Dr, 2012. Deteksui dini tuberculosis. http://www.slideshare.net/yoshilol/pamflet-tb
Tanwar
H, 2014. Bakteriologi I. DIII Analis
kesehatan Makassar. Hal:28.
Tanwar
H, 2010. Perbandingan metode dekontaminasi NaOH 4 % dan NALC NaOH dengan
pemeriksaan Ziehl Neelsen, kultur Lowenstein Jensen dan PCR pada suspek penderita TB. Makassar.http://repository.unhas.ac.id:4001/digilib/files/disk1/432/--hernikatan-21589-1-hernika-%29.pdf.
Diakses pada tanggal 20 april 2016 pukul 20.30 wita
WHO
2012. “Global Tuberculosis Report 2012’’.
Word Healt Organization 20 Avenue
Appia, 1211-Geneva-27, Switzerland. Tersedia di www.Who.int/-tuberkulosis.
Diakses pada tanggal 23 april pukul 15.00 wita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar