BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kinerja suatu
komponen rumah sakit tentang mengenai patient
safety menjadi prioritas utama yang perlu ditingkatkan sehingga perlu
perbaikan terobosan dalam keselamatan pasien sudah dimulai oleh Leapfrog
Group dan IOM pada tahun 2009 yang menekankan agar rumah sakit
mengembangkan inisiatif keselamatan pasien (patient safety initiative).
Hal ini dirancang untuk meningkatkan keselamatan pasien (McFadden et al,
2009). World Health Organization Collaborating Center for Patient Safety
Solutions bekerjasama dengan Joint Commission and Joint Commission
International (JCI) telah memasukkan masalah keselamatan pasien dengan
menerbitkan program kegiatan keselamatan pasien pada tahun 2005, salah satunya
yaitu penerapan budaya keselamatan pasien (WHO, 2007).
Rumah sakit
merupakan institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan kepada perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Permenkes, 2010).
Keselamatan pasien merupakan sistem
yang bertujuan untuk memberikan asuhan terhadap pasien secara aman sebagai
upaya mencegah kejadian yang tidak diinginkan (Kemenkes, 2011).
Di Indonesia, data tentang KTD dan KNC
masih langka, namun dilain pihak terjadi peningkatan tuduhan mal-praktik yang
belum tentu sesuai dengan pembuktian akhir. Insidensi pelanggaran keselamatan
pasien 28,3% dilakukan oleh perawat. Oleh karena itu, perawat sebagai salah
satu pelaksana berpotensi besar dalam melakukan suatu kesalahan jika tidak mempunyai
pengetahuan dan kesadaran yang tinggi bahwa tindakan yang dilakukan akan
memberikan efek pada pasien (Depkes RI 2006).
Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah merupakan suatu sistem yang
mencegah terjadianya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) akibat tindakan yang
dilakukan atau bahkan tidak dilakukan oleh tenaga medis maupun non medis.
Sistem tersebut meliputi : assesmen resiko, identifikasi pasien dan pengelolaan
hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan analisis insiden,
kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi
untuk meminimalkan timbulnya risiko (Depkes, 2008).
Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang
sering terjadi pada pasien selama dirawat dapat disebabkan oleh berbagai faktor
antara lain : Lingkungan kerja, hal-hal yang berhubungan dengan kondisi pasien,
alur komunikasi yang kurang tepat, penggunaan sarana kurang tepat, kebijakan
dan prosedur yang tidak adekuat. Semua faktor tersebut menimbulkan terjadinya
insiden keselamatan pasien yang beragam, mulai dari yang ringan dan sifatnya reversible
hingga yang berat berupa kecacatan atau bahkan kematian (KKP–RS 2008).
Sejalan
dengan laporan insiden keselamatan pasien di Indonesia oleh Komite Keselamatan
Pasien Rumah Sakit (KKPRS) berdasarkan provinsi pada tahun 2007, menemukan
sejumlah kasus jenis Kejadian Nyaris Terjadi (KNC) sebesar 47% dan Kejadian
Tidak Disengaja (KTD) sebesar 46,2% sedangkan pada tahun 2010 kasus KTD
meningkat menjadi 63% yang terdiri dari 12 provinsi di Indonesia. Insidensi
pelanggaran patient safety 28,3%
dilakukan oleh perawat. Contohnya koordinasi dan komunikasi yang kurang baik
antar perawat, penggunaan alat suntik yang tidak aman, salah pemberian obat
(Muthmainah, 2014). Dari Insidens tersebut diatas pelanggaran perawat terhadap
pelayanan mengenai keselamatan pasien (patient safety) sangat memprihatinkan.
Oleh karena itu inseden-insiden pelanggaran seperti ini semestinya diperbaharui
untuk lebih memperhatikan mutu pelayanan sehingga keselamatan pasien lebih
terjamin.
Adapun
insiden lain (Indonesia) yaitu, laporan insiden mengenai keselamatan pasien
dari (Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit) KKP-RS, mengemukakan bahwa terjadi
peningkatan yang signifikan pada kasus insiden keselamatan pasien dari bulan
Januari hingga April tahun 2011. Selanjutnya berdasarkan jenis insidennya
dilaporkan adanya pelaporan kasus KTD (14,41%) dan Kejadian Nyaris Cidera (KNC)
(18,53%) . Berdasarkan tipe insidennya yang disebabkan karena Proses atau
Prosedur Klinik (9,26%) dan Medikasi (9,26%) sementara Jatuh (5,15%),
Dokumentasi (3,9%), Perilaku Pasien (3,9%), Lab (2,6%), dan Transfusi Darah
(1,3%). Kemudian dari laporan insiden keselamatan pasien di Indonesia
berdasarkan Provinsi menemukan bahwa 145
insiden yang dilaporkan 0,69% dari kasus tersebut terjadi di Indonesia
(Muthmainnah 2014).
Oleh
karena itu rumah sakit memiliki fungsi penting dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat khususnya patient
safety sehingga dituntut selalu meningkatkan mutu pelayanan yang diberikan. Untuk meningkatkan
mutu pelayanan yang diberikan tersebut salah satu yang harus diperhatikan oleh
pihak rumah sakit yaitu sistem keselamatan pasien (patient safety). Dalam hal ini rumah sakit diharuskan untuk lebih
meningkatkan keselamatan pasien (Aprilia, 2011).
Maka
dengan demikian perawat merupakan salah satu komponen SDM dalam sistem
pelayanan kesehatan rumah sakit sebagai ujung tombak yang bertugas langsung
digaris depan yang paling banyak berhadapan dengan pasien. Oleh karena itu
perawat harus menyadari perannya sehingga harus dapat berpartisipasi aktif
dalam mewujudkan keselamatan pasien (patient
safety). Oleh karena itu kerja keras
perawat tidak dapat mencapai level
optimal jika tidak didukung dengan sarana prasarana, manajemen rumah sakit dan
tenaga kesehatan lainnya (Adib, 2009) sehingga terfasilitasinya suatu komponen
rumah sakit dapat erat kaitannya dengan meningkatkan kebutuhan terhadap patient safety.
Kejadian
Yang Tidak Diharapkan suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak
diharapkan pada pasien karena suatu tindakan atau mengambil tindakan yang tidak
seharusnya diambil dan bukan karena underlying
disease atau kondisi pasien. Kesalahan tersebut biasanya seperti infeksi
jarum suntik, kesalahan pemberian dosis obat, kesalahan jenis obat, tidak
terpantaunya pemberian cairan, kegagalan berkomunikasi, kegagalan alat atau
sistem yang lain (Riny, 2013). Kejadian Tidak Diharapkan masih menjadi masalah sehingga
peningkatan keselamatan pasien masih belum maksimal.
Dari
beberapa masalah insiden kesalahan maka sangat penting dalam menerapkan
keselamatan pasien (patient safety)
di rumah sakit. Ada beberapa aspek yang harus dibangun Menurut Kuncoro, (2012)
“ aspek yang harus dibangun dalam menerapkan keselamatan pasien (patient safety) di rumah sakit adalah
pengetahuan, sikap, kinerja perawat terhadap patient safety”. Dari beberapa aspek ataupun masalah mengenai
keselamatan pasien maka sangat penting untuk ditingkatkan dan dikembangkan.
Menurut
keputusan Menteri Kesehatan No.129 tahun 2008 tentang Standar pelayanan Minimal
Sakit sebesar ≤1,5%. Jadi pencapaian di Instalasi Rawat Inap RSUD Labuang Baji
Makassar tahun 2013-2014 belum memenuhi standar Keputusan Menteri Kesehatan
No.129 tahun 2008. Sejalan dengan inseden-insiden yang terjadi sangat berkaitan
dengan pentingnya suatu tingkat pengetahuan perawat tentang penanganan tindakan
terhadap keselamatan pasien (patient safety).
Kemudian
Insiden lain yang terjadi tentang Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) di Instalasi
Rawat Inap RSUD Labuang Baji Makassar pada tahun 2013 ditemukan sebesar 3,4%
KTD berupa infeksi jarum infus (phlebitis), dan pada tahun 2014 ditemukan
sebesar 2,5% infeksi jarum infus (Syahafdal, 2015). Insiden tersebut
menunjukkan bahwa budaya keselamatan pasien di RSUD Labuang Baji Makassar dalam
kategori baik namun tindakan pelayanan kesehatan terhadap keselamatan pasien
masih dalam kategori buruk. Oleh karena itu butuh upaya untuk meningkatkan
pengetahuan dan kinerja perawat terhadap patient
safety.
Selain
itu, yang melatarbelakangi sehingga peneliti mengambil judul tersebut adalah
dengan adanya informasi-informasi yang peneliti dapatkan tentang pelayanan
kesehatan yang masih belum maksimal tentang mengenai keselamatan pasien di RSUD
Labuang Baji Makassar. Dan kebetulan peneliti pernah Praktek di RSUD Labuang
Baji Makassar yaitu pada tahun 2013, dimana observasi saya pada saat itu memang
betul bahwa pelayanan terhadap keselamatan pasien (patient safety) masih belum maksimal pelayanannya.
Dari
pengambilan data pendahuluan di ruang perawatan interna RSUD Labuang Baji
Makassar pada hari senin, 9 mei 2016. Diperoleh jumlah tenaga perawat diruang
perawatan interna sebanyak 80 orang. Jumlah PNS 55 orang, non PNS 25 orang,
terdiri dari 7 orang SPK, 34 orang DIII perawat, 13 orang S1 keperawatan dan 26
orang S1 Kep+Ns. Dengan jumlah laki-laki 4 orang dan perempuan 76 orang. Dari
beberapa perawat yang ada pada perawatan interna, peneliti melakukan wawancara
terkait masalah mengenai keselamatan pasien (patient
safety). Ada beberapa perawat mengatakan bahwa pelayanan mengenai patient safety sangat penting dan sudah
dilakukan dengan baik misalnya dalam melakukan tindakan pemberian obat dan
sejenisnya namun belum maksimal, masih perlu untuk ditingkatkan. Kegiatan pelatihan program keselamatan pasien (patient safety) sudah dilaksanakan dalam bentuk elemen elemen saja belum secara komprehensif, misalnya Sistem Pengendalian
Nosokomial, Sistem K3, Manajemen Risiko, Informed Consent, Audit Medis,
Review Kasus Kematian, Program Perinatal Risiko Tinggi, Evaluasi-evaluasi dalam
berbagai program mutu pelayanan dll.
Berdasarkan
latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti Hubungan Tingkat
Pengetahuan Perawat Tentang Keselamatan Pasien dengan Perilaku Kepatuhan
Melaksanakan Prinsip Pemberian Obat di Ruang Perawatan Interna RSUD Labuang
Baji Makassar.
B.
Rumusan
Masalah
Terkait dengan identifikasi
masalah diatas, maka permasalahan yang diajukan adalah, apakah ada Hubungan
Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Keselamatan Pasien dengan Perilaku
Kepatuhan Melaksanakan Prinsip Pemberian Obat di Ruang Perawatan Interna RSUD
Labuang Baji Makassar.
C.
Tujuan
1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang keselamatan pasien dengan perilaku
kepatuhan melaksanakan prinsip pemberian obat di Ruang Perawatan Interna RSUD
Labuang Baji Makassar.
2. Tujuan Khusus
a. Teridentifikasinya tingkat pengetahuan perawat dalam melaksanakan prinsip
pemberian obat di Ruang Perawatan Interna RSUD Labuang Baji Makassar.
b. Teridentifikasinya perilaku kepatuhan
melaksanakan prinsip pemberian obat di Ruang Perawatan Interna RSUD Labuang
Baji Makassar.
c. Teridentifikasinya hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang keselamatan
pasien dengan perilaku kepatuhan melaksanakan prinsip pemberian obat di Ruang Perawatan
Interna RSUD Labuang Baji Makassar.
D.
Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoritis
Secara ilmiah hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
menjadi referensi atau masukan bagi
perkembangan ilmu kesehatan dan menambah kajian ilmu kesehatan khususnya
ilmu keperawatan untuk mengetahui
bagaimana hubungan
tingkat pengetahuan perawat tentang keselamatan pasien dengan perilaku kepatuhan
melaksanakan prinsip pemberian obat.
2.
Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pengetahuan informasi tentang hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang
keselamatan pasien dengan perilaku kepatuhan melaksanakan prinsip pemberian
obat dan sebagai masukan bagi tenaga kesehatan bahwatingkat pengetahuan dalam
melaksanakan prinsip pemberian obat sangat penting dalam menjaga serta
meningkatkan mutu pelayanan terhadap keselamatan pasien (patient safety).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan Patient Safety
1.
Pengertian
Menurut Notoatmodjo, (2003) pengetahuan tentang patients
safety adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan tentang patients safety manusia
diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan tentang patients
safety atau kognitif tindakan seseorang pengetahuan tentang patients
safety mencakup ingatan mengenai hal-hal yang pernah dipelajari dan
disimpan dalam ingatan. Hal-hal ini diketahui faktor-faktor yang
mempengaruhi pengetahuan tentang patients safety misalnya latar belakang
pendidikan, sosial ekonomi dan pekerjaan. Pengetahuan tentang patients
safety atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Karena itu dari
pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh
pengetahuan tentang patients safety akan lebih langgeng daripada perilaku
yang tidak didasari oleh pengetahuan tentang patients safety.
2.
Tinggkat Pengetahuan
a. Menurut Notomodjo (2010), Pengetahuan mempunyai 6 tingkat
yaitu:
1. Tahu (Know)
tahu
di artikan hanya sebagai recall
(memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu.
2. Memahami (compreshension)
Memahami
suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat
menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpertasikan secara benar
tentang objek yang di ketahui tersebut.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasikan
diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang telah di maksud dapat menggunakan
atau mengaplikasikan prinsip yang telah di ketahui tersebut pada situasi yang
lain.
4. Analis (Analysis)
Analis
adalah kemanpuan untuk menjabarkan dan memisahkan,
Kemudian
mencari hubungan antara komponen- komponen yang terdapat dalam suatu masalah
atau objek yang di ketahui.
5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis
menunjudkan suatu kemanpuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam
suatu hubunggan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki.
b. Selanjutnya Menurut, Notoatmodjo (2007) Pengetahuan
Mempunyai 6 Tingkatan Diantaranya:
1. Tahu
Diartikan
sebagai memgingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk
kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang
spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima. Kata kerja untuk mengukur orang tahu tentang apa yang dipelajari
antara lain menyebutkan, menguraikan dan menyatakan.
2. Comprehension (memahami)
Diartikan
sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek diketahui
dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, terhadap
objek yang dipelajari.
3. Aplikasi
Diartikan
sebagai kemampuan untuk mengguanakan materi yang telah dipelajari pada situasi
atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi
atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dalam kontes atau situasi
lain. Misalnya dapat mengguanakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan
penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip sekitar pemecahan masalah didalam
pemecahan masalah kesehatan yang diberikan.
4. Analisis
Adalah
suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek dalam
komponen-komponen tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut, dan
masih ada kaitannya satu sama lain. Komponen-komponen analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja
seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan
sebagainya.
5. Sintesis
Sintesis
menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian ke dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru, dengan kata lain
sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menusun, merencanakan, meringkas,
menyesuaikan , dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang
telah ada.
6. Evaluasi
Evaluasi
ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau suatu objek. Penelitian-penelitian ini berdasarkan
suatu kriteria yang ditentukan sendiri
atau mengguanakan kriteria-kriteria yang telah ada.
Kurang pengetahuan tentang patients safety akan
mengakibatkan tidak terkendalinya proses perkembangan penyakit, termasuk
deteksi dini adanya komplikasi penyakit. Faktor-faktor yang membedakan respon
terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku
ini dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : (Notoatmodjo, S. 2003). Determinan atau
faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given
atau bawaan, misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis
kelamin, dan sebagainya.
3.
Cara Memperoleh Pengetahuan
Menurut
Notomodjo (2010), adabeberapa cara untuk memperoleh pengetahuan, yaitu :
a. Cara coba-salah (
Trial and Error)
Cara
coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah
dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil,dicoba kemungkinan yang lain.
Apabila kemungkinan kedua ini gagal pula, maka dicoba dengan kemungkinan
ketiga, dan apabila kemungkinan ketiga gagal di coba kemungkinan keempat dan
seterusnya sampai masalah masalah tersebut dapat di pecahkan.Itulah sebabnya
maka cara ini disebut metode trial (coba) and
error ( gagal atau salah ) atau metode coba salah.
b. Secara kebetulan
Penemuan
kebenaran secara kebetulan terjadi karena tidak di sengaja oleh orang yang
bersankutan.
c. Cara kekuasaan atau oatorotis
Dalam
kehidupan manusia sehari-sehari, banyak sekali kebiasaan- kebiasaan dan
tradisi- tradisi yang dilakukan orang tanpa melalui penalaran apakah yang
dilakukan tersebut baik atau tidak. Kebiasaan-kebisaan ini biasanya di wariskan
turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya.
d. Berdasarkan
pengalaman Pribadi
Pengalaman
adalah guru yang baik. Demikian bunyi pepatah. Pepatah ini mendukung maksud
bahwa pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan, atau pengalan itu merupakan
suatu cara untuk menperoleh pengetahuan.
e. Cara Akal Sehat
Akal
sehat atau commonsense kadang-kadang
dapat melakukan teori atau kebenaran. Sebelum ilmu pendidikan ini berkembang,
para orang tuan zaman dahulu agar anaknya mau menuruti nasehat orang tuanya,
atau agar disiplin menggunakan cara hukum fisik bila anaknya berbuat
salah,misalnya dijewer telinga atau dicubit. Ternyata cara menghukum anak ini
sampai sekarang berkembang menjadi teori kebenaran bahwa hukuman merupakan
metode (meskipun bukan yang paling baik) bagi pendidikan anak.
f.
Kebenaran melalui wahyu
Ajaran
agama adalah suatu kebenaran yang di wahyukan dari tuhan melalui Nabi.
Kebenaran ini harus di terima dan dinyakini oleh pengikut-pengikut agama yang
bersangkutan.
g. Kebenaran secara intitif
Kebenaran
secara intiitif di peroleh manusia secara cepat sekali melalui proses diluar
kesadaran dan tanpa melalui proses penalaran atau berfikir. Dan kebenaran yang
di peroleh melalaui intuitif sukar di percaya karena kebenaran ini tidak
menggunakan cara-cara yang rasional dan yang sistematis.
h. Melalui jalan pikiran
Sejalan
dengan perkembagan umat manusia, cara berfikir manusiapun ikut berkembang. Dari
sini manusia manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh
pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam menperoleh kebenaran pengetahuan
manusia telah menggunakan jalan pikirannya, baik melalui induksi maupun
deduksi.
i.
Induksi
Induksi
adalah proses penarikan kesimpulan yang dimulai dari pernyataan-pernyataan
khusus kepernyataan yang bersifat umum. Hal iniberarti dalam berpikir induksi
pembuatan keseimpulan tersebut berdasarkan pengalaman empiris yang ditangkap
oleh indra.
j.
Deduksi
Deduksi
adalah pembuatan kesimpulan dari pernyataan umum ke khusus. Silogisme yaitu
suatu bentuk deduksi yang memungkinkan seseoranguntuk dapat mencapai kesimpulan
yang lebih baik.
4.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut
Notoadmodjo (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan yaitu:
a. Pendidikan
Pendidikan
adalah salah satu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam
dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses
belajar, semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah orang tersebut untuk
menerima informasi. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula
pengetahuan yang didapatkan tentang kesehatan.
b. Informasi/media massa
Informasi
yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan
pengaruh jauh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan
atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam
media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi
baru.
c. Sosial budaya dan ekonomi
Kebiasaan
dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran, apakah yang
dilakukan baik atau buruk. Dengan demkian seseorang juga akan bertambah
pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomiseseorang juga akan
menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu,
sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.
d. Lingkungan
Lingkungan
adalah segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik lingkungan fisik,
biologis dan sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya
pengetahuan kedalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut.
e. Pengalaman
Pengalaman
sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kenenaran
pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh masalah
yang di hadapi masa lalu.
f.
Umur
Umur
mempengaruhi terhadap gaya tangkap dan pola pikir sesorang . semakin bertambah
umur seseorang semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga
pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik.
5.
Jenis Pengetahuan
Pengetahuan
dalam kontesks kesehatan sanagat beraneka ragam. Pengetahuan merupakan bagian
perilaku kesehatan. Jeninis pengetahuan diantaranya adalaha :
a. Pengetahuan implisist adalah pengetahuan yang masih
tetranam dalam bentuk pengalaman
seseorang dan faktor-faktor yang tidak bersifat nyata, seperti keyakinan
pribadi, perspektif dan prinsip. Kebiasaan seseorang biasanya sulit untuk
ditransfer ke oarang lain baik secara
tertulis ataupun blisan. Pengetahuan implisist sering kali berisi kebiasaan dan
budaya bahkan bisa tidak disadar.
b. Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang telah
didokumentasikan atau disimpan dalam wujud nyata, biasa dalam wujud perilaku
kesehatan. Pengetahuan nyatadideskripsikan dalam tindakan-tindakan yang berhubungan
dengan kesehatan ( Budiman & Agus.R, 2010).
B.
Tinjauan Umum Tentang Perilaku
1.
Pengertian Perilaku
Perilaku adalah refleksi dari berbagai
gejala kejiwaan seperti pengetahuan, persepsi, minat, keinginan dan sikap.
Hal-hal yang mempengaruhi perilaku sebagian terletak dalam diri individu
sendiri yang disebut juga faktor internal sebagian lagi terletak di luar
dirinya atau disebut dengan faktor eksternal yaitu faktor lingkungan
(Notoatmodjo, 1997).
Menurut WHO, yang dikutip oleh
Notoatmodjo (1993), perubahan perilaku dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu :
a. Perubahan alamiah (natural change), ialah perubahan
yang dikarenakan perubahan pada lingkungan fisik, sosial, budaya ataupun
ekonomi dimana dia hidup dan beraktifitas.
b. Perubahan terencana (planned change), ialah perubahan
ini terjadi, karena memang direncanakan sendiri oleh subjek.
c. Perubahan dari hal kesediaannya untuk berubah (readiness
to change), ialah perubahan yang terjadi apabila terdapat suatu inovasi
atau program-program baru, maka yang terjadi adalah sebagian orang cepat
mengalami perubahan perilaku dan sebagian lagi lamban.Hal ini disebabkan setiap
orang mempunyai kesediaan untuk berubah yang berbeda-beda.
Tim ahli WHO (1984), menganalisis bahwa yang menyebabkan
seseorang itu berperilaku ada empat alasan pokok, yaitu :
a. Pemikiran dan perasaan
Bentuk
pemikiran dan perasaan ini adalah pengetahuan, kepercayaan, sikap dan lain-lain.
b. Orang penting sebagai referensi
Apabila
seseorang itu penting bagi kita, maka apapun yang ia katakan dan lakukan cendrung
untuk kita contoh. Orang inilah yang dianggap kelompok referensi seperti :
guru, kepala suku dan lain-lain.
c. Sumber-sumber daya
Yang
termasuk adalah fasilitas-fasilitas misalnya : waktu, uang, tenaga kerja, keterampilan
dan pelayanan. Pengaruh sumber daya terhadap perilaku dapat bersifat positif
maupun negatif.
d. Kebudayaan
Perilaku
normal, kebiasaan, nilai-nilai dan pengadaan sumber daya di dalam suatu
masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup yang disebut kebudayaan. Perilaku
yang normal adalah salah satu aspek dari kebudayaan dan selanjutnya kebudayaan
mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku.
2.
Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Perilaku Kesehatan
Menurut L.W.Green,di dalam
Notoatmodjo ( 2003 ) faktor penyebab masalah kesehatan adalah faktor perilaku
dan faktor non perilaku. Faktor perilaku khususnya perilaku kesehatan
dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor, yaitu :
a.
Faktor-faktor Predisposisi (Predisposing Factors)
Adalah faktor yang terwujud dalam kepercayaan, kayakinan,
niali-nilai dan juga variasi demografi, seperti : status ekonomi, umur, jenis
kelamin dan susunan keluarga. Faktor ini lebih bersifat dari dalam diri
individu tersebut diantaranya:
1. Pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sngat
penting untuk terbentuknya perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih
langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Di dalam diri
orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:
a. Awareness (kesadaran),
Dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap
stimulus (objek).
b. Interest (merasa
tertarik), Tertarik terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subjek
sudah muali timbul.
c. Evaluation (menimbang-nimbang),
Menimbang-nimbang terhadap baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal
ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d. Trial, Dimana subjek mulai mencoba
melakukan sesuatu sesuai apa yang dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption, Dimana
subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya
terhadap stimulus.
2. Keyakinan
Keyakinan adalah pendirian bahwa suatu fenomena atau objek
benar atau nyata. Kebenaran adalah kata-kata yang sering digunakan untuk
mengungkapkan atau menyiratkan keyakinan agar terjadi perubahan perilaku.
a. Seseorang harus yakin bahwa kesehatannya terancam.
b. Orang tersebut harus merasakan potensi keseriusan kondisi
itu dalam bentuk nyeri atau ketidaknyamanan, kehilangan waktu untuk bekerja,
kesulitan ekonomi.
c. Dalam mengukur keadaan tersebut, orang yang bersangkutan harus
yakin bahwa manfaat yang berasal dari perilaku sehat melebihi pengeluaran yang
harus dibayarkan dan sangat mungkin dilaksanakan serta berada dalam kapasitas
jangkauannya.
d. Harus ada “isyarat kunci yang bertindak” atau suatu kekuatan
pencetus yang membuat orang itu merasa perlu mengambil tindakan.
3. Nilai
Secara langsung bahwa nilai-nilai perseorangan tidak dapat
dipisahkan dari pilihan perilaku. Konflik dalam hal nilai yang menyangkut
kesehatan merupakan satu dari delema dan tantangan penting bagi para penyelenggara
pendidikan kesehatan.
4. Sikap
Sikap merupakan salah satu di antara kata yang paling samar
namun paling sering digunakan di dalam kamus ilmu-ilmu perilaku. Sikap sebagai
suatu kecenderung jiwa atau perasaan yang relatif tetap terhadap kategori tertentu
dari objek, atau situasi ( Notoatmodjo, 2003).
b.
Faktor-faktor Pemungkin (Enambling Factors)
Adalah faktor pendukung yang terwujud dalam lingkungan
fisik, termasuk di dalamnya adalah berbagai macam sarana dan prasarana, misal :
dana, transportasi, fasilitas, kebijakan pemerintah dan lain sebagainya.
1. Sarana adalah segala jenis peralatan, perlengkapan kerja dan
fasilitas yang berfungsi sebagai alat utama/pembantu dalam pelaksanaan
pekerjaan, dan juga dalam rangka kepentingan yang sedang berhubungan dengan organisasi
kerja.
2. Prasarana adalah alat penunjang keberhasilan suatu proses
upaya yang dilakukan di dalam pelayanan publik, karena apabila kedua hal ini
tidak tersedia maka semua kegiatan yang dilakukan tidak akan dapat mencapai
hasil yang diharapkan sesuai dengan rencana.
c.
Faktor-faktor Pendukung (Reinforcing Factors)
Adalah faktor-faktor ini meliputi : faktor sikap dan
perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku petugas termasuk
petugas kesehatan, undang-undang peraturan-peraturan baik dari pusat maupun
pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.
1.
Sikap, adalah kecenderungan
bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide,
situasi, atau nilai. Sikap bukan
perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara
tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat,
gagasan atau situasi, atau kelompok.
2.
Tokoh Masyarakat, adalah
orang yang dianggap serba tahu dan mempunyai pengaruh yang besar, terhadap
masyarakat . Sehingga segala tindak-tanduknya merupakan pola aturan patut
diteladani oleh masyarakat.
3.
Tokoh Agama, adalah panutan
yang merepresentasikan kegalauan umatnya dan persoalan yang sudah diungkap oleh
para tokoh agama menjadi perhatian untuk diselesaikan dan dicarikan jalan
keluarnya.
4.
Petugas Kesehatan,
merupakan tenaga profesional, seyogyanya selalu menerapkan etika dalam sebagian
besar aktifitas sehari-hari. Etika yang merupakan suatu norma perilaku atau
biasa disebut dengan asas moral, sebaiknya selalu dijunjung tinggi dalam
kehidupan bermasyarakat kelompok manusia
( Notoatmodjo, 2003 ).
C.
Tinjaun Umum Tentang Patient Safety (Keselamatan Pasien)
Keselamatan pasien (patient safety) merupakan isu global dan
nasional rumah sakit, komponen penting dari mutu layanan kesehatan, prinsip
dasar dari pelayanan pasien dan komponen kritis dari manajemen mutu (WHO,
2004). Institusi pelayanan kesehatan merupakan sistem yang kompleks yang
ditandai dengan penggunaan teknologi tinggi dan "kebebasan" profesi.
Kompleksitas itu menimbulkan kerawanan kesalahan medik (medical error).
Keselamatan adalah hak pasien, dan para profesional pelayanan kesehatan
berkewajiban memberikan pelayanan kesehatan yang aman. Karena itu, upaya
meningkatkan keselamatan pasien harus menjadi prioritas utama para pemimpin
pelayanan kesehatan. "Safety is a fundamental principle of patient care
and a critical component of hospital quality management." (World
Alliance for Patient Safety, Forward Programme WHO, 2004).
Keselamatan pasien (patient safety) merupakan salah
satu dimensi mutu yang saat ini menjadi pusat perhatian para praktisi pelayanan
kesehatan dalam skala nasional maupun global. Hal ini tercermin dengan
diangkatnya patients safety sebagai isu utama pada konfrensi ISQua yang
diselenggarakan di Vancouver Canada pada bulan Oktober 2005, sementara di
Indonesia patient safety juga merupakan salah satu isu utama yang
melatar belakangi diberlakukannya Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 yang juga
mulai berlaku pada bulan tersebut. Ketepatan (appropriateness) dalam
pelayanan kesehatan, kecepatan (timeliness), dan bebas dari bahaya dan
kesalahan (free from harm and error) merupakan tiga unsur utama dari
keselamatan pasien yang dapat terwujud dengan adanya regulasi pelayanan
kesehatan, sistem informasi yang memadai, sumber daya manusia kesehatan yang
professional, dan pengelolaan sumber daya kesehatan lain. Keselamatan pasien di
rumah sakit adalah sistem pelayanan dalam suatu rumah sakit yang memberikan
asuhan pasien yang aman. Termasuk di dalamnya mengukur risiko, identifikasi dan
pengelolaan risiko terhadap pasien, analisa insiden, kemampuan untuk belajar
dan menindak lanjuti insiden serta menerapkan solusi untuk mengurangi risiko.
Gerakan keselamatan pasien rumah sakit (GKP-RS) atau yang populer disebut sebagai
patient safety adalah suatu proses pemberian pelayanan rumah sakit
terhadap pasien yang lebih aman. Sistem ini mencegah terjadinya cidera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
WHO, pada World Health Assembly yang ke-55, yang
dilaksanakan pada Mei 2002 ditetapkan suatu resolusi yang mendorong
negara-negara untuk memberikan perhatian kepada permasalahan Patients Safety.
Kemudian pada Oktober 2004 WHO dan berbagai lembaga mendirikan World
Alliance for Patientst Safety yang bertujuan mengedepankan tujuan utama Patients
safety yaitu “First do no harm” dan menurunkan morbiditas, cidera
dan kematian yang diderita pasien.
Di Indonesia kegiatan keselamatan pasien sudah dilaksanakan
dalam bentuk elemenelemennya saja belum secara komprehensif, misalnya Sistem
Pengendalian Nosokomial, Sistem K3, Manajemen Risiko, Informed Consent,
Audit Medis, Review Kasus Kematian, Program Perinatal Risiko Tinggi,
Evaluasi-evaluasi dalam berbagai program
mutu pelayanan.(http://nursinginformatic.wordpress.com/2009/04/04/patien-safety-forum/
).
Organisasi kesehatan dunia (WHO) juga telah menegaskan
pentingnya keselamatan dalam pelayanan kepada pasien: “safety is fundamental
principle of patient care and critical component of quality management” (WHO,
2004). Fokus terhadap keselamatan pasien ini didorong oleh masih tingginya
angka Kejadian Tak Diinginkan (KTD) atau Adverse Event /AE di RS secara global
maupun nasional. KTD yang terjadi diberbagai di negara perkiraan sekitar
4.0-16,6% dan hampir 50% diantaranya diperkirakan adalah kejadian yang dapat
dicegah (Raleigh, 2009) Akibat Kejadian Tak Diinginkan (KTD) ini diindikasikan
menhabiskan biaya yang sangat mahal baik bagi pasien maupun sistem layanan kesehatan
(Flin, 2007).
Dalam lingkup nasional, sejak bulan agustus 2005, Menteri
Kesehatan RI telah mencanankan Gerakan Nasional Keselamatan Pasien (GNKP) Rumah
Sakit (RS), selanjutnya Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Depkes RI telah menyususn Standar KP RS (keselamatan
pasien rumah sakit) yang dimana ke dalam instrumen akreditasi RS (versi 2007) di Indonesia (Depkes RI,
2006).
Sementara itu di Indonesia, menurut Utarini (2011),
keselamatan pasien telah menjadi perhatian serius. Dari penelitiannya terhadap
pasien rawat inap di 15 rumah sakit dngan dengan 4.500 rekan medik menunjukkan
angka KTD yang sangat bervariasi, yaitu 8,0% hingga 98,2% untuk diagnostik
error dan 4,1% hingga 91,6% untuk medication error, sejak ini bukti-bukti
tentang keselamatan pasien di Indonesia pun semakin banyak.
Keperawatan merupakan salah satu profesi di rumah sakit yang
cukup potensial dalam upaya kesehatan, karena jumlahnya yang sangat dominan,
juga pelayanannya menggunakan metode pemecahan secara ilmiah melalui proses keperawatan
yang menjadi prinsip dasar dalam program quality assurance. Peran perawat dalam
mensukseskan program menjaga mutu secara menyeluruh menjadi sangat penting,
karena parawat adalah kunci dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah
pelayanan dan asuhan pasien dalam sistem pelayanan di rumah sakit (Depkes RI,
2006).
Sistem Keselamatan Pasien Rumah Sakit Sistem Keselamatan
Pasien Rumah Sakit terdiri dari sistem pelaporan insiden, analisis, belajar dan
riset dari insiden yang timbul, pengembangan dan penerapan solusi untuk menekan
kesalahan, penetapan berbagai pedoman, standar, indikator keselamatan pasien
berdasarkan pengetahuan dan riset, keterlibatan dan pemberdayaan pasien,
pengembangan toksonomi:konsep, klasifikasi, norma, istilah dan sebagainya. Keselamatan
pasien (patient safety) merupakan suatu variabel untuk mengukur dan
mengevaluasi kualitas pelayanan
keperawatan yang berdampak terhadap
pelayanan kesehatan. Program keselamatan pasien bertujuan menurunkan angka
Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang sering terjadi pada pasien selama dirawat
di rumah sakit sehingga sangat merugikan baik pasien sendiri dan pihak rumah sakit. Kejadian Tidak
Diharapkan (KTD) bisa disebabkan oleh berbagai faktor antara lain beban kerja
perawat yang tinggi, alur komunikasi yang kurang tepat, penggunaan sarana
kurang tepat dan lain sebagainya (Nursalam, 2011).
Sebuah sistem kesehatan baru untuk abad 21, dimana institute
of medicine (IOM) menyebutkan untuk keselamatan dalam pengiriman kesehatan
menunjukkan bahwa “pasien harus aman dari kecelakaan yang disebabkan oleh
sistem pelayanan”. Sekarang ini, meningkatnya kompleksitas kesehatan telah
memberikan konstribusi terhadap masalah pertumbuhan keselamatan medis. Menurut
komite kualitas kesehatan di Amerika, sebagaian masalah kualitas dan kesalahan
medis terjadi karena kekurangan mendasar cara perawatan, bukan individual dan
kelalaian (Friesen, Farquhar dan Hughes, 2008).
Perawat berada dalam posisi penting untuk meningkatkan
keselmatan pasien karena kedekatannya yang melekat kepada pasien. Posisi ini
memberikan wawasan yang diperlukan perawat untuk mengidentifikasi masalah dalam
sistem kesehatan dan menjadi bagian dari solusi keselamatan pasien (Frisen, Farquhar dan Hughes, 2008).
Dewasa ini fokus kebijakan kesehatan salah satunya adalah
pelayanan yang lebih memperhatikan tingkat keselamatan pasien. Hal ini telah
menjadi komitmen bersama dan para pelaku kesehatan dengan berupaya menerapkan
konsep patient safety. Konsep ini dijabarkan dalam sebagai metode dan sistem
kerja yang ditunjukan bagi optimalisasi keselamatan pasien.
Dengan
demikian pasient safety merupakan suatu sistem dimana suatu rumah sakit akan
membuat asuhan pasien lebih aman, termasuk asesmen resiko, identifikasi dan
pengelolaan yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan analisisinsiden,
kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi
untuk meminimalkan timbulnya resiko.
WHO memulai program patient
safety tahun 2004. Menurut WHO “safety
is a fundamental principle of patient care and a critical componen of quality
management.” (World Alliance for Patient Safety, Forward Frogramme WHO, 2004).
Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah
suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem
tersebut meliputi: assessmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan
dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari
insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya risiko. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera
yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan (DepKesRI, 2006).
Upaya khusus keselamatan pasien yang disepakati dalam patient safety adalah meliputi penerapan
:
a. Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Meliputi
: Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien, memimpin dan mendukung
staf, mengintegrasikan aktivitas resiko, mengembangkan sistem pelaporan,
melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien, belajar dan membagi pengalaman
tentang keselamatan pasien, serta
mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien.
b. Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit Dan Akreditasi
Pelayanan Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Diantaranya
: Mengatur tentang pelaksanaan hak pasien, mendidik pasien dan keluarga pasien,
keselmatan pasien dengan asuhan berkesinambungan, penggunaan metode-metode
peningkatan kinerja, untuk melakukan evaluasi dan meningkatkan keselamatan
pasien, serta komunikasi yang merupakan kunci bagi staf untuk mencapai
keselamatan pasien.
D.
Tinjauan Umum Tentang Pemberian Obat & Standar
Operasional Prosedur (SOP)
1.
Pengertian obat
Obat
adalah sediaan atau paduan-paduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki secara fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi(PerMenKes 917/Menkes/Per/x/1993).
Menurut
Kep. MenKes RI No. 193/Kab/B.VII/71, obat adalah suatu bahan atau paduan bahan
– bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah,
mengurangkan, menghilangkan, penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan
badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau
memperindah badan atau bagian badan manusia.
Sebagai seorang perawat sangatlah
penting memiliki pengetahuan baik itu pengetahuan tentang manfaat dan efek
samping obat. Perawat dituntut tepat dan terampil dalam memberikan obat tidak
sekedar memberikan injeksi obat baik melalui pembuluh darah atau memberikan pil
untuk diminum namun juga mengobservasi pemberian obatb tersebut dengan respon
pasien. Perawat memiliki peran yang utama dalam meningkatkan dan mempertahankan
kesehatan pasien dengan turut serta bertanggung jawab dalam pengambilan dalam
pengambilan keputusan tentang pengobatan bersama dengan tenaga kesehatan lain,
mengonsultasikan setiap obat yang diresepkan atau dipesankan, membantu pasien
dalam membangun pengertian yang benar dan jelas tentang penobatan, dan membantu
pasien lebih proaktif jika memerlukan pengobatan tambahan. Perawat dalam
memberikan obat harus memperhatikan hitungan yang tepat pada dosis yang
diberikan sesuai resep, resep obat yang diberikan harus tepat.
2.
Jenis-jenis obat
Jenis-jenis obat dintaranya :
a. Obat bebas
Obat
bebas adalah obat yang dapat dibeli secara bebas dan tidak membahayakan si
pemakai dalam batas dosis yang dianjurkan; diberi tanda lingkaran bulat
berwarna hijau dengan garis tepi hitam.
b. Obat bebas terbatas (daftar W = Waarschuwing =peringatan)
Obat
bebas terbatas adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter dalam
bungkus aslinya dari produsen atau pabrik obat. Kemudian diberi tanda lingkaran
berwarna biru dengan garis tepi hitam serta diberi tanda peringatan (P No. 1
sampai P No. 6)
c. Obat keras (daftar G = geverlijk = berbahaya)
Adalah
semua obat yang memiliki tekanan dosis
minimun, diberi tanda khusus lingkaran bulat merah garis tepinya, semua obat
baru kecuali ada ketetapan pemerintah bahwa obat itu tidak membahayakan, dan
semua sediaan parenteral/injeksi/infus intravena.
d. Psikotropoka
Psikotropika
adalah obat yang mempengaruhi poses mental, meransang atau menenangkan,
mengubah pikiran /perasaan/kelakuan seseorang. Contohnya; golongan
barbital/luminal, diazepam dan ekstasi.
e. Narkotik
Narkotik
adalah obat yang diperlukan dalam bidan pengobatan dan iptek serta dapat
menimbulkan ketergantungan dan ketagihan/adiksi yang sangat merugikan individu
apabila digunakan tanpa pembatasandan pengawasan doker. Sontohnya; kodein,
metadon, petidin, morfin dan opium.
3.
Indikasi dan kontra indikasi obat
a. Indikasi
Indikasi
bisa dilakukan pada pasien yang tidak sadar dan tidak mau bekerja sama karena
tidak memungkinkan untuk diberikan obat se secara oral, bebas dari infeksi,
lesi kulit, jaringan parut, tonjolan tulang, otot atau sars besar di bawahnya.
b. Kontra indikasi
Adalah
merupakan infeksi, lesi kulit, jaringan parut, tonjolantulang, otot atau saraf
besar di bawahnya
4.
Prinsip Pemberian Obat
Adapun prinsip-prinsip pemberian obat diantara sebagai
berikut :
a. Benar pasien
Obat yang
akan diberikan hendaknya benar pada pasien yang diprogramkan dengan cara
mencocokkan program pengobatan pada pasien, nama, nomor register, alamat untuk
mengidentifikasi kebenaran obat. Hal ini penting untuk membedakan dua klien
dengan nama yang sama, karena klien berhk untuk menolak penggunaan suatu obat,
dan klien berhak untuk mengetahui alasan penggunaan suatu obat.
b. Benar obat
Obat
memiliki nama dagang dan nama generikdan pasien harus mendapatkan informasi
tersebut atau menghubungi apoteker untuk menanyakan nama generik dari nama
dagang obat yang asing. Jika pasien merasa ragu terhadap obatnya maka perawat
harus memeriksanya lagi dan perawat harus mengingat nama dan obat kerja dari
obat yang diberikan. Sebelum mempersiapkan obat ketempatnya, perawat memperhatikan
kebenaran obat sebanyak 3 kali yaitu saat mengembalikan obat ketempat
penyimpanan, saat obat diprogramkan, dan ketika memindahkan ke tempat
penyimpananan obat. Jika labelnya tidak terbaca, isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan kebagian farmasi.
c. Benar dosis
Untuk
menghindari kesalahan pemberian obat dan agar perhitungan obat benar untuk
diberikan kepada pasien maka penenntuan dosis harus diperhatikan dengan menggunakan alat standar seperti alat
untuk membelah tablet, spuit atau sendok khusus, gelas ukur, obat cair harus
dilengkapi alat tetes.
d. Cara pemberian obat
Obat
dapat diberikan melalui sejumlah rute yang bebeda dan rute obat yang diberikan
diantaranya :
1. Inhalasi yaitu pemberian obat meleui saluran pernafasan yang
memiliki epitel untuk absorpsi yang
sangat luas sehingga berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya.
2. Rektal yaitu pemberian obat melalui rektum yang berbentuk
enema atau supositoria yang memiliki efek lebih cepat dibandingkan pemberian
obat dalam bentuk oral. Pemberian rektal dilakukan untuk memperoleh efek lokal
seperti pasien yang tidak sadar/kejang (stesolid supp), hemoroid (anusol),
konstipasi (dulcolax supp).
3. Topikal yaitu pemberian obat melalui membran mukosa atau
kulit misalnya tetes mata, spray, krim, losion, salep.
4. Parenteral yaitu pemberian obat yang
tidak melalui saluran cerna atau diluar usus yaitu melalui vena
(perinfius/perset).
5. Oral adalah rute pemberian obat yang paling banyak dipakai
karena aman, nyaman, ekonomis dan obat juga dapat diabsorpsi melalui rongga
mulut.
e. Benar waktu
Untuk
dapat menimbulkan efek terapi dari obat dan berhubungan dengan kerja obat itu
sendiri, maka pemberian obat harus benar-benar sesuai dengan waktu yang
diprogramkan.
f.
Benar dokumentasi
Pemberian
obat harus sesuai dengan standar yang sesuai mengenai obat yang telah diberikan
serta respon klien terhadap pengobatan. Perawat
mendokumentasikan kepada siapa obat diberikan, waktunya, rute,
dosis setelah obat yg diberikan.
g. Benar evaluasi
Setelah
pemberian obat, perawat selalu memantau atau memeriksa efek kerja obat
tersebut.
h. Benar pengkajian
Sebelum
pemberian obat, perawat harus selalu memeriksa tanda-tanda vital (TTV).
i.
Benar reaksi dengan obat
lain
Pada
penyakit kritis, penggunaan obat seperti omeprazal diberikan dengan chloramphenicol.
j.
benar reaksi terhadap
makanan
pemberian
obat harus memperhatikan waktu yang tepat karena akan mempengaruhi efektivitas
obat tersebut. Untuk memperoleh kadar yang diperlukan, ada obat yang harus
diminum setalah makan dan ada misalnya indometasin dan ada obat yang harus
diminum sebelum makan misalnya tetrasiklin yang harus diminum satu jam sebelum
makan. (https://anterior88.wordpress.com/2015/06.03/122) (posted on
juni3, 2015 by anterior88).
Obat dinyatakan tepat obat
berdasarkan pertimbangan manfaat dan
keamanan obat tersebut, pemilihan obat merupakan upaya terapi yang diambil
setelah diagnosis ditegakkan dengan benar, serta merupakan pilihan utama (Depkes,
2006).
WHO Collaborating Centre for Patient Safety
pada tanggal 2 Mei 2007 resmi menerbitkan “Nine Life Saving Patient Safety
Solutions” (Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit).
Panduan ini mulai disusun sejak tahun 2005 oleh pakar keselamatan pasien dan
lebih 100 negara, dengan mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah
keselamatan pasien.
Solusi
keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat, mampu mencegah
atau mengurangi cedera pasien yang berasal dari proses pelayanan kesehatan.
Sembilan Solusi ini merupakan panduan yang sangat bermanfaat membantu rumah
sakit memperbaiki proses asuhan pasien yang berguna untuk menghindari cedera
maupun kematian yang dapat dicegah. Solusi tersebut antara lain adalah :
1.
Perhatikan Nama Obat, Rupa Dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike Medication Names).
Nama
Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang membingungkan staf pelaksana adalah
salah satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat (medication error) dan ini merupakan
suatu keprihatinan di seluruh dunia. Puluhan ribu obat yang ada saat ini di
pasar, maka sangat signifikan potensi terjadinya kesalahan akibat bingung
terhadap nama merek dagang atau generik serta kemasan.
2.
Pastikan Identifikasi Pasien.
Kegagalan
yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi pasien secara benar sering
mengarah kepada kesalahan pengobatan, transfuse maupun pemeriksaan, pelaksanaan
prosedur yang keliru, orang penyerahan bayi kepada bukan keluarganya.
Rekomendasi ditekankan pada metode untuk verifikasi terhadap identitas pasien,
termasuk keterlibatan pasien dalam proses ini, standardisasi dalam metode
identifikasi di semua rumah sakit dalam suatu sistem layanan kesehatan, dan
partisipasi pasien dalam konfirmasi ini, serta penggunaan protokol untuk
membedakan identifikasi pasien dengan nama yang sama.
3.
Komunikasi Secara Benar Saat Serah Terima/Pengoperan
Pasien.
Kesenjangan
dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien antara unit-unit
pelayanan, dan didalam serta antar tim pelayanan, bisa mengakibatkan
terputusnya kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak tepat, dan potensial
dapat mengakibatkan cedera terhadap pasien. Rekomendasi ditujukan untuk
memperbaiki pola serah terima pasien termasuk penggunaan protokol untuk
mengkomunikasikan informasi yang bersifat kritis; memberikan kesempatan bagi
para praktisi untuk bertanya dan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada saat
serah terima,dan melibatkan para pasien serta keluarga dalam proses serah
terima.
4.
Pastikan Tindakan Yang Benar Pada Sisi Tubuh Yang
Benar.
Penyimpangan
pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah. Kasuskasus dengan pelaksanaan
prosedur yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang salah sebagian besar
adalah akibat dan miskomunikasi dan tidak adanya informasi atau informasinya
tidak benar. Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap
kesalahan-kesalahan macam ini adalah tidak ada atau kurangnya proses pra-bedah
yang distandardisasi. Rekomendasinya adalah untuk mencegah jenis-jenis
kekeliruan yang tergantung pada pelaksanaan proses verifikasi prapembedahan;
pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah oleh petugas yang akan melaksanakan
prosedur; dan adanya tim yang terlibat dalam prosedur’Time out” sesaat sebelum memulai prosedur untuk
mengkonfirmasikan identitas pasien, prosedur dan sisi yang akan dibedah.
5.
Kendalikan Cairan Elektrolit Pekat (Concentrated).
Sementara
semua obat-obatan, biologis, vaksin dan media kontramemiliki profil risiko,
cairan elektrolit pekat yang digunakan untuk injeksi khususnya adalah
berbahaya. Rekomendasinya adalah membuat standardisasi dari dosis, unit ukuran
dan istilah, dan pencegahan atas campur aduk / bingung tentang cairan
elektrolit pekat yang spesifik.
6.
Pastikan Akurasi Pemberian Obat Pada Pengalihan
Pelayanan.
Kesalahan
medikasi terjadi paling sering pada saat transisi/pengalihan. Rekonsiliasi
(penuntasan perbedaan) medikasi adalah suatu proses yang didesain untuk
mencegah salah obat (medication errors)
pada titik-titik transisi pasien. Rekomendasinya adalah menciptakan suatu
daftar yang paling lengkap dan akurat dari seluruh medikasi yang sedang
diterima pasien juga disebut sebagai “home medication list",
sebagai perbandingan dengan daftar saat admisi, penyerahan dan / atau perintah
pemulangan bilamana menuliskan perintah medikasi, dan dikomunikasikan daftar
tersebut kepada petugas layanan yang berikut dimana pasien akan ditransfer atau
dilepaskan.
7.
Hindari Salah Kateter Dan Salah Sambung Slang (Tube).
Slang,
kateter, dan spuit (syringe)
yang digunakan harus didesain
sedemikian rupa agar mencegah
kemungkinan terjadinya KTD yang bisa menyebabkan cedera atas pasien melalui
penyambungan spuit dan slang yang salah, serta memberikan medikasi atau cairan
melalui jalur yang keliru. Rekomendasinya adalah menganjurkan perlunya
perhatian atas medikasi secara detail / rinci bila sedang mengerjakan pemberian
medikasi serta pemberian makan (misalnya slang yang benar), dan bilamana
menyambung alat-alat kepada pasien (misalnya menggunakan sambungan & slang
yang benar).
8.
Gunakan
Alat Injeksi Sekali Pakai.
Salah
satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran dan HIV, HBV, dan HCV yang
diakibatkan oleh pakai ulang dari jarum suntik.Rekomendasinya adalah perlunya
melarang pakai ulang jarum di fasilitas layanan kesehatan, pelatihan periodik
para petugas di lembagalembaga layanan kesehatan khususnya tentang
prinsip-pninsip pengendalian infeksi, edukasi terhadap pasien dan keluarga,
mengenai penularan infeksi melalui darah, dan praktek jarum sekali pakai yang
aman.
9.
Tingkatkan Kebersihan Tangan (Hand Hygiene)
Untuk Pencegahan Infeksi Nosokomial.
Diperkirakan
bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia menderita
infeksi yang diperoleh di rumah-rumah sakit. Kebersihan tangan yang efektif
adalah ukuran preventif yang primer untuk menghindarkan masalah ini.
Rekomendasinya adalah mendorong implementasi penggunaan cairan “alcohol-based
hand-rubs" tersedia pada titik-titik pelayan, tersedianya
sumber air pada semua kran, pendidikan staf mengenai teknik kebarsihan tangan
yang benar mengingatkan penggunaan tangan bersih ditempat kerja, dan pengukuran
kepatuhan penerapan kebersihan tangan melalui pemantauan / observasi dan
tehnik-tehnik yang lain
5.
Kesalahan
dalam pemberian obat
Dalam
penelitian Dwiprahasto (2006), menyatakan bahwa 11 % medication error
di rumah sakit berkaitan dengan kesalahan saat menyerahkan obat ke pasien dalam
bentuk dosis atau obat yang keliru. Dalam
penelitian Aiken dan Clarke (2002) menyatakan bahwa kesalahan pengobatan dan
efek samping obat terjadi pada rata-rata 6,7% pasien yang masuk ke rumah sakit.
Di antara kesalahan tersebut, 25 hingga 50% adalah berasal dari kesalahan
peresapan (eliminasi) dan dapat dicegah. Studi yang dilakukan Bagian
Farmakologi Universitas Gajah Mada antara 2001- 2003 menunjukkan bahwa medication error terjadi pada 97 %
pasien Intensive Care. Berdasarkan
Laporan Peta Nasional Keselamatan Pasien
(Kongres PERSI 2007) kesalahan dalam pemberian obat menduduki peringkat pertama
(24,8%) dari 10 besar insiden yang dilaporkan (Kemenkes, 2008) (Andi, 2013).
Kesalahan
pemberian obat adalah suatu
kesalahan dalam proses pengobatan yang masih berada dalam pengawasan dan
tanggung jawab profesi kesehatan, pasien atau konsumen, dan
seharusnya dapat dicegah (Cohen, 1991).
Perawat
bertanggung jawab dalam pemberian obat - obatan yang aman. Perawat
harus mengetahui semua komponen dari perintah pemberian obat dan mempertanyakan
perintah tersebut jika tidak lengkap atau tidak jelas atau dosis yang diberikan
di luar batas yang direkomendasikan. Secara
hukum perawat bertanggung jawab jika mereka memberikan obat yang diresepkan dan
dosisnya tidak benar atau obat tersebut merupakan kontra indikasi
bagi status kesehatan klien. Sekali
obat telah diberikan, perawat bertanggung jawab pada efek obat yang diduga
bakal terjadi. Buku-buku referensi obat seperti, Daftar Obat Indonesia ( DOI ),
Physicians‘ Desk Reference (PDR), dan sumber daya manusia, seperti ahli
farmasi, harus dimanfaatkan perawat jika merasa tidak jelas mengenai
reaksi terapeutik yang diharapkan, kontra indikasi,
dosis, efek samping yang mungkin terjadi, atau reaksi yang merugikan dari
pengobatan ( Kee and Hayes, 1996 ).
6.
Standar Operasional Prosedur (SOP)
Pelayanan keperawatan harus mampu
memberikan pelayanan bermutu dan profesional. Pelayanan keperawatan harus sesuai
dengan tuntutan pemakai jas pelayanan serta melalui penerapan kemajuan ilmu,
tekhnolgi, nilai-nilai dan etika profesi keperawatan serta sesuai dengan
Standar Operasional Prosedur (SOP) yang telah ditetapkan (Nursalam, 2008).
Standar Operasional Prosedur merupakan
perangkat instrukai atau langkah-langkah kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan tertentu pasien. Kepatuahan pelaksanaan SOP mengarahkan kegiatan
asuhan keperawatan supaya mencapai tujuan yang efisien dan efektif serta
konsisten dan aman (Depkes, 2006).
Dalam pelayanan keperawatan kepatuhan
pelaksanaan SOP sangat membantu perawat untuk mencapai asuhan yang berkualitas
kepatuhan pelaksanaan SOP dapat menjaga keselamatan kerja, sehingga perawat
harus berpikir realistis tentang pentingnya evaluasi terhadap semua aspek
asuhan yang berkualitas tinggi. Namun keberhasilan dalam mengimplementasikan
standar operasional prosedur sangat tergantung pada perawat itu sendiri.
Keberhasilan rumah sakit dalam penerapan standar operasional prosedur (SOP)
praktek keperawatan harus didukung oleh adanya berbagai sistem, fasilitas,
sarana dan pendukung lainnya yang ada di rumah sakit (Depkes RI, 2006).
Upaya yang dilakukan untuk menjaga
keselamatan pasien, salah satunya dengan menerapkan Standar operasional
Prosedur (SOP) salam setiap tindakan perawat. Standar Operasional Prosedur
(SOP) merupakan tata cara atau tahapan yang dilakukan dan harus dilalui untuk
menyelesaikan suatu proses kerja tertentu (Simamora, 2012, halm 243).
Adanya Standar Operasional Prosedur
(SOP) ini agar mengetahui dengan jelas
peran dan fungsi tiap-tiap posisi perawat dalam organisasi, memperjelas alur
tugas, wewenang dan tanggung jawab dari petugas terkait. Penerapan SOP pada
prinsipnya adalah bagian dari kinerja dan perilaku individu dalam bekerja
sesuai dengan tugasnya dalam organisasi, dan biasanya berkaitan dengan
kepatuhan (Sarwono, 2004 & Rozanti, 2012).
Selain pengetahuan untuk melaksanakan
SOP kepatuhan juga merupakan modal besar seseorang untuk berperilaku. Perilaku
seseorang dapat berubah apabila ada anjuran atau instruksi untuk melakukan
suatu tindakan. Patuh (compliance) itu sendiri adalah taat atau tidak taat
terhadap perintah atau ketentuan yang berlaku dan merupakan titik awal dari
perubahan sikap dan perilaku individu (Rozanti,2012).
Menurut Niven (2002), faktor yang
mempengaruhi kepatuhan adalah diantaranya, pendidikan
yaitu dimana pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan dapat
meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan yang
aktif. Akomodasi adalah suatu usaha
harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian yang dapat mempengaruhi
kepatuhan adalah jarak dan waktu, biasanya cenderung malas melakukan pada
tempat yang jauh dan menghabiskan banyak waktu. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial adalah hal ini membangun
dukungan sosial dari keluarga dan teman. Kelompok-kelompok pendukung dapat
dibentuk untuk membantu kepatuhan. Lingkungan kerja berpengaruh besar pada
kepatuhan, lingkungan yang harmonis dan positif akan membawa dampak yang
positif, begitu juga sebaliknya lingkungan negatif akan membawa dampak buruk
pada motivasi pribadi. Meningkatkan interaksi
profesional yaitu meningkatkan interaksi profesional dengan teman sejawat
maupun antar profesi adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik. pengetahuan merupakan hasil tahu dan
ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu,
dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari
pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).
BAB III
KERANGKA KONSEP
A.
Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti
Tindakan
yang dilakukan oleh selaku tenaga perawat profesional yang bertanggung jawab
dan berwenang dalam mengelola kegiatan pelayanan keperawatan di suatu ruangan
dengan melakukan kegiatan yang
merencanakan, mengarahkan, membimbing, mengajar, mengobservasi, mendorong,
memperbaiki, mempercayai, dan mengevaluasi secara berkesinambungan anggota
secara menyeluruh sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki
anggota. Kinerja perawat adalah upaya yang dilakukan oleh seorang perawat untuk
mencapai hasil kerja yang maksimal dalam memberikan asuhan keperawatan yang
berkualitas kepada pasien.
Implementasi
patient safety merupakan pelaksanaan sistem dimana rumah
sakit membuat asuhan keperawatan untuk pasien lebih aman untuk meminimalkan
timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan
akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil. Jadi kinerja perawat dalam mengimplementasikan pastient safety adalah suatu upaya
perawat untuk melaksanakan atau memberikan asuhan keperawatan yang aman dan
sesuai dengan standar praktik keperawatan kepada klien.
Penjelasan kerangka
konseptual :
Pada penelitian ini terdapat dua
variabel yaitu variabel independen (variabel bebas) dan variabel dependen
(variabel terikat).
1. Variabel bebas (variabel
independent)
Merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang
menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen/variabel
terikat (Sugiyono, 2014). Variabel bebas biasanya dimanipulasi, diamati, dan diukur
untuk diketahui hubungannya atau pengaruhnya terhadap variabel lain. Dalam ilmu
keperawatan, variabel bebas biasanya merupakan stimulus atau intervensi
keperawatan yang diberikan kepada klien untuk mempengaruhi tingkah laku klien
(Nursalam, 2013). Pada penelitian ini variabel
independennya adalah hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang keselamatan
pasien.
2. Variabel terikat (variabel
dependen)
Merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2014). Dalam ilmu perilaku, variabel terikat adalah aspek tingkah
laku yang diamati dari suatu organisme yang dikenai stimulus. Dengan kata lain.
Variabel terikat adalah faktor yang diamati dan diukur untuk menentukan ada
tidaknya hubungan atau pengaruh dari variabel bebas (Nursalam, 2013). Pada penelitian ini variabel
dependennya adalah perilaku kepatuhan dalam melaksanakan prinsip pemberian
obat.
A. Definisi Operasional dan
Kriteria Objektif
Definisi operasional adalah
mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan karakteristik yang
diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau
pengukuran secara cermat terhadap suatu
objek atau fenomena (Nursalam, 2013).
1.
Defenisi operasional
variabel indepen yaitu:
Yang dimaksud dengan Tingkat pengetahuan perawat tentang
keselamatan pasien pada penelitian ini adalah untuk meningkatkan pelayanan
kesehatan keselamatan pasien dengan upaya untuk mencegah terjadianya Kejadian
Tidak Diharapkan (KTD) serta mutu dalam meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan
yang jelas, baik, benar dan profesional.
Dengan
kriteria objektif :
Pengetahuan cukup : Jika responden menjawab > 21
Pengetahuan kurang : Jika responden menjawab < 21
2.
Defenisi operasional
variabel dependen yaitu :
Yang dimaksud dengan perilaku kepatuhan
melaksanakan prinsip pemberian obat pada penelitian ini adalah upaya dalam
tindakan untuk meningkatkan dan mempertahankan tentang pengobatan pasien.
Dengan
kriteria objektif :
Cukup patuh : Jika responden menjawab > 24
Kurang patuh : Jika
responden menjawab < 24
B. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban
sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah
penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan
sementara, karena jawaban yan diberikan baru didasarkan pada teori yang
relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta emperis yang diperoleh melalui
pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis
terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang emperik (Sugiyono,
2014).
Perumusan
hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Hipotesis (Ha)
Ada hubungan antara tingkat pengetahuan perawat tentang
keselamatan pasien dengan perilaku kepatuhan melaksanakan prinsip pemberian
obat.
2. Hipotesis (Ho)
Tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan perawat
tentang keselamatan pasien dengan perilaku kepatuhan melaksanakan prinsip
pemberian obat.
BAB IV
METODE PENELITIAN
A.
Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif Analitik dengan
menggunakan pendekatan Cross Sectional.
Pendekatan cross sectional adalah
jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran/observasi data variabel
independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat (Nursalam, 2013).
Dalam penelitian ini variabel
independen dan variabel dependen di kumpulkan dalam waktu bersamaan untuk
mengetahui Hubungan Tingkat Pengetahuan
Perawat Tentang Keselamatan Pasien Dengan Perilaku Kepatuhan Melaksanakan
Prinsip Pemberian Obat Di Ruang Perawatan InternaRSUDLabuang BajiMakassar Tahun
2016.
B.
Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Tempat
penelitian dilakukan di Ruang Perawatan Interna RSUD Labuang Baji Makassar.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan
pada tanggal 20 juni-20
juli 2016.
C.
Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi
adalah keseluruhan individu yang menjadi acuan hasil-hasil penelitian akan berlaku
(Kasjono & Yasril, 2009). Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : obyek/subyek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,2014).
Populasi
target dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana di RSUD Labuang
Baji Makassar yang berjumlah 80 perawat.
2. Sampel
Sampel
adalah sebagian dari populasi yang ciri-cirinya diselidiki atau diukur (kasjono
& Yasril, 2009). Tahap pertama pengambilan sampel dalam penelitian ini
dengan cara menentukan karasteristik umum subyek penelitian pada populasi
target dan populasi terjangkau, yang disebut kriteria inklusi dan karakteristik
anggota populasi yang tidak dapat dijadikan sampel disebut kriteria ekslusi
(sastroasmoro & Ismael, 2011).
Jadi
target pengambilan sampel dilakukan di Ruang Perawatan Interna RSUD Labuang
Baji Makassar berjumlah 67 perawat.
Berdasarkan
sampel dalam penelitian dapat dihitung dengan rumus Slovin sebagai berikut :
Keterangan:
n =
Jumlah sampel
N =
Populasi
d =
Tingkat signifikan (0,05)
Jadi
jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah :
N
1 + N (d)2
80
1 + 80
(0,05)2
80
1 + 80
(0,0025)
80
1 + 0,2
80
1,2
= 66,6
= 67
3. Sampling
Tehnik sampling merupakan cara-cara yang
ditempuh dalam pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar
sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian. Pada penelitian ini menggunakan
tehnik Purposive sampling yaitu suatu
tehnik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai
dengan yang dikehendaki peneliti (Nursalam, 2013).
D.
Tekhnik Pengumpulan Data
Dengan menggunakan
Teknik sampling, untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian
yaitu menggunakan tehnik Purposive
sampling adalah suatu tehnik penetapan sampel dengan cara memilih sampel
diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (Nursalam, 2013).
Dengan kriteria Inklusi dan Eksklusi.
1. Kriteria Inklusi
a. Perawat pelaksana yang di ruang perawatan interna
b. Bersedia diteliti
2. Kriteria Eksklusi
a. Perawat yang pada saat penelitian berlangsung mengalami
hambatan untuk diteliti.
b. Perawat yang sedang cuti
c. Kepala ruangan
d. Tidak bersedia diteliti.
E.
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat atau fasilitas yang
digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data supaya pekerjaannya lebih mudah
dan hasilnya lebih baik dalam arti lebih cermat, lengkap, obyektif, dan
sistematis.Kuesioner merupakan alat ukur yang tepat karena data yang dihasilkan
relatif obyektif dan konstan serta dapat untuk mengukur aspek tentang tingkat
pengetahuan perawat tentang keselamatan pasien dan perilaku kepatuhan dalam melaksanakan
prinsip pemberian obat.menggunakan alat pengukuran dengan kuesioner, yaitu
sejumlah pernyataan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari
responden.
1.
Angket
tentang Tingkat Pengetahuan Perawat
Angket
tentang pengetahuan diukur dengan skala Gutman melalui jawaban responden
terhadap pernyataan-pernyataan dan alternatif jawaban yang tersedia
mengenaipengetahuan perawat tentang keselamatan pasien (patients safety).
Pemberian skor untuk pernyataan tersebut adalah 1dan nilai tertinggi 2 setiap
pernyataan dengan kategori sebagai berikut :
Tingkat pencapaian Skor
a). Benar diberi skor (2)
b). Salah diberi skor (1)
2. Angket
tentang perilaku kepatuhan dalam melaksanakan prinsip pemberian obat
Angket tentang perilaku kepatuhan dalam melaksanakan prinsip
pemberian obat dapat diukur dengan skala Gutman melalui jawaban responden
terhadap pernyataan-pernyataan dan alternatif jawaban yang tersedia mengenai perilaku kepatuhan dalam melaksanakan prinsip
pemberian obat. Pemberian skor untuk pernyataan tersebut adalah 1dan
nilai tertinggi 2 setiap pernyataan dengan kategori sebagai berikut :
Tingkat pencapaian Skor
a). Ya diberi skor (2)
b). Tidak diberi skor (1)
F.
Pengelolaan dan Analisa Data
1. Pengolahan Data
Prosedur
pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai :
a. Editing (Pengecekan Data)
Kuesioner
yang dikumpulkan, kemudian dilakukan pengecekan kelengkapan pengisisan.Apabiala
ada kuesioner yang belum lengkap maka peneliti mengembalikan kepada responden
untuk dilengkapi sebelum dikumpulkan kembali kepada peneliti.
b. Coding (pemberian kode)
Untuk
mempermudah proses entry atau memasukkan data kedalam komputer dan
mempermudah saat melakukan analisa data,
peneliti ini memberikan kode responden berupa nomor responden.
c. Cleaning (pembersihan data)
Cleaning
merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di entry untuk mengetahui
missing data atau yang tidak terinput, dengan cara membuat daftar distribusi
frekuensi dari data yang ada.
d. Processing/entry
Setekah
diberikan kode, dan dilakukan cleaning, data yang terkumpul kemudian dimasukkan
ke dalam program komputer untuk dianilasa dengan mengguanakan program komputer
yang sesuai.
e. Tabulasi
Data
yang telah diolah dan dianalisa, kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan
diagram untuk mempermudah dalam membaca hasil penelitian.
2. Analisa Data
Setelah
dilakukan pengumpulan data maka analisis data yang dilakukan dengan menggunakan
komputer yaitu program statistik all
program for social science (SPSS) yang akan dilakukan secara statistik
deskriptif. Analisis data yang digunakan meliputi:
a. Analisis Univariat
Analisa
univariat dilakukan terhadap tiap variabel dan hasil penelitian.Analisis ini
menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel yang di teliti.
b. Analisis Bivariat
Analisis
bivariat dilakukan untuk melihat hubungan tiap-tiap variabel bebas dan variabel
tergantung dengan menggunakan uji statistik dengan tingkat kemaknaan (α) :
0,05. Uji statistic yang digunakan adalah uji chi-square, menggunakan komputer program SPSS.
c. Analisis Multivariat
Analisis
multivariat bertujuan untuk melihat hubungan beberapa variabel independent
dengan satu atau beberapa variabel dependen. Analisis multivariat yang akan
dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan variabel
independen (Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Keselamatan Pasien)
serta yang paling berhubungan dengan variabel dependent (Perilaku Kepatuhan
Melaksanakan Prinsip Pemberian Obat). Uji statistik yang akan di gunakan yaitu
Regresi Logistik dengan menggunakan komputer program SPSS.
G.
Etika Penelitian
Sebagai rasa tanggung jawab peneliti,
penelitian ini dilakukan dengan memperhatikan etika penelitian, yati
prinsip-prinsip etis yang diterapkan dalam kegiatan penelitian dimulai dari penyususnan
proposal, sampai dengan publikasi (Notoatmodjo, 2010). Dalam melakukan
penelitian ini, peneliti memegan teguh pada etika penelitian sesuai dengan tiga
prinsip utama etika penelitian yaitu:
1. Beneficience (memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan)
Prinsip
Beneficience dapat ditunjukkan dengan melindungi responden dari kerugian atau
hal-hal yang membahayakan bagi responden, melindungi responden dari
eksploitasi, dan rasa sakit atau ketidaknyamanan akibat penelitian (Polit &
Back, 2004). Dalam sebuah penelitian, seorang peneliti harus memperhitungkan
manfaat dan resiko yang akan ditimbulkan bagi responden dan resiko sera manfaat
bagi masyarakat. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memperhitungkan
manfaat dan kerugian yang akan ditimbulkan. Peneliti meyakini bahwa penelitian
ini akan memberikan manfaat yang besar bagi kemajuan keperawatan yang akhirnya
dapat memberikan manfaat yang besar terhadap pasien. Penelitian ini tidak
menimbulkan efek negatif secara fisik atau psikologis baik bagi pasien maupun
keluarga pasien. Penelitian ini juga memegang prinsip melindungi pasien dari
ketidaknyamanan (Protection from
discomfort), dengan cara menghargai kondisi dan perasaan pasien, sehingga
peneliti tidak mengikut sertakan pasien yang sedang kritis atau sedang
mengalami ketidaknyamanan.
2. Respect for human dignity (Menghormati harkat dan martabat manusia)
Peneliti
juga memegang teguh prinsip etik penghargaan terhadap harkat dan martabat
manusia, yang meliputi perlindungan terhadap hak keikut sertaan secara sukarela
(self determination) dan hak untuk
mendapatkan informasi tentang penelitian (full
disclosure) (Polit &Beck , 2004). Self
determination mengandung makna bahwa calon responden memilik hak untuk
memutuskan keikut sertaannya secara sukarela dalam penelitian (Polit &
Beck, 2004). Sebelum melakukan penelitian, peneliti memberikan lembar
persetujuan (Informed concent) kepada
seluruh responden, dan responden menanda tangani surat persetujuan tersebut
setelah membaca dan memahami isi lembar persetujuan. Peneliti menghargai hak
calon responden untuk ikut serta ataupun tidak ikut serta dalam penelitian ini.
Jika responden menolak untuk diteliti, maka peneliti tidak akan memaksa dan
tetap menghormati hak-hak responden. Responden berhak untuk ikut serta ataupun
mengundurkan diri dari keikut sertaannyasebagai responden.
Prinsip full
disclosure mengadung makna bahwa peneliti menjelaskan proses penelitian
(Polit & Beck, 2004). Dalam penelitian ini, sebelum pengumpulan data
penelliti menjelaskan tujuan, serta proses pengumpulan data yang akan
dilakukan. Peneliti menjelaskan secara lengkap dan tidak ada sesuatu yang
disembunyikan dari responden.
3. Justice (Prinsip Keadilan)
Prinsip
keadilan merupakan prinsip yang menghargai hak responden untuk di perlakukan
secara adil dan perlindungan terhadap privasi terhadap responden (Polit &
Beck, 2004). Semua responden dalam penelitian ini dihormati dan diberikan
perlakuan yang sama, tanpa ada perbedaan. Pemilihan responden dilakukan secara
acak berdasarkan kriteria inklusi yang ditetapkan, bukan karena faktor
subjektifitas peneliti. Seluruh pasien yang memenuhi kriteria memiliki
kesempatan yang sama untuk dijadikan responden dalam penelitian ini.
Penelitian ini juga menghargai privasi
responden dimana responden memiliki hak untuk mendapatkan jaminan bahwa data
dan informasi yang mereka sampaikan akan dijaga kerahasiaannya (Polit &
Beck, 2004). Dalam menerapkan prinsip ini, peneliti menggunakan prinsip
anonimyty dengan cara tidak mencantumkan nama responden pada kuesioner.
Peneliti hanya mencantumkan kode responden, usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan dan lama hari rawat pada kuesioner data demografi responden. Prinsip
privasi dilakukan dengan cara tidak mengantisipasi melebihi batas yang
diperlukan. Prinsip confidentiality
atau kerahasiaan dilakukan dengan tidak mengemukakan identitas dan seluruh data
atau informasi responden kepada siapapun. Peneliti ini menyimpan data yang terkumpul
di tempat aman, dan tidak terbaca oleh orang lain. Setelah selesai penelitian,
peneliti akan memusnahkan kuesioner yang terkumpul, untuk menjaga kerahasiaan
data responden.
H.
Alur Penelitian
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Gambaran Umum dan Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Labuang Baji Makassar terletak di
bagian Selatan Kecamatan Mamajang Kota Makassar tepatnya di Jalan Dr. Ratulangi No.
81 Makassar. Adapun batas-batas geografis RSUD LabuangBaji Makassar adalah sebagai berikut:
1.
Sebelah utara berbatasan dengan Jalan Landak
Lama
2. Sebelah timur berbatasan dengan JalanTupai
3. Sebelah selatan berbatasan dengan Perumahan Pendeta
4. Sebelah barat berbatasan dengan Jalan Dr. Ratulangi. RSUD Labuang Baji
Makassar merupakan salah satu rumah sakit milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, rumah sakit ini merupakan rumah sakit rujukan bagi masyarakat
yang ada di Sulawesi Selatan khususnya bagi pasien Jam kesmas
(jaminan kesehatan masyarakat)
dan Jam kesda
(jaminan kesehatan daerah)
sehingga jumlah pasien
yang masuk di RSUD LabuangBaji Makassar cukup banyak yaitu pada tahun
2012 jumlah kunjungan Rawat Inap 12.777 pasien, tahun 2013 jumlah kunjungan 12.260 pasien, tahun 2014 jumlah kunjungan 12.867
pasien, dan pada tahun 2015 kunjungan rawat inap 13.211 pasien. RSUD Labuang Baji memiliki fasilitas pelayanan berupa pelayanan medik,
pelayanan penunjang medik dan pelayanan penunjang non medik.
B.
Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Perawatan Interna
RSUD.Labuang Baji Makassar dengan metode penelitian cross sectional.
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 20 Juni sampai 20 Juli 2016. Penelitian ini menggunakan kuesioner dan observasi. Kuisioner dibagikan kepada perawat yang berada di ruang perawatan interna
RSUD. Labuang Baji yang menjadi responden dan observasi dilakukan oleh peneliti terhadap perawat
yang di jadikan sebagai responden. Selama penelitian ini berlangsung diperoleh responden sebanyak 67 responden.
1.
KarakteristikDemografi Responden
Data yang diperoleh yaitu menggunakan alat ukur kuesioner,
kemudian dikumpulkan dan diolah dengan menggunakan
program SPSS (Statistical Package for
Social Science) 21 dan selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dengan penjelasan. Hasil penjelasan tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Karakteristik responden
1) Umur
Berdasarkan penelitian
yang dilakukan pada 67 responden diperoleh data
karakteristik responden berdasarkan umur dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel
5.1
Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di RSUD
Labuang Baji Makassar Tahun
2016
Umur
|
%
|
N
|
26 – 35 thn
|
27
|
40,3%
|
36 – 45 thn
|
31
|
46,3%
|
46 – 55 thn
|
9
|
13,4%
|
Total
|
67
|
100%
|
Sumber
data primer, agustus 2016
Dari
tabel 5.1 diperoleh data bahwa, dari 67 responden di
Ruang Perawatan Interna
RSUD.Labuang Baji Makassar, pada penelitian ini
yang tertinggi
adalah responden dari umur 36-45 tahun yang berjumlah 31 orang (46,3%). Sedangkan responden dengan umur yang terendah adalah umur 46-55 tahun berjumlah 9 orang (13,4 %).
2) Jenis kelamin
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 67 responden diperoleh
data karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel
5. 2
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis kelamin
DiRSUD.
Labuang Baji Makassar Tahun
2016
Jenis
Kelamin
|
%
|
N
|
Laki – laki
|
4
|
6 %
|
Perempuan
|
63
|
94 %
|
Total
|
67
|
100%
|
Sumber data primer, agustus 2016
Dari tabel 5.2 diperoleh data bahwa, dari
67 responden di Ruang Perawatan Interna RSUD.Labuang Baji Makassar, pada penelitian ini
yang terbanyak adalah responden dengan jenis kelamin perempuan. Dengan jumlah 63 orang (94 %) sedangkan responden dengan jeniskelamin laki-laki berjumlah 4 orang (6 %).
3) Status Perkawinan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 67responden diperoleh data karakteristik responden berdasarkan status perkawinan dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel
5.3
Karakteristik Responden Berdasarkan
Status Perkawinan
di
RSUD.Labuang Baji
Makassar Tahun
2016
Status
Perkawinan
|
%
|
N
|
Kawin
|
62
|
92,5 %
|
Belum Kawin
|
5
|
7,5 %
|
Total
|
67
|
100%
|
Sumber data primer, agustus 2016
Dari tabel 5.3diperoleh data bahwa, dari
67 responden di Ruang Perawatan Interna RSUD.Labuang Baji Makassar, pada penelitian ini
yang terbanyak adalah responden dengan status kawin adalah 62 responden (92,5%). Sedangkan responden yang belum kawin
adalah 5 responden (7,5%).
4) Pendidikan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 67responden diperoleh data karakteristik responden berdasarkan pendidikan dapa dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel
5.4
Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan di RSUD. Labuang Baji Tahun
2016
Tingkat
pendidikan
|
%
|
N
|
SPK
|
6
|
9, %
|
D III
|
24
|
35, 8 %
|
S I
|
11
|
16, 4 %
|
NERS
|
26
|
38,8%
|
Total
|
67
|
100%
|
Sumber
data primer, agustus 2016
Dari tabel 5.4 diperoleh data bahwa, dari
67 responden di Ruang Perawatan Interna RSUD.Labuang Baji Makassar, pada penelitian ini
yang terbanyak adalah responden dengan tingkat pendidikan Ners yang
berjumlah 26 responden (38,8%). Sedangkan responden dengan tingkat pendidikan terendah adalah SPK dengan jumlah 6 responden (9%) .
5) Kepegawaian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 67 responden diperoleh data karakteristik responden berdasarkan kepegawaian dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 5.5
Karakteristik Responden Berdasarkan
status kepegawaian
di RSUD.Labuang Baji Tahun
2016
Kepegawaian
|
%
|
N
|
PNS
|
52
|
77,6%
|
KONTRAK
|
15
|
22,4%
|
Total
|
67
|
100%
|
Sumber data primer, agustus 2016
Dari tabel 5.5diperoleh data bahwa, dari
67 respondendi RuangPerawatanInterna RSUD.LabuangBaji Makassar, pada penelitian ini
yang terbanyak adalah responden dengan status kepegawaian sebagai PNS
yang berjumlah 52 responden (77,6%). Sedangkan responden dengan status kepegawaian
kontrak adalah berjumlah 15 responden (22,4%).
6) Masa Kerja
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 67responden diperoleh data karakteristik responden berdasarkan masa kerja dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 5.6
Karakteristik Responden Berdasarkan Masa
kerja
di RSUD.Labuang Baji Makassar Tahun2016
Masa
kerja
|
%
|
N
|
≤5
|
4
|
6%
|
>5
|
63
|
94%
|
Total
|
67
|
100%
|
Sumber
data primer, agustus 2016
Dari tabel 5.6 diperoleh
data bahwa, dari 67 respondendi Ruang Perawatan Interna
RSUD.Labuang Baji Makassar, pada penelitian ini yang terbanyak adala responden dengan masa kerja <5 tahun yang berjumlah 63 responden (94%). Sedangkan responden dengan masa kerja terendah
adalah ≤5 yang berjumlah 4 responden (6%)
b.
Analisis uivariat
1.
Pengetahuan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 67 responden diperoleh data tingkat pengetahuan dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 5.7
Distribusi Responden Berdasarkan
Tingkat Pengetahuan
di RSUD. Labuang Baji
Makassar Tahun
2016
Pengetahuan
|
%
|
N
|
Cukup
|
49
|
73,1%
|
Kurang
|
18
|
26,9%
|
Total
|
67
|
100%
|
Sumber data primer, agustus 2016
Dari tabel 5.7 diperoleh data bahwa, dari
67 responden di Ruang Perawatan Interna RSUD.Labuang Baji Makassar, pada penelitian ini adalah responden dengan pengetahuan cukup
berjumlah 49 orang (73,1%). Sedangkan responden dengan pengetahuan kurang
berjumlah 18 orang (26,9%)
2. Kepatuhan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 67 responden diperoleh data responden berdasarkan Perilaku kepatuhan dapat dilihat dalam table berikut ini:
Tabel
5.8
Distribusi Responden Berdasarkan
Perilaku Kepatuhan Melaksanakan Prinsip Pemberian Obat di
RSUD.
Labuang Baji Makassar Tahun 2016
Perilaku
kepatuhan
|
%
|
N
|
Cukup
|
44
|
65,7%
|
Kurang
|
23
|
34,3%
|
Total
|
67
|
100%
|
Sumber data primer, agustus 2016
Dari tabel 5.8 diperoleh data bahwa, dari
67 responden di Ruang Perawatan Interna RSUD.Labuang Baji Makassar, pada penelitian ini adalah responden dengan kepatuhan cukup
berjumlah 44 orang (65,7 %). Sedangkan responden dengan kepatuhan kurang
berjumlah 23 orang (34,3 %)
c.
Analisis Bivariat
Tabel
5.9
Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Keselamatan Pasien dengan Perilaku Kepatuhan
melaksanakan PrinsipPemberian Obat di Ruang Perawatan
Interena
RSUD.Labuang Baji Makassar Tahun 2016
Pengetahuan
|
Kepatuhan
|
P
|
|||||
Cukup Patuh
|
Kurang Patuh
|
Total
|
|||||
N
|
%
|
N
|
%
|
N
|
%
|
||
Cukup
Kurang
|
39
5
|
58,2
7,5
|
10
13
|
14,9
19,4
|
49
18
|
73,1
26,9
|
0,000
|
Total
|
44
|
65,7
|
23
|
34,4
|
67
|
100
|
Sumber Data Primer, agustus
2016
Data pada tabel 5.9 menunjukkan bahwa,
dari 67 responden yang memiliki pengetahuan cukup dengan kepatuhan cukup, 39 responden (58,2%). Pengetahuan cukup dengan kepatuhan kurang, 10 responden (14,9%). Pengetahuan
kurang dengan kepatuhan cukup 5 responden (7,5%). Pengetahuan kurang dengan
kepatuhan kurang 13 responden (19,4%).
Berdasarkan analisis statistik ditemukan ada hubungan
yang bermakna antara pengetahuan dengan kepatuhan melaksanakan prinsip
pemberian obat, dimana hasil uji Chi-Square menunjukkan nilai
p = 0.000, artinya nilai p< α
atau<0,05.
C.
Pembahasan:
1.
Tingkat pengetahuan perawat di Ruang
Perawatan Interna RSUD Labuang Baji Makassar
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tingkat pengetahuan perawat
pada kategori cukup sebanyak 49 responden (73,1%) dan pada kategori kurang
sebanyak 18 responden (26,9%). Jadi dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan
perawat tentang keselamatan pasien dengan perilaku kepatuhan melaksanakan
prinsip pemberian obat yang terbanyak adalah dalam kategori yaitu cukup sebanyak
49 responden (73,1%). Menurut Notoadmodjo (2007), faktor-faktor yang
mempengaruhi pengetahuan adalah pendidikan, informasi, sosial budaya, ekonomi,
lingkungan dan umur. Makin tinggi pendidikan seseorang, makin mudah orang
tersenut menerima informasi. Informasi dapat berpengaruh pada pengetahuan
seseorang. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan
yang didapatkan. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya
fasilitas yang perlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi
ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang. Lingkungan berpengaruh terhadap
proses masuknya pengetahuan kedalam individu yang berada dalam lingkungan
tersebut. Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan. Umur mempengaruhi terhadap daya tangkap dan
pola pikir seseorang.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Amin
Dewi (2012) di Rumah sakit Karanganyer Jawa Tengah, berdasarkan hasil
penelitian dapat diuraikan bahwa dari 30 responden didapatkan tingkat
pengetahuan perawat dalam melaksanakan pemberian obat yang terbanyak adalah
dalam kategori cukup yaitu sebanyak 22 responden (73,33%).
Asumsi peneliti bahwa hasil
penelitian yang dilakukan di tempat peneliti bahwa responden dengan kategori
tingkat pengetahuan cukup karena para perawat tersebut sadar akan pentingnya pengetahuan terhadap
keselamatan pasien dan karena banyak memperoleh informasi serta pengalaman
kerja yang ia lalui. Sedangkan responden dengan kategori tingkat pengetahuan
kurang karena kurang mendapatkan informasi dan pengalaman kerja.
2.
Perilaku kepatuhan melaksanakan prinsip
pemberian obat di Ruang Perawatan Interna RSUD Labuang Baji Makassar
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perilaku kepatuhan
melaksanakan prinsip pemberian obat pada kategori cukup sebanyak 44 responden (65,7%) dan pada kategori kurang 23
responden (34,3%). Analisis statistik menunjukkan ada hubungan yang
bermakna antara pengetahuan dengan kepatuhan melaksanakan prinsip pemberian obat, dimana hasil uji Chi-Square
menunjukkan nilai p = 0.000, artinya nilai p< α
atau<0,05 hal
tersebut berarti bahwa Ha diterima.
Hal ini didukung oleh penelitian Saleh Tualeka (2012) yang mendapatkan hubungan antara pengetahuan
dengan kepatuhan melaksanakan prinsip
pemberian obat. Dalam penelitiannya, dia mengatakan bahwa pengetahuan kesehatan dalam menentukan hasil dalam
berperilaku patuh. Unsur kepatuhan petugas kesehatan mempunyai pengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan, termasuk perilaku
kepatuhan terhadap patient safety secara
langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kepatuhan pemberian obat yang
pada akhirnya juga akan menentukan hasil kualiatas pelayanan yang baik.
Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa perilaku kepatuhan cukup
akan berpengaruh terhadap kepatuhan dalam pemberian obat dibanding dengan kepatuhan kurang. Semakin cukup perilaku kepatuhan semakin
patuh terhadap pelayanan kesehatan, sebaliknya
semakin kurang perilaku kepatuhan seseorang, pelayanan kesehatan lebih cenderung tidak patuh dalam pelayanan.
Namun dari hasil di atas
menunjukkan ada 44 responden (65,7%) dengan perilaku kepatuhan cukup tapi kurang patuh sebanyak 23
responden (34,3%), hal ini disebabkan karena ada beberapa responden
yang sikapnya kurang di terima pasien disebabkan karena ada sebagian responden yang di
jumpai mempunyai sikap yang kurang baik, melakukan pelayanan yang tidak dengan disertai keikhlasan dan tidak fokus
pada saat memberikan penjelasan dalam pemberian obat. Sikap dan perilaku
responden yang kurang baik tanpa pendidikan maka seseorang perawat akan
berperilaku tidak sewajarnya. Dengan pendidikan seseorang maka akan lebih mudah
dan lebih sopan dalam berperilaku patuh serta lebih mudah menanggapi informasi.
Informasi dapat memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang. . Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan
oleh Notoatmodjo (2010) bahwa, pendidikan dapat mempengaruhi seseorang,
termasuk berperilaku patuh akan pola hidup terutama
dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan kesehatan.
Asumsi peneliti bahwa hasil penelitian yang dilakukan di tempat peneliti
bahwa responden dengan kategori perilaku kepatuahan cukup karena para perawat
tersebut sadar akan pentingnya pendidikan
ataupun pengetahuan terhadap kepatuhan melaksanakan prinsip pemberian obat
terhadap keselamatan pasien (patient
safety). Sedangkan responden dengan kategori tingkat perilaku kepatuhan
kurang karena kurang mendapatkan atau memperoleh informasi dan kurangnya pendidikan
ataupun pengetahuan yang dimilikinya.
3.
Hubungan antara tingkat pengetahuan
dengan kepatuhan dalam melaksanakan prinsip pemberian obat
Berdasarkan analisis statistik ditemukan ada hubungan
yang bermakna antara pengetahuan dengan kepatuhan melaksanakan prinsip
pemberian obat, dimana hasil uji Chi-Square menunjukkan nilai
p = 0.000, artinya nilai p< α
atau<0,05 hal
tersebut berarti bahwa Ha diterima.
Menurut peneliti, tingkat pengetahuan perawat dapat mempengaruhi
pengetahuan seseorang dimana dengan
adanya pengetahuan akan membuat seseorang menjadi lebih patuh terhadap sistem
pelayanan kesehatan untuk berpikir kearah yang positif, lebih patuh karena dengan pengetahuan tersebut dapat
memberikan kontrol kepada seseorang
untuk menghindari hal-hal yang bersifat negatif . selain itu semakin
tinggi pengetahuan seseorang maka akan memotivasi seseorang untuk hidup lebih sehat dan lebih baik.
Menurut Niven 2011 bahwa seseorang yang
berpengetauan tinggi lebih cenderung
untuk patuh terhadap anjuran yang
diberikan dibandingkan dengan pengetahuan rendah dan hal ini juga sesuai dengan
teori yang dikemukakan oleh Notoatmodjo, secara teoritis pengetahuan akan
mempengaruhi pola pikir seseorang, selain itu kemampuan kognitif membentuk cara
pikir seseorang, meliputi kemampuan untuk mengerti faktor-faktor yang
berpengaruh dalam kondisi sakit dan untuk lebih meningkatkan pengetahuan
tentang perilaku kepatuhan terhadap sehat dan sakit (Notoadmojo, 2012). Jadi
perilaku yang didasari dengan pengetahuan akan lebih dapat berperilaku patuh
dibandingkan dengan perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan, sebab
perilaku seseorang dapat dipengaruhi dengan adanya pengetahuan(Iqbal.dkk 2012).
Penelitian yang mendukung dilakukan oleh
Pardede (2012) tentang kepatuhan perawat dalam pemberian obat dimana dalam penelitiannya
dia mendapatkan hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kepatuhan
dalam pemberian obatt. Hal ini dapat dipahami karena dengan pengetahuan yang baik tentang pemberian obat. Hal ini dapat dipahami karena dengan pengetahuan
maka dengan sendirinya mereka cenderung patuh.
Pada variabel pengetahuan cukup dengan kepatuhan cukup di dapatkan data
39 responden (58,2%) dan pengetahuan kurang dengan kepatuhan kurang 13 responden (19,4%). Dari data tersebut
dapat disimpulkan bahwa tidak hanya cukup pengetahuan saja tanpa adanya
pendidikan yang lebih karna pendidikan sangat penting untuk menopang seseorang
untuk dapat berperilaku baik cenderung untuk patuh terhadap anjuran yang akan
seseorang hadapi. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Notoatmodjo
(2007), bahwa, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut
menerima informasi. Informasi dapat memberikan pengaruh pada pengetahuan dan
kepatuhan seseorang. Semakin banyak pendidikan dan informasi yang masuk semakin
banyak pula pengetahuan yang ia dapat tentang kesehatan.
Pada pengetahuan cukup tetapi kepatuhan kurang 10 responden (14,9%). Dari
data tersebut dapat disimpulkan bahwa kepatuhan
dalam kategori kurang. Peneliti berasumsi, bahwa beberapa responden tidak
mengikuti beberapa poin pada kuesioner seperti kurang memperhatikan tentang
jadwal pemberian obat dikarenakan adanya perbandingan antar jumlah perawat dan
jumlah pasien yang di rawat.
Semakin baik tingkat pengetahuan dan kepatuhan maka kinerja pun akan semakin baik. Tetapi dalam
penelitian ini sebanyak 10 (7,5) responden menjawab pengetahuan dalam kategori
cukup, namun kepatuhannya kurang. Dilihat dari karakteristik masa kerja dan
status kepegawaian, kesepuluh responden
tersebut, bahwa masa kerja kurang dari 5 tahun, dan status kepegawaian kontrak.
Menurut Gibson (1997) dalam Nursalam
(2014) salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja adalah
pengalaman kerja,
kepuasan kerja dan penghargaan. Semakin sedikit
masa kerja, maka akan semakin sedikit pula pengalaman kerja yang didapat. Oleh
karena itu masa kerja memiliki pengaruh terhadap kinerja. Notoadmodjo 2008, pengalaman adalah
suatu cara untuk memperoleh pengetahuan. Hal ini ditunjukkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wibowo
(2013) yang berjudul “Hubungan hubungan tingkat pengetahuan dan kepatuhan
serta dalam Pendokumentasian Asuhan Keperawatan di
Rumah Sakit Tentara Wijayakusuma Purwokerto” yang menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan kinerja
perawat terhadap pengetahuan dalam pendokumentasian asuhan
keperawatan.
Adapula responden yang menjawab bahwa pengetahuan dalam
kategori kurang sebanyak 5 (7,5%) responden. Jika dilihat dari umur antar 46-55
tahun. Menurut Gibson (2005) dalam Ma’wah (2015) bahwa variabel umur
mempengaruhi perilaku dan kinerja individu. Pendapat ini jigua didukung oleh
Siagian (2008) yang menyatakan ada kecenderungan yang terlihat bahwa semakinlanjut usia pekerja, tingkat kinerja
semakin baik karena pekerja yang lanjut usia akan semakin sulit memenuhi karir
baru di tempat lain. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kanestran
(2009) dengan judul “Analisis Hubungan Karakteristik individu dan Lingkungan
Kerja Dengan Kinerja perawat di Unit Rawat Inap RS.Pertamina Jaya” yang
menunjukkan bahwa hubungan umur perawat dengan kinerja perawat berpola positif
artinya semakin bertambah umur semakin besar skor penilaian kinerja
Walaupun terdapat beberapa kesenjangan antara pengetahuan dengan
kepatuhan namun sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan dengan
kategori baik dan memiliki tingkat kepatuhan yang cukup dengan kata lain ada
hubungan antara pengetahuan dan kepatuhan, menurut Lawerence Green seperti dikutip
Notoatmojo (2003) yang menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
manusia dari tingkat kesehatan salah satunya adalah pengetahuan yang merupakan predisposing
factor. Pernyataan tersebut didukung oleh WHO, seperti dikutip Notoatmojo (2003) bahwa pengetahuan yang yang
diperoleh dari pengalaman orang lain dapat menentukkan seseorang untuk
berperilaku lebih baik.
D.
Keterbatasan penelitian
Pada penelitian ini, peneliti mengalami
beberapa kendala pada saat melakukan penelitian yaitu sebagian responden tidak
hadir pada saat penelitian dan sebagian juga responden tidak fokus ataupun
tidak care pada saat melakukan penelitian. Namun kendala tersebut tidak
mempengaruhi proses penelitian.
BAB VI
KESIMPULAN
A.
Penutup
Berdasarkan hasil penelitian tentang HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN
PERAWAT TENTANG KESELAMATAN PASIEN DENGAN PERILAKU KEPATUHAN MELAKSANAKAN
PRINSIP PEMBERIAN OBAT di RUANG PERAWATAN INTERNA RSUD LABUANG BAJI MAKASSAR,
maka dapat disimpulkan :
1. Tingkat
pengetahuan perawat tentang keselamatan pasien (patient safety) tergolong cukup yakni sebanyak 49 (73,1%) responden
menjawab pengetahuan cukup dari 67 responden.
2. Tingkat
kepatuhan perawat melaksanakan prinsip pemberian obat tergolong cukup yakni
sebanyak 44 (65,7%) responden menjawab kepatuhan cukup dari 67 responden.
3. Ada hubungan
antara tingkat pengetahuan perawat tentang keselamatan pasien dengan perilaku
kepatuhan melaksanakan prinsi pemberian obat dengan nilai p =0,000< α =0,05.
B.
Saran
Dari hasil penelitian yang telah
diperoleh maka peneliti memberikan beberapa saran :
1.
Bagi
Rumah Sakit
Melakukan
penilaian pengetahuan dan kepatuhan secara berkala di setiap unit pelayanan
keperawatan sebagai media komunikasi.
2.
Bagi
Kepala Ruangan
a.
Kepala
ruangan sebaiknya meningkatkan kemampuan perawat pelaksana dan memberikan
perhatian yang penuh terkait dengan tugas perawat pelaksana sehari-hari dan
tetap melakukan pengawasan, observasi dan penilaian setiap waktu.
b.
Kepala
ruangan sebaiknya sering melibatkan perawat pelaksana dalam aktivitas
sehari-hari terkait dengan pengimplementasian patient safety.
c. Kepala ruangan (supervisor)
sebaiknya melakukan penilaian secara objektif kepada perawat pelaksana.
3.
Bagi
perawat Pelaksana
Menunjukan
sikap yang loyal terhadap rumah sakit, loyal terhadap pekerjaan dan loyal
terhadap pasien yang dilayani dalam memberikan asuhan keperawatan dengan cara
melakukan pengimplementasian keselamatan pasien yang aman dan baik sesuai
dengan standar yang ditetapkan.
4.
Bagi
Peneliti Selanjutnya
Diharapkan
apabila melakukan penelitian untuk mengukur tingkat pengetahuan dan kepatuhan
perawat maka yang harus memberi
penilaian tersebut adalah perawat pelaksana yang bekerja diruang perawatan itu
sendiri.
Daftar Pustaka
Arif Sumarianto, 2013. Hubungan Pengetahuan Dan Motivasi Terhadap
Kinerja Perawat Dalam Penerapan Program Patient
Safety Di Ruang Perawatan Inap Rumah Sakit Umum Daerah Andi Makassau
Parepare Tahun.2013.Naskah_Publikasi.
Http://Repository.Unhas.Ac.Id:4001/Digilib/Files/Disk1/166/Arifsumari-8289-1-14-Arif-O.Pdf. Diakses
Tanggal 1 Mei 2016
Azis
S, Herman Mj. Kemampuan Petugas Menggunakan Pedoman
Evaluasi Pengelolaan Dan Pembiayaan
Obat.
Binoriang. (2009). Tingkat
Pengetahuan Perawat Tentang Patient Safety Di Bangsal Rawat Inap Rumah Sakit
Pku Muhammadiyah Bantul
Depkes
Ri. 2006. Panduan Nasional Keselamatan
Pasien Rumah Sakit (Patient Safety). Jakarta. Depkes Ri. Http://www.Inapatsafety-Persi.Or.Id/Data/Panduan.Pdf. Diakses 27 April 2016)
Hidayat. 2007. Riset
Keperawatan Dan Tekhnik Penulisan Ilmiah, Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika
Idayati. (2008). Hubungan
Pengetahuan Dan Sikap Perawat Terhadap Penerapan Standar Operasional (Sop)
Teknik Menyuntik Dalam Upaya Pencegahan Infeksi Di Rsud Arifin Achmad Pekanbaru
Https://www.Google.Com/Search?Q=Pengaruh+Persepsi+Tentang+Profesionalitas%2cpengetahuanpatients+Safety+Dan+Motivasi+Perawat+Terhadappelaksanaan+Program+Patients+Safety+Di+Ruang+Rawatinap+Rso+Prof.+Dr.+R.+Soeharso+Surakarta&Ie=Utf-8&Oe=Utf-8&Aq=T&Rls=Org.Mozilla:En-Us:Official&Client=Firefox-A&Gws_Rd=Ssl.
Https://Core.Ac.Uk/Download/Pdf/12346892.Pdf
Julkifli, Dkk. 2013. Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kinerja
Perawat
Di Rumah Sakit Tingkat Iii 16.06.01 Ambon. Jurnal Akk, 2 (1),18-26. Http://Download.Portalgaruda.Org/Article.Php?Article=94557&Val=2172. Diakses
Tanggal 12 Mei 2016
Kemenkes Ri. 2011. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesi
Nomor 1691/Menkes/Per/Viii/2011
Tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Jakarta: Depkes Ri
Kanestran (2009) dengan judul “Analisis Hubungan Karakteristik individu
dan Lingkungan Kerja Dengan Kinerja perawat di Unit Rawat Inap RS.Pertamina
Jaya. Http://Download.Portalgaruda.Org/Article.Php?Article=81491&Val=999. Diakses1
Mei 2016
Ma’wah. 2015. “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Perawat Di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Umum (Rsu) Kotta Tangerang Selatan”. Naskah Publikasi.
Universitas Islam Negeri (Uin) Syarif Hidaayatullah Jakarja. Http://Repository.Uinjkt.Ac.Id/Dspace/Bitstream/123456789/29456/1/Miftakhul%20ma%E2%80%99wah-Fkik.Pdf. Diakses 3 Mei 2016.
Pardede.2012. “hubungan
pengetahuan dan kepatuhan melakukan pemberian obat.” Jurnal Akk, 2 (1),18-26. Http://Download.Portalgaruda.Org/Article.Php?Article=94557&Val=2172. Diakses
Tanggal 12 Mei 2016
Pratama.B.2009.Konsep-Pengetahuan Html Http://Pratama88 Blogspot.Com/2009/08
Permenkes Ri. 2011.
Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Menteri Kesehatan.Http://202.70.136.86/Bprs/Uploads/Pdffiles/21%20pmk%20no.%201691%20ttg%20keselamatan%20pasien%20rumah%20sakit.Pdf. Diakses
28 April 2016
Pusdiknakes Depkes Ri. 2003. Dasar-Dasar
Keperawatan : Pandangan Kini Di
Bidang Pendidikan Perawatan, Jakarta : Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan Ri.
Priyonto & Tri Widyastuti. 2014. Kebutuhan Dasar
Keselamatan Pasien. Yogyakarta : Graha Ilmu
Ram Marnex Tampilang Dkk . 2013. Hubungan
Supervisi Kepala Ruangan Dengan Kepuasan Perawat Pelaksana Di Rsud Liunkendage
Tahuna ; JurnalE-Ners(Ens),1(1),21-26. Http://Download.Portalgaruda.Org/Article.Php?Article=81491&Val=999. Diakses1
Mei 2016
Rattu Dkk
2015. Analisis
Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kinerja Perawat Dalam Menerapkan Asuhan
Keperawatan Di Rumah Sakit Umum Bethesda Gmim Tomohon ; Jurnal E-Biomedik (Ebm), 3 (3),884-894. Http://Ejournal.Unsrat.Ac.Id/Index.Php/Ebiomedik/Article/Viewfile/.../10066+&Cd=4&Hl=Id&Ct=Clnk&Gl=Id. Diakses 12 Mei 2016
Rusdiana.
(2009). Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang
Keselamatan
Pasien Dengan Kepatuhan Pelaksanaan Prinsip Pemberian
Obat.
Saleh
Tualeka (2012). “Perilaku kepatuhan dalam
pemberian obat dengan pendokumentasian asuhan keperawatan”. Diakses tanggal
2012.
Sumijatun. 2011. Membudayakan Etika Dalam Praktek
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Whanty.
(2011). Metode Injeksi Dan 12 Prinsip
Benar. Diakses Tanggal 17 Juli 2012.
Yahya Aa. Konsep Dan Program “Patient Safety”.
Bandung:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar