BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Di era globalisasi saat ini perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan dapat mempengaruhi kesadaran
masyarakat terhadap mutu pelayanan kesehatan yang semakin meningkat. Hal
tersebut menyebabkan rumah sakit harus mampu memberikan pelayanan dan menjaga
mutu pelayanan yang diberikan pada pasien. Upaya peningkatan mutu pelayanan dan
keselamatan pasien di rumah sakit sudah merupakan sebuah gerakan universal. Setiap rumah sakit
wajib membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS) yang ditetapkan oleh kepala rumah sakit sebagai
pelaksana kegiatan
keselamatan pasien (Depkes RI 2011).
Berbagai negara maju telah menggeser
paradigma ”quality” kearah paradigma baru “qualitysafety”. Ini
berarti bukan hanya mutu pelayanan yang harus ditingkatkan tetapi yang lebih
penting lagi adalah menjaga keselamatan pasien secara konsisten dan terus
menerus (Depkes RI 2006). Keselamatan pasien rumah sakit (patient safety) adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Adanya kesalahan yang terjadi pada
pelayanan yang diberikan berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien. Hal ini
berarti kesalahan tersebut dapat mengakibatkan cedera atau dapat pula tidak
menyebabkan cedera pada pasien. Kondisi pasien yang tidak mengalami cedera,
meskipun terjadi kesalahan dikenal dengan istilah kejadian nyaris cedera (KNC)
atau biasa disebut near miss. Sedangkan kondisi pasien yang
mengalami cedera karena terjadi kesalahan dikenal dengan istilah kejadian tidak
diduga (KTD) atau biasa disebut Adverse event. Publikasi WHO pada
tahun 2004 dalam Irwandy dkk (2013), mengumpulkan angka-angka hasil penelitian
rumah sakit di berbagai negara : Amerika, Inggris, Denmark, dan Australia,
ditemukan angka adverse events dengan rentang 3,2-16,6%.
Upaya yang dilakukan rumah sakit untuk
mengurangi kejadian tidak diharapkan (KTD) adalah dengan meningkatkan
keselamatan pasien. Hal ini tidak terlepas dari peran kepala ruangan dalam
manajemen keperawatan. Menurut Gillies dalam Kuntoro (2010) Manajemen
keperawatan merupakan proses pelaksanaan pelayanan keperawatan melalui upaya
staf pelayanan keperawatan untuk memberikan asuhan keperawatan, pengobatan dan
rasa aman kepada pasien, keluarga dan masyarakat (Gillies, 1985). Oleh karena
itu kepala ruangan sebagai seorang manajer harus mampu melaksanakan empat
fungsi manajemen yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan
pengawasan.
Agar seorang manajer keperawatan mampu
melakukan kegiatan supervisi secara benar, ia harus mengetahui prinsip-prinsip
supervisi. Prinsip tersebut harus memenuhi syarat, antara lain didasarkan atas
hubungan profesional, kegiatan yang harus direncanakan secara matang, bersifat
edukatif dan memberikan perasaan aman pada perawat pelaksana (Kuntoro, 2010).
Perawat merupakan tenaga kesehatan yang
memiliki peran cukup besar, dikarenakan rentang waktu kerja perawat dan
frekuensi interaksi langsung dengan pasien lebih tinggi dibandingkan tenaga
kesehatan lainnya. Oleh karena itu, perawat harus mampu meningkatkan kinerjanya
dalam memberikan pelayana kesehatan. Menurut
Nursalam (2014) kinerja merupakan penampilan hasil karya personel baik
kualitas maupun kuantitas dalam suatu organisasi.
Kinerja perawat dalam
pengimplementasikan pasien safety dapat dipengaruhi oleh dukungan manajemen
terutama keefektifan supervisor dalam supervisi dan promosi keselamatan pasien
di rumah sakit. Sejalan dengan penelitian Makta, Noer dan Kapalawi (2013),
di unit rawat inap RS. Stella Maris
Makassar yang menyatakan bahwa ada hubungan antara supervisi dengan kinerja
perawat pelaksana. Menurut Sumarianto (2013) menyatakan bahwa ada beberapa hal
yang perlu menjadi perhatian bagi pihak manajemen terkait kinerja perawat yaitu
belum maksimalnya penerapan SOP pemberian obat, darah dan produk darah (20,3%),
belum maksimalnya penerapan prinsip aseptik sebelum dan sesudah memberikan
asuhan keperawatan (25%), belum terpenuhinya penerapan pencegahan pasien jatuh
( 14,1%).
Insiden KTD di Instalasi Rawat Inap RSUD
Labuang Baji Makassar pada tahun 2013 ditemukan sebesar 3,4 % KTD berupa
infeksi jarum infus (phlebitis), dan pada tahun 2014 ditemukan sebesar
2,5% infeksi jarum infus. Hasil dari penelitian Syahafdal (2015) budaya
keselamatan pasien di RSUD Labuang Baji Makassar tahun 2015 berada dalam
kategori baik, harapan supervisor/manajer dan tindakan promosi budaya
keselamatan pasien berada dalam kategori buruk. Ini berarti pelaksanaan
supervisi harus ditingkatkan lagi.
Berdasarkan studi pendahuluan yang
dilakukan pada tanggal 9 Mei 2016 melalui wawancara beberapa orang perawat,
supervisi belum maksimal dijalankan oleh kepala ruangan, begitupun tentang
pengimplementasian patient safety yang
belum maksimal dilakukan oleh perawat, namun anggapan mereka bahwa patient safety sangat penting dilakukan.
Dari pengambilan data pendahuluan di ruang
perawatan Interna RSUD Labuang Baji Makassar, diperoleh jumlah tenaga perawat dari
sembilan ruangan diruang perawatan interna sebanyak 80 orang. Di ruang Baji Ada
I sebanyak 7 orang, di ruang Baji Ada II sebanyak 8 orang, di ruang Baji Dakka
I sebanyak 8 orang, di ruang Baji Dakka II sebanyak 9 orang, di ruang Mamminasa
Baji sebanyak 10 orang, di ruang Baji Pamai I sebanyak 9 orang, di ruang Baji
Pamai II sebanyak 9 orang, di ruang Baji Kamase I sebanyak 10 orang, dan di
ruang Baji Kamase II sebanyak 10 orang . Jumlah PNS 55 orang, non PNS 25 orang,
terdiri dari 7 orang SPK, 34 orang DIII perawat, 13 orang S1 keperawan dan 26
orang S1 kep + Ns. Dengan jumlah Laki-laki 4 orang dan perempuan 76 orang.
Berdasarkan latar belakang di atas maka
peneliti tertarik untuk meneliti hubungan supervisi kepala ruangan
dengan kinerja
perawat dalam pengimplementasian patient safety di ruang perawatan interna RSUD Labuang Baji
Makassar Tahun 2016.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di
atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu apakah ada “hubungan
supervisi kepala ruangan dengan kinerja perawat dalam pengimplementasian patient safety di ruang perawatan
interna RSUD Labuang Baji Makassar Tahun 2016”.
C. Tujuan
Penelitian
1. Tujuan
Umum
Diketahuinya
hubungan supervisi
kepala ruangan dengan kinerja perawat dalam pengimplementasian patient safety di ruang perawatan
interna RSUD Labuang Baji Makassar Tahun 2016.
2. Tujuan
Khusus
a.
Diketahuinya
supervisi kepala ruangan dalam pengimplementasian patient safety.
b.
Diketahuinya
kinerja perawat dalam pengimplementasian patient
safety.
c.
Diketahuinya
hubungan antara supervisi kepala ruangan
dengan kinerja perawat dalam mengimplementasikan patient safety.
D. Manfaat
Penelitian
1.
Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil dari penelitian
ini di harapkan menjadi referensi atau masukan bagi perkembangan ilmu kesehatan
dan menambah kajian ilmu kesehatan khususnya ilmu keperawatan untuk mengetahui
bagaimana hubungan kemampuan
supervisi kepala ruangan
dengan kinerja
perawat dalam pengimplementasian patient
safety.
2.
Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan pengetahuan informasi tentang hubungan kemampuan supervisi kepala ruangan dengan kinerja perawat dalam pengimplementasian patient safety dan sebagai masukan bagi tenaga kesehatan
bahwa pengimplementasian patient safety
sangat penting untuk menjaga mutu pelayanan dan keselamatan pasien itu sendiri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan
Umum Supervisi
1. Pengertian
Supervisi
a. Pengertian
Supervisi
Banyak ahli mengemukakan tentang
pengertian supervisi, mulai dari pengertian yang sangat luas sampai pada
defenisi supervisi yang lebih khusus. Supervisi dalam arti yang luas memiliki
dimensi yang beragam. Knon dan Gray (1987) dalam Kuntoro (2010) mengartikan
supervisi sebagai kegiatan yang merencanakan, mengarahkan, membimbing,
mengajar, mengobservasi, mendorong, memperbaiki, mempercayai, dan mengevaluasi
secara berkesinambungan anggota secara menyeluruh sesuai dengan kemampuan dan
keterbatasan yang dimiliki anggota.
Dalam Arti khusus supervisi dikaitkan dengan suatu disiplin ilmu
tertentu dalam hal ini adalah keperawatan. McFarland, Leonard, dan Morris
(1984) dalam Kuntoro (2010) mengaitkan supervisi dalam konteks keperawatan
sebagai suatu proses kegiatan pemberian dukungan sumber-sumber (resources) yang dibutuhkan perawat dalam
rangka menyelesaikan tugas untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa supervisi merupakan suatu kegiatan yang
mengandung dua dimensi pelaku, yaitu pimpinan dan anggota atau orang yang
disupervisi. Kedua dimensi pelaku tersebut walaupun secara administratif
berbeda level dan perannya, namun dalam pelaksanaan kegiatan supervisi keduanya
memiliki andil yang sama-sama penting. Pemimpin mampu melakukan pengawasan
sekaligus menilai seluruh kegiatan yang telah direncanakan bersama, dan anggota
mampu menjalankan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya dengan
sebaik-baiknya (Kuntoro, 2010).
Supervisi keperawatan merupakan
suatu proses pemberian sumber-sumber yang dibutuhkan perawat untuk
menyelesaikan tugas dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
(Kuntoro, 2010).
Jadi dalam kegiatan supervisi semua orang yang terlibat bukan sebagai
pelaksana pasif, namun secara bersama sebagai mitra kerja yang memiliki
ide-ide, pendapat, dan pengalaman yang perlu didengar.
Menurut Warouw “Kepala ruangan merupakan seorang tenaga perawat
profesional yang bertanggung jawab dan berwenang dalam mengelola kegiatan
pelayanan keperawatan di suatu ruangan.” (Warou dkk, 2013). Kepala ruangan
mempunyai tanggung jawab untuk mengelola lingkungan yang kondusif dan menjamin
kesiapan perawat pelaksanan dalam memberikan asuhan keperawatan yang tepat dan
aman kepada pasien.
Kepala ruangan merupakan ujung tombak
tercapai tidaknya tujuan pelayanan keperawatan di rumah sakit. Ia
bertanggungjawab mengawasi perawat pelaksana dalam melakukan supervisi untuk
mengelola asuhan keperawatan. Kepala ruangan berperan untuk mempertahankan
segala kegiatan yang telah dijadwalkan dapat dilaksanakan sesuai standar
melalui supervisi (Jumaini & Purnamasari, 2014).
2. Tujuan
Supervisi
Swansburg dalam Sudaryanto dan supratman (2009) menyatakan bahwa tujuan
supervisi keperawatan adalah “Memperhatikan anggota unit organisasi disamping
itu area kerja dan pekerjaan itu sendiri, memperhatikan rencana, kegiatan dan
evaluasi dari pekerjaannya, meningkatkan kemampuan pekerjaan melalui orientasi,
latihan dan bimbingan individu sesuai kebutuhannya serta mengarahkan kepada
kemampuan keterampilan keperawatan.” (Swansburg, 1999).
3. Prinsip
Supervisi Keperawatan
Menurut Keliat dalam Sudaryanto
dan supratman (2009) prinsip supervisi keperawatan adalah sebagai berikut:
a.
Supervisi
dilakukan sesuai dengan struktur organisasi Rumah Sakit.
b.
Supervisi
memerlukan pengetahuan dasar manajemen, ketrampilan hubungan antar manusia,
kemampuan menerapkan prinsip manajemen dan kepemimpinan.
c.
Fungsi
supervisi diuraikan dengan jelas dan terorganisir dan dinyatakan melalui
petunjuk, peraturan dan kebijakan dan uraian tugas standar.
d.
Supervisi
adalah proses kerjasama yang demokratis antara supervisor dan perawat
pelaksana.
e.
Supervisi
menggunakan proses manajemen termasuk menerapkan misi, falsafah, tujuan dan
rencana yang spesifik untuk mencapai tujuan.
f.
Supervisi
menciptakan lingkungan yang mendukung komunikasi efektif, merangsang,
kreativitas dan motivasi.
Agar seorang manajer keperawatan mampu
melakukan kegiatan supervisi secara benar, ia harus mengetahui dasar dan
prinsip-prinsip supervisi. Prinsip tersebut harus memenuhi syarat, antara lain
didasarkan atas hubungan profesional dan bukan hubungan pribadi, kegiatan yang
harus direncanakan secara matang, bersifat edukatif, memberikan perasaan aman
pada perawat pelaksana, dan harus mampu membentuk suasana kerja yang
demokratis. Prinsip lain yang harus dipenuhi dalamkegiatan supervisi adalah
harus dilakukan secara objektif dan mampu memacu terjadinya penelitian diri (self evaluation), bersifat progresif,
inovatif, fleksibel, dapat mengembangkan potensi atau kelebihan masing-masing
orang yang terlibat, bersifat kontruktif dan kreatif dalam mengembangkan diri
disesuaikan dengan kebutuhan, dan supervisi harus dapat meningkatkan kinerja
bawahan dalam upaya meningkatkat kualitas asuhan keperawatan (Kuntoro, 2010).
4. Unsur
Pokok Dalam Supervisi
a.
Persiapan
Supervisi meliputi konsep supervisi,
materi supervisi, dan administrasi penunjang yang meliputi instrumen supervisi
lengkap dengan parameter penilaian, laporan hasil kegiatan supervisi serta
pendokumentasian hasil supervisi (Rosyidi, 2013).
Pada
tahap ini menurut Rosyidi (2013) kelompok menyiapkan hal-hal sebagai berikut :
1)
Menetapkan
kegiatan yang akan disupervisi oleh kepala Ruangan.
2)
Menetapkan
alokasi waktu untuk pelaksanaan kegiatan supervisi.
3)
Penanggung
jawab supervisi menyusun proposal kegiatan , materi supervisi, dan mekanisme
supervisi, instrumen dan format lainnya yang berhubungan dengan kegiatan
supervisi.
b.
Pelaksanaan
Menurut suarly dan Bahtiar dalam
Munawarah (2015) yang bertanggung jawab melaksanakan supervisi adalah atasan
(Supervisor) yang memiliki “kelebihan” dalam organisasi, karena fungsi
supervisi memang banyak terdapat pada tugas atasan. Namun, untuk keberhasilan
supervisi, yang lebih diutamakan adalah kelebihan dalam hal pengetahuan dan
keterampilan (Suarli & Bahtiar, 2010).
c.
Sasaran
Sasaran atau objek dari supervisi adalah
pekerjaan yang dilakukan oleh bawahan serta bawahan yang melakukan pekerjaan.
d.
Frekuensi
Supervisi harus dilakukan dengan
frekuensi yang berkala. Supervisi yang dilakukan hanya sekali, bisa dikatakan
bukan supervisi yang baik, karena organisasi/lingkungan selalu berkembang oleh
sebab itu, agar organisasi selalu dapat mengikuti berbagai perkembangan dan
perubahan, perlu dilakukan berbagai penyesuaian. Supervisi dapat membantu
penyesuaian tersebut, yaitu melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan
bawahan.
e.
Teknik
Teknik pokok supervisi pada dasarnya
mencakup 4 hal yaitu :
a) Menetapkan masalah dan prioritasnya
b) Menetapkan penyebab masalah, prioritas
dan jalan keluarnya
c) Melaksanakan jalan keluar
d) Menilai hasil yang dicapai untuk tindak
lanjut.
5. Peran
Supervisi Kepala
Ruang
Peran adalah seperangkat perilaku
yang di harapkan dari orang yang
memiliki posisi dalam sistem
sosial
(King, 2007). Peran
supervisi dari kepala ruang adalah tingkah laku kepala ruangan yang di harapkan oleh perawat
pelaksaana dalam melaksanakan supervisi.
Menurut Kron (1987)
dalam Munawarah (2015), peran
supervisi adalah peran sebagai perencanaan, pengarahan, pelatihan,
pengamatan dan
penilai.
a.
Peran Supervisi Kepala
Ruang Sebagai
Perencanaan.
Sebagai kepala ruang dalam melaksanakan supervisi di tuntut
untuk mampu membuat perencanaan
sebelum melaksanakan supervisi. Dalam perencanaan,
seorang supervisor
merencanakan
pemberian
arahan untuk menjelaskan tugasnya
untuk siapa, kapan waktu, bagaimana, kenapa dan termasuk memberikan
instruksi. Perencanaan yang
dijalankan oleh kepala ruangan berkaitan dengan keselamatan pasien antara lain
merencanakan dan menetapkan tujuan, standar, prosedur, kebijakan maupun aturan
mengenai keselamatan pasien. Perencanaan ini sangat diperlukan karena menjadi acuan
bagi perawat dalam bekerja (Dewi, 2011).
b.
Peran
Supervisi Kepala
Ruang
Sebagai Pengarah
Seorang supervisor harus mampu
memberikan arahan yang baik saat supervisi. Semua pengarahan harus konsisten
dibagiannya dan membantu perawat pelaksana dalam menampilkan tugas dengan aman
dan efisien meliputi: pengarahan harus lengkap sesuai kebutuhannya, dapat
dimengerti, pengarahan menunjukkan indikasi yang penting, bicara pelan dan
jelas, pesannya masuk akal, hindari pengarahan dalam satu waktu, pastikan arahan
dapat dimengerti dan dapat ditindaklanjuti.
Pengarahan yang diberikan oleh kepala
ruangan secara baik akan memberikan dampak positif bagi kinerja perawat
pelaksana dalam menerapkan patient safety.
Pengarahan juga akan meningkatkan motivasi staf dalam memberikan asuhan
keperawatan yang menjamin keselamatan pasien. Bimbingan dan penghargaan yang
diberikan oleh kepala ruangan dapat berupa pujian bagi staf yang bekerja dengan
baik akan menimbulkan rasa penghargaan pada staf dan memotivasi untuk mempertahankan
perilaku baiknya (Dewi, 2011).
c.
Peran Supervisi Kepala Ruangan Sebagai
Pengorganisasi
Pengorganisasian adalah pengelompokan
aktifitas-aktifitas untuk tujuan mencapai objektif, penugasan suatu kelompok
manajer dengan autoritas pengawasan setiap kelompok, dan menentukan cara dari
pengorganisasian aktivitas yang tepat dengan unit lain, baik secara vertikal
maupun horizontal, yang bertanggung jawab untuk mencapai objektif organisasi
(Swansburg, 2000). Menurut Notoatmojo 2003 dalam Pratiwi 2015 fungsi pengorganisasian yang dijalankan oleh
kepala ruangan berkaitan dengan keselamatan pasien, antara lain menentukan staf
yang terlibat dalam keselamatan pasien, menentukan tugas dan tanggung jawab
yang jelas kepada staf dalam kegiatan tersebut.
d.
Peran
Supervisi Kepala
Ruangan Sebagai
Pengamat/pengawas
Sebagai kepala ruangan dalam melaksanakan supervisi harus dapat melaksanakan pengamatan dengan baik. Observasi
atau pengamatan penting dalam supervisi. Supervisi dapat menfasilitasi
informasi tentang pasien, lingkungan pasien, perawat pasien yang
memberikan asuhan
keperawatan
untuk pasien. Observasi atau pengamatan aplikasinya
untuk memperoleh informasi
dengan menggunakan seluruh indra
keenam, pengamatan di gunakan
secara terus menerus saat seorang melihat
, bekerja, bicara,
menulis dan membaca.
Menurut Gilies (1994)dalam
Munawarah (2015) pengamatan/pengawasan merupakan
salah satu perilaku peningkatan meliputi memeriksa pekerjaan staf, memperbaiki,
menyetujui pelaksanaan (dalam
hal ini pengimplementasian patient safety).
e.
Peran
Supervisi Kepala
Ruangan Sebagai
Penilai
Seorang kepala ruangan dalam melakukan
supervisi dapat memberikan penilaian yang baik. Penilaian akan berarti dan
dapat dikerjakan apabila tujuannya spesifik dan jelas, terdapat standar
penampilan kerja dan observasinya akurat. Dalam melaksanakan supervisi
penilaian hasil kerja perawat pelaksana saat melaksanakan asuhan keperawatan dengan
memperhatikan keselamatan pasien selama periode tertentu seperti selama masa
pengkajian. Hal ini dilaksanakan secara terus menerus selama supervisi
berlangsung dan tidak memerlukan tempat khusus.
Tempat evaluasi saat melakukan
supervisi berada di lingkungan perawatan pasien dan pelaksana supervisi harus
menguasai struktur organisasi, uraian tugas, standar hasil kerja, metode
penugasan dan dapat mengobservasi staf yang sedang bekerja. Penilaian membuat
perawat mengetahui tingkat kinerja mereka (Marquis & Huston, 2010).
6. Kegiatan
Supervisi
a.
Bimbingan
Menurut
Luddin dalam Pratiwi (2015) kegiatan supervisi dalam bimbingan meliputi :
1)
Sebagai
contoh kualitas yang direncanakan untuk memelihara, menyelenggarakan, dan
menentang perubahan.
2)
Mengadakan
perubahan, penataran dan mengadakan perubahan perilaku.
Manfaat supervisi dalam program
bimbingan adalah mengontrol kegiatan dari para personel bimbingan, yaitu
bagaimana pelaksanaan tugas dan tanggung jawab mereka masing-masing, mengontrol
adanya kemungkinan hambatan, mencari jalan keluar terhadap hambatan dan
permasalahan yang ditemui (Luddin, 2010).
b.
Pengarahan
Supervisor yang bertugas memberikan
pengarahan. Pengarahan yang efektif menurut George R. Terry dalam pratiwi
(2015) adalah :
1)
Buatlah
agar orang-orang dalam organisasi itu merasa penting dan berkepentingan;
2)
Kenalilah
perbedaan yang ada pada masing-masing individu;
3)
Jadilah
seorang pendengar yang baik;
4)
Hindarilah
perdebatan;
5)
Ketahuilah
sebaik-baiknya perasaan orang lain;
6)
Ikutsertakan
dalam proses manajemen;
7)
Gunakan
supervisi atau pengawasan yang efektif.
c.
Memotivasi
Menurut Mangkunegara (2007) dalam
Nursalam (2014) terdapat beberapa prinsip dalam memotivasi kerja pegawai,
yaitu:
1)
Prinsip
partisipatif
Pegawai
perlu diberikan kesempatan ikut berpartisipasi menentukan tujuan yang akan
dicapai oleh pemimpin dalam upaya memotivasi kerja.
2)
Prinsip
komunikasi
Pemimpin
mengomunikasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan usaha pencapaian tugas.
Informasi yang jelas akan membuat kerja pegawai lebih mudah dimotivasi.
3)
Prinsip
mengakui andil bawahan
Pemimpin
mengakui bahwa bawahan mempunya andil dalam usaha pencapaian tujuan. Dengan
pengakuan tersebut, pegawai akan lebih mudah dimotivasi.
4)
Prinsip
pendelegasian wewenang
Pemimpin
akan memberikan wewenang kepada pegawai bawahan untuk dapat mengambil keputusan
terhadap pekerjaan yang dilakukannya sewaktu-waktu. Hal ini akan membuat
pegawai yang bersangkutan menjadi termotivasi untuk mencapai tujuan yang
diharapkan pemimpin.
5)
Prinsip
memberi perhatian
Pemimpin
memberi perhatian terhadap apa yang diinginkan pegawai bawahannya, sehingga
bawahan akan termotivasi bekerja sesuai dengan harapan pemimpin.
7.
Kompetensi yang Dimiliki
Supervisor
Tidak
mudah menjadi seorang supervisor yang baik. Oleh karna itu, supervisor harus
memiliki sejumlah kompetensi yang sesuai (Kuntoro, 2010).
a. Memberikan
pengarahan dan petunjuk yang jelas, sehingga dapat dimengerti oleh staf dan
pelaksana keperawatan.
b. Memberikan
saran, nasehat dan bantuan yang benar-benar dibutuhkan oleh staf dan pelaksana
keperawatan.
c. Memberikan
motivasi untuk meningkatkan semangat kerja staf dan pelaksana keperawatan.
d. Memberikan
latihan dan bimbingan yang diperlukan oleh staf dan pelaksanan keperawatan.
e. Kemampuan dalam
melakukan penilaian secara objektif dan benar terhadap kinerja keperawatan.
8.
Tehnik Supervisi
Cara melakukan supervisi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung (Kuntoro, 2010).
a. Supervisi Secara Langsung
Supervisi dilakukan pada kegiatan yang sedang berlangsung. Pada
supervisi kontemporer, seorang supervisor dapat terlibat kegiatan secara
langsung agar proses pengarahan danpemberian petunjuk tidak dirasakan sebagai
suatu “perintah”. Pada kondisi ini, umpan balik dan perbaikan dapat sekaligus
dilakukan tanpa bawahan merasakan sebagai suatu beban. Proses supervisi
langsung, dapat dilakukan dengan cara perawat pelaksana melakukan secara
mandiri suatu tindakan keperawatan didampingi supervisor. Selama proses
supervisi, supervisor dapat memberikan dukungan, reinforcement dan petunjuk,
kemudian supervisor dan perawat pelaksana melakukan diskusi untuk menguatkan
yang telah sesuai dengan apa yang direncanakan dan memperbaiki segala
sesuatunya yang dianggap masih kurang.
b.
Supervisi Tidak Langsung
Supervisi dapat dilakukan secara tidak
langsung. Cara ini biasanya dilakukan melalui laporan baik tertulis maupun
lisan. Secara tertulis seperti laporan klien dan catatan asuhan keperawatan
pada setiap shift pagi, sore dan malam. Dapat juga dilakukan dengan menggunakan
laporan lisan seperti pada saat timbang terima shift, ronde keperawatan maupun
rapat dan jika memungkinkan memanggil secara khusus para ketua tim dan perawat
pelaksana. Cara tidak langsung ini memungkinkan terjadinya salah pengertian (misunderstanding) dan salah persepsi (misperception) karena supervisor tidak
melihat secara langsung kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Oleh karena itu,
klarifikasi dan umpan balik diberikan agar tidak terjadi salah pengertian dan
salah persepsi sehingga masalah segera dapat diselesaikan.
B.
Tinjauan Umun Tentang Kinerja Perawat
1.
Pengertian Kinerja Perawat
Kinerja atau performamnc menurut
Suprianto dan Ratna (2007) dalam Nursalam (2014) adalah efforts (upaya atau aktivitas) ditambah achievements (hasil kerja atau pencapaian hasil upaya). Selanjutnya
kinerja dirumuskan sebagai P = E + A.
Performance = Efforts +
Achievement
Kinerja juga diartikan sebagai gambaran pencapaian pelaksana (achievement) suatu program kegiatan
perencanaa strategis dan operasional organisasi (efforts) oleh seseorang atau kelompok orang dalam seatu organisasi
baik kuantitas maupun kualitas, sesuai dengan kewenangan dan tugas tanggung
jawabnya, legal dan tidak melanggar hukum, etika dan moral. Kinerja sendiri
merupakan penjabaran visi, misi, tujuan dan strategi organisasi (Nursalam,
2014).
Perawat adalah seseorang yang bertugas untuk memberikan pelayana
kesehatan berupa asuhan keperawatan sesuai standar praktik keperawatan
berdasarkan pendekatan bio-psiko-sosial-spiritual kepada klien dengan tujuan
untuk meningkatkan kesehatan klien. Sedangkan menurut Kuntoro, perawat adalah
advokasi pasien yang berpartisipasi melalui fungsi komunikasi dan koordinasi
segala tindakan keperawatan (Kuntoro, 2010)
Jadi peneliti menyimpulkan bahwa kinerja perawat adalah upaya yang
dilakukan oleh seorang perawat untuk mencapai hasil kerja yang maksimal dalam
memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas kepada klien. Sedangkan menurut
Soeprihanto (2009) dalam Ma’wah (2015) Kinerja perawat merupakan serangkaian
kegiatan perawat yang memiliki kompetensi yang dapat digunakan dan ditunjukan
dari hasil penerapan pengetahuan, keterampilan dan pertimbangan yang efektif
dalam memberikan pelayanan keperawatan (Soeprihanto, 2009)
2.
Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja
Menurut Gibson (1997) dalam Nursalam (2014), ada tiga faktor yang
berpengaruh terhadap kinerja, yaitu sebagai berikut:
1) Faktor individu: kemampuan,
keterampilan, latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan
demografi seseorang.
2) Faktor psikologis: persepsi, peran,
sikap, kepribadian, motivasi, dan kepuasan kerja.
3) Faktor organisasi: struktur organisasi,
desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem penghargaan (reward system).
3.
Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja pada umunya mencakup aspek kualitatif maupun
kuantitatif dari pelaksanaan pekerjaan. Penialaian kinerja berkenaan dengan
seberapa baik seseorang melakukan pekerjaan yang ditugaskan atau diberikan.
Program penilaian karyawan yang dianut oleh perusahaan, dapat menimbulkan
kepercayaan moral yang baik dari karyawan terhadap perusahaan. Adanya
kepercayaan di kalangan karyawan bahwa mereka akan menerima imbalan sesuai
dengan prestasi yang dicapainya, akan merupakan rangsangan bagi karyawan untuk
memperbaiki prestasinya. Selanjutnya jika karyawan diberitahu
kelemahan-kelemahannya, maka dengan bantuan pimpinan mereka berusaha untuk
memperbaiki diri masing-masing. Penilaian karyawan dapat menimbuulkan loyalitas
terhadap perusahaan bila pemimpin mengemangkan dan memajukan karyawannya
melalui pemberian sarana pendidikan khusus bagi karyawan yang memerlukannya
(Nursalam, 2014).
4.
Dimensi Kinerja
Yang dimaksud dimensi kinerja menurut Gomes (1997) dalam Nursalam
(2014), adalah memperluas dimensi prestasi kerja kariawan yang berdasarkan:
1) Quantity
of work; jumlah
kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang ditentukan.
2) Quality
of work; kualitas
kerja berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapannya.
3) Job
knowledge; luasnya
pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilannya.
4) Cretivenes; keaslian gagasa-gagasan yang
dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang
timbul.
5) Cooperation; kesetiaan untuk bekerja sama dengan
orang lain.
6) Dependability; kesadaran dan kepercayaan dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja.
7) Inititive; semangat untuk melaksanakan
tugas-tugas baru dan dalam memperbesar tanggung jawabnya
8) Personal
qualities;
menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramah-tamahan dan integritas pribadi.
C. Tinjauan
Umum Tentang Keselamatan Pasien (Patient Safety)
1.
Keselamatan Pasien (patient safety)
1) Pengertian
Keselamatan Pasien (Patient Safety)
Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil (Depkes RI, 2011).
Insiden keselamatan pasien yang
selanjutnya disebut insiden adalah setiap kejadian yang tidak disengaja dan
kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat
dicegah pada pasien, terdiri dari Kejadian Tidak Diharapkan, Kejadian Nyaris
Cedera, Kejadian Tidak Cedera dan Kejadian Potensial Cedera.
Kejadian Tidak Diharapkan, selanjutnya
disingkat KTD adalah insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien. Sedangkan
Kejadian Nyaris Cedera, selanjutnya disingkat KNC adalah terjadinya insiden
yang belum sampai terpapar ke pasien (Depkes RI 2006).
Menyadari akan besarnya potensi kesalahan yang dapat muncul
diperlukan sistem manajemen dan supervisor yang baik dalam sebuah rumah sakit.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Depkes RI (2006) yang menyatakan bahwa
program keselamatan pasien dapat berjalan dengan baik apabila pemimpin
mempunyai visi, misi dan kebijakan yang jelas mengenai keselamatan pasien. Selain itu perawat juga mempunyai
peran yang cukup andil terhadap keselamatan pasien. Sejalan dengan pemikiran
Syaefullah (2013) yang menyatakan bahwa Keselamatan pasien dalam pelayanan di
RSUD Kapuas tidak terlepas dari kegiatan pelayanan yang diberikan oleh tenaga
kesehatan baik medis, perawat dan tenaga penunjang medis lainnya. Dimana dalam
hal ini perawat secara terus-menerus harus mempromosikan asuhan keperawatan
yang aman sebagai satu-satunya kunci
keberhasilan terciptanya patient safety.
Keselamatan pasien (patient safety) adalah
suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem
tersebut meliputi : assessmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan
belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk
meminimalkan timbulnya risiko. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan (Depkes RI 2006).
2. Tujuan Keselamatan
Pasien (Patient Safety)
Tujuan
keselamatan pasien di rumah sakit adalah mencegah terjadinya cedera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang harusnya diambil (Depkes RI, 2006).
Adapun tujuan keselamatan pasien (patient safety) yang dijelaskan secara
terperinci, yaitu sebagai berikut:
a.
Terciptanya
budaya keselamatan pasien di rumah sakit
b.
Meningkatnya
akutanbilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat
c.
Menurunnya
kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit.
d.
Terlaksananya
program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak
diharapkan.
3. Standar
Keselamatan Pasien (Patient Safety)
Standar Keselamatan Pasien (Patient Safety) yaitu, meliputi:
a.
Hak
pasien
Hak adalah kekuasaan yang dimiliki
seseorang atau suatu badan hukum untuk mendapatkan atau memutuskan sesuatu.
Pasien adalah penerima jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit baik dalam
keadaan sehat maupun sakit (Widyastuti 2014). Jadi hak pasien adalah kekuasaan
sesorang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang adil dan jujur sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan.
Standar
dan kriteria hak pasien menurut Depkes RI (2006) adalah sebagai berikut:
Standar :
Pasien dan keluarganya mempunyai hak
untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk
kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan (Depkes RI 2006).
Kriterianya:
1)
Harus
ada dokter penanggung jawab pelayanan.
2)
Dokter
penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan
3)
Dokter
penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara jelas dan benar
kepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan
atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak
Diharapkan.
b.
Mendidik
pasien dan keluarga
Pendidikan pasien dan keluarga adalah
pengetahuan yang diperlukan oleh pasien dan keluarga selama proses asuhan
maupun pengetahuan yang dibutuhkan setelah pasien dipulangkan ke pelayanan
kesehatan atau rumah. Pendidikan pasien dapat mencakup informasi sumber-sumber
di komunitas untuk tamabahan pelayanan dan tindak lanjut pelayanan apabila
diperlukan, serta bagaimana akses ke pelayanan emergensi bila dibutuhkan
(Widyastuti 2014).
Menurut Depkes RI (2006) standar dan
kriteria dalam memberikan pendidikan kepada pasien dan keluarga adalah:
Standar :
Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan
tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien
Kriteria :
Keselamatan dalam pemberian pelayanan
dapat ditingkatkan dengan keterlibatan pasien yang merupakan partner dalam
proses pelayanan. Karena itu, di rumah sakit harus ada sistem dan mekanisme
mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien
dalam asuhan pasien.
Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga
dapat :
1) Memberikan
informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur.
2) Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab
pasien dan keluarga.
3) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk
hal yang tidak dimengerti.
4) Memahami dan menerima konsekuensi
pelayanan.
5) Mematuhi instruksi dan menghormati
peraturan rumah sakit.
6) Memperlihatkan sikap menghormati dan
tenggang rasa.
7)
Memenuhi
kewajiban finansial yang disepakati.
c.
Keselamatan
pasien (patient safety) dalam
kesinambungan pelayanan
Kesinambungan pelayanan harus diberikan
pada pasien. Pertolongan yang diberikan harus bersifat terus-menerus.
Standar
dan kriteria keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan menurut Depkes RI (2006) adalah:
Standar :
Rumah Sakit menjamin kesinambungan
pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.
Kriteria :
1)
Terdapat
koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien masuk,
pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan dan
saat pasien keluar dari rumah sakit.
2)
Terdapat
koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan kelayakan
sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan
transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar.
3)
Terdapat
koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk memfasilitasi dukungan
keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan
kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya.
4)
Terdapat
komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat
tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif.
d.
Penggunaan
metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan
keselamatan pasien.
Metode-metode yang dilakukan adalah:
1)
Metode
CARL (Capability, Accesibility, Readness,
Leverage)
Maksud
dari metode CARL adalah Capability berarti
ketersediaan Sumber Daya (dana dan sarana/peralatan), Accesibility berarti dapat didasarkan pada ketersediaan
metode/cara/tekhnologi serta penunjang pelaksana seperti peraturan, Readness berarti kesiapan dari tenaga
pelaksana maupun kesiapan sasaran seperti keahlian/kemampuan dan motivasi, dan leverage berarti seberapa besar pengaruh
kriteria yang satu dengan yang lain dalam pemecahan yang dibahas.
2)
Metode
feedback/timbal balik
Merupakan kemitraan yang unik antara
perawat dan pasien dalam melatih kemampuan pasien untuk meningkatkan pemahaman
dan mengembangkan pemikiran proses yang diperlukan untuk menjadi pemecah
masalah yang dihadapi pasien (Silver, Hanson, Kuat, & SCHwartz, 2003,
p.200). Tujuan dari metode timbal balik adalah untuk memfasilitasi upaya
perawat kepada pasien. Metode ini didasarkan pada kolaborasi antara perawat dan
pasien dalam proses belajar secara mandiri.
3)
Metode
follow up/tindak lanjut
Tindak lanjut adalah kegiatan yang dilakukan perawat setelah
melakukan tes formatif dan mendapatkan umpan balik. Perawat yang telah mencapai
hasil baik dalam tes formatif dapat meneruskan ke bagian pelajaran selanjutnya
atau mempelajari bahan tambahan untuk memperdalam pengetahuan yang telah
dipelajarinya. Perawat yang mendapatkan hasil kurang dalam tes formatif harus
mengulang isi pelajaran tersebut dengan menggunakan bahan instruksional yang
sama atau berbeda.
Standar dan kriteria keselamatan pasien dalam Penggunaan
metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan
keselamatan pasien menurut Depkes RI (2006) adalah:
Standar :
Rumah sakit harus mendesign proses baru
atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui
pengumpulan data, menganalisis secara intensif Kejadian Tidak Diharapkan, dan
melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.
Kriteria
:
a)
Setiap
rumah sakit harus melakukan proses perancangan (design) yang baik, mengacu pada
visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas pelayanan
kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor
lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan ”Tujuh Langkah Menuju
Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.
b)
Setiap
rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja yang antara lain terkait
dengan : pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu
pelayanan, keuangan.
c)
Setiap
rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua Kejadian
Tidak Diharapkan, dan secara proaktif melakukan evaluasi satu proses kasus
risiko tinggi.
d)
Setiap
rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk
menentukan perubahan sistem yang diperlukan, agar kinerja dan keselamatan
pasien terjamin.
e.
Peran
kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan
pasien.
Peran manajer memiliki tanggung jawab untuk membenatu kualitas perawat
dan menghadapi masalah bawahannya/perawat pelaksana.
Standar dan kriteria keselamatan pasien
dalam Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien menurut Depkes
RI (2006) adalah:
Standar :
1)
Pimpinan
mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien secara
terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju
Keselamatan Pasien Rumah Sakit ”.
2)
Pimpinan
menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan
pasien dan program menekan atau mengurangi Kejadian Tidak Diharapkan.
3)
Pimpinan
mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan individu
berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien.
4)
Pimpinan
mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan
meningkatkan kinerja rumah sakit serta meningkatkan keselamatan pasien.
5)
Pimpinan
mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja
rumah sakit dan keselamatan pasien.
Kriteria
:
1)
Terdapat
tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.
2)
Tersedia
program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program meminimalkan
insiden, yang mencakup jenis-jenis Kejadian yang memerlukan perhatian, mulai
dari “Kejadian Nyaris Cedera” (Near miss) sampai dengan “Kejadian Tidak
Diharapkan’ ( Adverse event).
3)
Tersedia
mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah sakit
terintegrasi dan berpartisipasi dalam program keselamatan pasien.
4)
Tersedia
prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada pasien yang
terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian informasi
yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.
5)
Tersedia
mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden termasuk
penyediaan informasi yang benar dan jelas tentang Analisis Akar Masalah (RCA)
“Kejadian Nyaris Cedera” (Near miss) dan “Kejadian Sentinel’ pada saat program
keselamatan pasien mulai dilaksanakan.
6)
Tersedia
mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden, misalnya menangani “Kejadian
Sentinel” (Sentinel Event) atau kegiatan proaktif untuk memperkecil risiko,
termasuk mekanisme untuk mendukung staf dalam kaitan dengan “Kejadian
Sentinel”.
7)
Terdapat
kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan antar
pengelola pelayanan di dalam rumah sakit dengan pendekatan antar disiplin.
8)
Tersedia
sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan perbaikan
kinerja rumah sakit dan perbaikan keselamatan pasien, termasuk evaluasi berkala
terhadap kecukupan sumber daya tersebut.
9)
Tersedia
sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria objektif untuk
mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien,
termasuk rencana tindak lanjut dan implementasinya.
f.
Mendidik
staf tentang keselamatan pasien
Mendidik staf tentang keselamatan pasien merupakan aspek yang sangat penting
dalam kelangsungan rumah sakit dalam memberikan pelayanan yang berkualitas
terhadap pasien. Jika sebuah rumah sakit kurang memperhatikan satu aspek ini,
maka besar kemungkinan pada buruknya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
staf rumah sakit. Sudah banyak kasus tentang kurangnya pendidikan staf akan
keselamatan pasien, misalnya pada rumah sakit swasta di Maluku pasien meninggal
karena perawat yang merawat pasien tertidur. Contoh tersebut mengindikasikan
bahwa kurangnya sikap professional kerja yang dimiliki staf rumah sakit.
Sehingga pendidikan staf tentang keselamatan pasien sangat penting dilakukan
untuk memberikan pelayanan terbaik kepada pasien (Widyastuti 2014).
Standar dan kriteria mendidik staf tentang keselamatan pasien menurut Depkes
RI (2006) adalah:
Standar
:
1)
Rumah
sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap jabatan
mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas.
2)
Rumah
sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk
meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan
interdisiplin dalam pelayanan pasien.
Kriteria
:
1)
Setiap
rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan orientasi bagi
staf baru yang memuat topik keselamatan pasien sesuai dengan tugasnya
masing-masing.
2)
Setiap
rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap
kegiatan inservice training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan
insiden.
3)
Setiap
rumah sakit harus menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok
(teamwork) guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka
melayani pasien.
g.
Komunikasi
Merupakan Kunci Bagi Staf Untuk Mencapai Keselamatan Pasien.
Komunikasi merupakan proses yang khusus
dan berarti dalam hubungan antar manusia. Menurut Luxiographer (dalam
Widyastuty, 2014), komunikasi adalah upaya yang bertujuan untuk berbagi untuk
mencapai kebersamaan. Jika dua orang berkomunikasi maka pemahaman yang sama
terhadap pesan yang saling dipertukarkan adalah tujuan yang diinginkan oleh
keduanya.
Pada profesi keperawatan, komunikasi
menjadi lebih bermakna karena merupakan metode utama dalam mengimplementasikan
proses keperawatan. Perawat yang mempunyai keterampilan berkomunikasi yang baik
akan mudah menjalin hubungan saling percaya dengan klien (Widyastuti 2014).
Standar dan kriteria komunikasi sebagai
kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien menurut Depkes RI (2006)
adalah:
Standar :
1)
Rumah
sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi keselamatan pasien
untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal.
2)
Transmisi
data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.
Kriteria :
1)
Perlu
disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk
memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan keselamatan
pasien.
2)
Tersedia
mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi manajemen
informasi yang ada.
4.
Tujuh Prinsip Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit
Proses perancangan tersebut harus
mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas
pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan
faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan ” Tujuh
Prinsip Keselamatan Pasien Rumah Sakit”
Adapun
tujuh prinsip tersebut menurut Depkes RI (2006) yaitu sebagai berikut :
a.
Bangun
Kesadaran Akan Nilai Keselamatan Pasien
Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang
terbuka dan adil.
Langkah penerapan:
1)
Bagi Rumah Sakit :
a)
Pastikan
rumah sakit memiliki kebijakan yang mejabarkan apa yang harus dilakukan staf
segera setelah terjadi insiden, bagaimana langkah-langkah pengumpulan fakta
harus dilakukan dan dukungan apa yang harus diberikan kepada staf, pasien dan keluarga.
b)
Pastikan
rumah sakit memiliki kebijakan yang menjabarkan peran dan akuntabilitas
individual bilamana ada insiden.
c)
Tumbuhkan
budaya pelaporan dan belajar dari insiden yang terjadi di rumah sakit.
d)
Lakukan
asesmen dengan menggunakan survei penilaian keselamatan pasien.
2)
Bagi Unit/Tim :
a)
Pastikan
rekan sekerja anda merasa mampu untuk berbicara mengenai kepedulian mereka dan
berani melaporkan bilamana ada insiden.
b)
Demonstrasikan
kepada tim anda ukuran-ukuran yang dipakai di rumah sakit anda untuk memastikan
semua laporan dibuat secara terbuka dan terjadi proses pembelajaran serta
pelaksanaan tindakan/solusi yang tepat.
b. Pimpin Dan
Dukung Staf
Bangunlah komitmen dan fokus yang kuat
dan jelas tentang Keselamatan Pasien di rumah sakit anda.
Langkah penerapan:
1)
Untuk Rumah Sakit :
a)
Pastikan
ada anggota Direksi atau Pimpinan yang bertanggung jawab atas Keselamatan
Pasien.
b)
Identifikasi
di tiap bagian rumah sakit, orang-orang yang dapat diandalkan untuk menjadi
”penggerak” dalam gerakan Keselamatan Pasien.
c)
Prioritaskan
Keselamatan Pasien dalam agenda rapat Direksi/Pimpinan maupun rapat-rapat
manajemen rumah sakit
d)
Masukkan
Keselamatan Pasien dalam semua program latihan staf rumah sakit anda dan
pastikan pelatihan ini diikuti dan diukur efektivitasnya.
2)
Untuk Unit/Tim :
a)
Nominasikan
”penggerak” dalam tim anda sendiri untuk memimpin Gerakan Keselamatan Pasien
b)
Jelaskan
kepada tim anda relevansi dan pentingnya serta manfaat bagi mereka dengan
menjalankan gerakan Keselamatan Pasien.
c)
Tumbuhkan
sikap kesatria yang menghargai pelaporan insiden.
c. Integrasikan
Aktivitas Pengelolaan Risiko
Kembangkan sistem dan proses
pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi dan asesmen hal yang potensial
bermasalah.
Langkah
penerapan:
1)
Untuk Rumah Sakit :
a)
Telaah
kembali struktur dan proses yang ada dalam manajemen risiko klinis dan non
klinis, serta pastikan hal tersebut mencakup dan terintegrasi dengan
Keselamatan Pasien dan Staf.
b)
Kembangkan
indikator-indikator kinerja bagi sistem pengelolaan risiko yang dapat dimonitor
oleh Direksi/Pimpinan rumah sakit.
c)
Gunakan
informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari sistem pelaporan insiden dan
asesmen risiko untuk dapat secara proaktif meningkatkan kepedulian terhadap
pasien.
2)
Untuk Unit/Tim :
a)
Bentuk
forum-forum dalam rumah sakit untuk mendiskusikan isu-isu Keselamatan Pasien
guna memberikan umpan balik kepada manajemen yang terkait.
b)
Pastikan
ada penilaian risiko pada individu pasien dalam proses asesmen risiko rumah
sakit.
c)
Lakukan
proses asesmen risiko secara teratur, untuk menentukan akseptabilitas setiap
risiko, dan ambillah langkah-langkah yang tepat untuk memperkecil risiko
tersebut.
d)
Pastikan
penilaian risiko tersebut disampaikan sebagai masukan ke proses asesmen dan
pencatatan risiko rumah sakit.
d. Kembangkan
Sistem Pelaporan
Pastikan staf agar dengan mudah
dapat melaporkan kejadian/ insiden, serta rumah sakit mengatur pelaporan kepada
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS).
Langkah
penerapan :
1)
Untuk Rumah Sakit :
a)
Lengkapi
rencana implementasi sistem pelaporan insiden ke dalam maupun ke luar, yang
harus dilaporkan ke KPPRS - PERSI.
2)
Untuk Unit/Tim :
a)
Berikan
semangat kepada rekan sekerja anda untuk secara aktif melaporkan setiap insiden
yang terjadi dan insiden yang telah dicegah tetapi tetap terjadi juga, karena
mengandung bahan pelajaran yang penting.
e. Libatkan Dan
Berkomunikasi Dengan Pasien
Kembangkan cara-cara komunikasi yang
terbuka dengan pasien.
Langkah
penerapan :
1)
Untuk Rumah Sakit :
a)
Pastikan
rumah sakit memiliki kebijakan yang secara jelas menjabarkan cara-cara
komunikasi terbuka tentang insiden dengan para pasien dan keluarganya.
b)
Pastikan
pasien dan keluarga mereka mendapat informasi yang benar dan jelas bilamana
terjadi insiden Berikan dukungan, pelatihan dan dorongan semangat kepada staf
agar selalu terbuka kepada pasien dan keluarganya.
2)
Untuk Unit/Tim :
a)
Pastikan
tim anda menghargai dan mendukung keterlibatan pasien dan keluarganya bila
telah terjadi insiden.
b)
Prioritaskan
pemberitahuan kepada pasien dan keluarga bilamana terjadi insiden, dan segera
berikan kepada mereka informasi yang jelas dan benar secara tepat.
c)
Pastikan,
segera setelah kejadian, tim menunjukkan empati kepada pasien dan keluarganya.
f. Belajar Dan
Berbagi Pengalaman Tentang Keselamatan Pasien
Dorong staf untuk melakukan analisis akar masalah untuk
belajar bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul.
Langkah
penerapan:
1)
Untuk Rumah Sakit :
a)
Pastikan
staf yang terkait telah terlatih untuk melakukan kajian insiden secara tepat,
yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyebab
b)
Kembangkan
kebijakan yang menjabarkan dengan jelas kriteria pelaksanaan Analisis Akar
Masalah (Root Cause Analysis/RCA) atau Failure Modes and Effects Analysis
(FMEA) atau metoda analisis lain, yang harus mencakup semua insiden yang telah
terjadi dan minimum satu kali per tahun untuk proses risiko tinggi.
2)
Untuk Unit/Tim :
a)
Diskusikan
dalam tim anda pengalaman dari hasil analisis insiden
b)
Identifikasi
unit atau bagian lain yang mungkin terkena dampak di masa depan dan bagilah
pengalaman tersebut secara lebih luas.
g. Cegah Cedera
Melalui Implementasi Sistem Keselamatan Pasien
Gunakan informasi yang ada tentang
kejadian / masalah untuk melakukan perubahan pada sistem pelayanan.
Langkah
penerapan:
1)
Untuk Rumah Sakit :
a)
Gunakan
informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari sistem pelaporan, asesmen
risiko, kajian insiden, dan audit serta analisis, untuk menentukan solusi
setempat.
b)
Solusi
tersebut dapat mencakup penjabaran ulang sistem (struktur dan proses),
penyesuaian pelatihan staf dan/atau kegiatan klinis, termasuk penggunaan
instrumen yang menjamin keselamatan pasien.
c)
Lakukan
asesmen risiko untuk setiap perubahan yang direncanakan
d)
Sosialisasikan
solusi yang dikembangkan oleh KKPRS – PERSI
e)
Beri
umpan balik kepada staf tentang setiap tindakan yang diambil atas insiden yang
dilaporkan
2)
Untuk Unit/Tim :
a)
Libatkan
tim anda dalam mengembangkan berbagai cara untuk membuat asuhan pasien menjadi
lebih baik dan lebih aman.
b)
Telaah
kembali perubahan-perubahan yang dibuat tim anda dan pastikan pelaksanaannya.
c)
Pastikan
tim anda menerima umpan balik atas setiap tindak lanjut tentang insiden yang
dilaporkan.
Tujuh langkah
keselamatan pasien rumah sakit merupakan panduan yang komprehensif untuk menuju
keselamatan pasien, sehingga tujuh langkah tersebut secara menyeluruh harus
dilaksanakan oleh setiap rumah sakit.
Dalam pelaksanaan, tujuh langkah
tersebut tidak harus berurutan dan tidak harus serentak. Pilih langkahlangkah
yang paling strategis dan paling mudah dilaksanakan di rumah sakit. Bila
langkah-langkah ini berhasil maka kembangkan langkah-langkah yang belum
dilaksanakan. Bila tujuh langkah ini telah dilaksanakan dengan baik rumah sakit
dapat menambah penggunaan metodametoda lainnya (Depkes RI 2006).
5.
Sasaran
Keselamatan Pasien (Patient Safety)
Dalam Panduan
Keselamatan Pasien (Patient Safety) oleh Depkes RI (2011) dijelaskan tentang
sasaran keselamatan pasien. Pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi,
sedapat mungkin sasaran secara umum difokuskan pada solusi-solusi yang menyeluruh.
Enam
sasaran keselamatan pasien adalah tercapainya hal-hal sebagai berikut :
a.
Ketepatan
identifikasi pasien;
Standar SKP I:
Rumah
sakit mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki/meningkatkan ketelitian
identifikasi pasien.
Maksud dan Tujuan Sasaran I :
Kesalahan
karena keliru dalam mengidentifikasi pasien dapat terjadi di hampir semua
aspek/tahapan diagnosis dan pengobatan. Kesalahan identifikasi pasien bisa
terjadi pada pasien yang dalam keadaan terbius/tersedasi, mengalami
disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur/kamar/ lokasi di rumah sakit,
adanya kelainan sensori, atau akibat situasi lain. Maksud sasaran ini adalah
untuk melakukan dua kali pengecekan yaitu: pertama, untuk identifikasi pasien
sebagai individu yang akan menerima pelayanan atau pengobatan; dan kedua, untuk
kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut.
Kebijakan dan/atau prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk
memperbaiki proses identifikasi, khususnya pada proses untuk mengidentifikasi
pasien ketika pemberian obat, darah, atau produk darah; pengambilan darah dan
spesimen lain untuk pemeriksaan klinis; atau pemberian pengobatan atau tindakan
lain. Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara untuk
mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, nomor rekam medis,
tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan bar-code, dan lain-lain.
Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi.
Kebijakan dan/atau prosedur juga menjelaskan penggunaan dua identitas berbeda
di lokasi yang berbeda di rumah sakit, seperti di pelayanan rawat jalan, unit
gawat darurat, atau ruang operasi termasuk identifikasi pada pasien koma tanpa
identitas. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan kebijakan dan/atau
prosedur agar dapat memastikan semua kemungkinan situasi untuk dapat
diidentifikasi.
Elemen
Penilaian Sasaran I, adalah :
1)
Pasien
diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh menggunakan nomor
kamar atau lokasi pasien.
2)
Pasien
diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah.Pasien
diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan
klinis.
3)
Pasien
diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan/prosedur.
4)
Kebijakan
dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten pada semua
situasi dan lokasi.
b.
Peningkatan
komunikasi yang efektif
Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.
Standarnya adalah :
1)
Rumah
sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi keselamatan pasien
untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal.
2)
Transmisi
data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.
Kriterianya
adalah :
1)
Disediakan
anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk memperoleh
data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan keselamatan pasien.
2)
Tersedia
mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi manajemen
informasi yang ada
c. Peningkatan keamanan obat yang perlu
diwaspadai (High-Alert)
Standar SKP III:
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki keamanan
obat-obat yang perlu diwaspadai (high-alert).
Maksud dan Tujuan Sasaran III
Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien,
manajemen harus berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien.
Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-alert medications) adalah obat
yang sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event),
obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse
outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip
(Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Soun Alike/LASA). Obat-obatan
yang sering disebutkan dalam isu keselamatan pasien adalah pemberian elektrolit
konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2meq/ml atau yang
lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0.9%, dan
magnesium sulfat =50% atau lebih pekat). Kesalahan ini bisa terjadi bila
perawat tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit pelayanan pasien, atau
bila perawat kontrak tidak diorientasikan terlebih dahulu sebelum ditugaskan,
atau pada keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau
mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan meningkatkan proses pengelolaan
obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari
unit pelayanan pasien ke farmasi.
Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau
prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data
yang ada di rumah sakit. Kebijakan dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area
mana saja yang membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti di IGD atau kamar
operasi, serta pemberian label secara benar pada elektrolit dan bagaimana
penyimpanannya di area tersebut, sehingg membatasi akses, untuk mencegah
pemberian yang tidak sengaja/kurang hati-hati.
Elemen Penilaian Sasaran III:
1)
Kebijakan
dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi, menetapkan
lokasi, pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat.
2)
Implementasi
kebijakan dan prosedur.
3)
Elektrolit
konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika dibutuhkan secara
klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang kurang hati-hati di
area tersebut sesuai kebijakan.
4)
Elektrolit
konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien harus diberi label yang
jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted).
d.
Kepastian
Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepatpasien Operasi
Standar SKP IV:
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memastikan tepatlokasi,
tepat-prosedur, dan tepat- pasien.
Maksud dan Tujuan Sasaran IV:
Salah lokasi, salah-prosedur, pasien-salah pada operasi, adalah sesuatu
yang mengkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini
adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau yang tidak adekuat antara
anggota tim bedah, kurang/tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site
marking), dan tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi. Di
samping itu, asesmen pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis
tidak adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim
bedah, permasalahan yang berhubungan dengan tulisan tangan yang tidak terbaca (illegible
handwritting) dan pemakaian singkatan adalah faktor-faktor kontribusi yang
sering terjadi.
Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan
dan/atau prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang
mengkhawatirkan ini. Digunakan juga praktek berbasis bukti, seperti yang
digambarkan di Surgical Safety Checklist dari WHO Patient Safety (2009),
juga di The Joint Commission’s Universal Protocol for Preventing Wrong Site,
Wrong Procedure, Wrong Person Surgery. Penandaan lokasi operasi perlu
melibatkan pasien dan dilakukan atas satu pada tanda yang dapat dikenali. Tanda
itu harus digunakan secara konsisten di rumah sakit dan harus dibuat oleh
operator/orang yang akan melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga
dan sadar jika memungkinkan, dan harus terlihat sampai saat akan disayat.
Penandaan lokasi operasi dilakukan pada semua kasus termasuk sisi (laterality),
multipel struktur (jari tangan, jari kaki, lesi) atau multipel level
(tulang belakang).
Maksud
proses verifikasi praoperatif adalah untuk:
1)
Memverifikasi
lokasi, prosedur, dan pasien yang benar;
2)
Memastikan
bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan yang relevan
tersedia, diberi label dengan baik, dan dipampang; dan
3)
Melakukan
verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan/atau implant2 yang dibutuhkan.
Tahap “Sebelum
insisi” (Time out) memungkinkan semua pertanyaan atau kekeliruan
diselesaikan. Time out dilakukan di tempat, dimana tindakan akan dilakukan,
tepat sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit
menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan secara ringkas, misalnya
menggunakan checklist.
Elemen Penilaian Sasaran IV:
1)
Rumah
sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk identifikasi
lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses penandaan.
2)
Rumah
sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk memverifikasi
saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien dan semua
dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional.
3)
Tim
operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum insisi/time-out”
tepat sebelum dimulainya suatu prosedur/tindakan pembedahan.
4)
Kebijakan
dan prosedur dikembangkan untuk mendukung proses yang
seragam untuk memastikan tepat lokasi,
tepat prosedur, dan tepat pasien, termasuk prosedur medis dan dental yang
dilaksanakan di luar kamar operasi.
e.
Pengurangan
Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
Standar SKP V:
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko
infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
Maksud dan Tujuan Sasaran V:
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan
pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi pasien
maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai dalam
semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pada
aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali
dihubungkan dengan ventilasi mekanis). Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun
infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat.
Pedoman hand hygiene bisa dibaca kepustakaan WHO, dan berbagai
organisasi nasional dan internasional. Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif
untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur yang menyesuaikan atau
mengadopsi petunjuk hand hygiene yang diterima secara umum dan untuk
implementasi petunjuk itu di rumah sakit.
Elemen Penilaian Sasaran V:
1)
Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi
pedoman hand hygiene terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara
umum (al.dari WHO Patient Safety).
2)
Rumah
sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif.
3)
Kebijakan
dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan secara
berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
f.
Pengurangan
Risiko Pasien Jatuh
Standar SKP VI:
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko pasien
dari cedera karena jatuh.
Maksud dan Tujuan Sasaran VI :
Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera bagi pasien rawat
inap. Dalam konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang
disediakan, dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien
jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh.
Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi
alkohol, gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan
oleh pasien. Program tersebut harus diterapkan rumah sakit.
Elemen
Penilaian Sasaran VI:
1)
Rumah
sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap risiko jatuh dan
melakukan asesmen ulang pasien bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi
atau pengobatan, dan lain-lain.
2)
Langkah-langkah
diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang pada hasil asesmen
dianggap berisiko jatuh.
3)
Langkah-langkah
dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera akibat jatuh dan
dampak dari kejadian tidak diharapkan.
BAB III
KERANGKA KONSEP
KERANGKA KONSEP
A. Dasar
Pemikiran Variabel yang Diteliti
Supervisi kepala ruangan adalah segala tindakan yang
dilakukan oleh kepala ruangan selaku tenaga perawat profesional yang
bertanggung jawab dan berwewenang dalam mengelola kegiatan pelayanan
keperawatan di suatu ruangan dengan melaksanakan perannya sebagai perencanaan, pengarahan, pengawas dan penilai.
Adapun kegiatan yang dilakukan berupa bimbingan,
pengarahan dan memotivasi dan evaluai kinerja secara berkesinambungan anggota secara
menyeluruh sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki anggota.
Kinerja perawat adalah upaya yang dilakukan oleh seorang
perawat untuk mencapai hasil kerja yang maksimal dalam memberikan asuhan
keperawatan yang berkualitas kepada klien.
Implementasi patient safety merupakan pelaksanaan
sistem dimana rumah sakit membuat asuhan keperawatan untuk pasien lebih aman
untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Jadi kinerja perawat dalam
mengimplementasikan patient safety
adalah suatu upaya perawat untuk melaksanakan atau memberikan asuhan
keperawatan yang aman dan sesuai dengan standar praktik keperawatan kepada
klien.
Penjelasan kerangka
konseptual :
Pada penelitian ini terdapat dua
variabel yaitu variabel independen (variabel bebas) dan variabel dependen
(variabel terikat).
1.
Variabel bebas (variabel independent)
Merupakan variabel yang mempengaruhi
atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen/variabel
terikat (Sugiyono, 2014). Variabel bebas biasanya dimanipulasi,
diamati, dan diukur untuk diketahui hubungannya atau pengaruhnya terhadap
variabel lain. Dalam ilmu keperawatan, variabel bebas biasanya merupakan
stimulus atau intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien untuk
mempengaruhi tingkah laku klien (Nursalam, 2013). Pada penelitian ini variabel
independennya adalah supervisi kepala ruangan.
2.
Variabel terikat (variabel dependen)
Merupakan variabel yang dipengaruhi
atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2014). Dalam ilmu perilaku, variabel terikat
adalah aspek tingkah laku yang diamati dari suatu organism yang dikenai
stimulus. Dengan kata lain. Variabel terikat adalah faktor yang diamati dan
diukur untuk menentukan ada tidaknya hubungan atau pengaruh dari variabel bebas
(Nursalam, 2013). Pada penelitian ini variabel dependennya adalah kinerja perawat dalam pengimplementasian
patient safety.
A. Definisi
Operasional
Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional
berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan
observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena (Nursalam, 2013).
1.
Defenisi
operasional variabel indepen yaitu:
Supervisi kepala ruangan dalam
penelitian ini adalah persepsi perawat pelaksana terhadap pemberian bantuan,
penjelasan, dukungan, dan penilaian kerja oleh kepala ruangan kepada perawat
pelaksana dalam mengimplementasikan patient
safety.
Kriteria objektif :
Baik :
jika jawaban responden mendapatkan skor >
80
Kurang Baik : jika jawaban responden mendapatkan skor < 80
2.
Defenisi
operasional variabel dependen yaitu :
Kinerja perawat dalam pengimplementasian patient safety yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hasil
kerja perawat dalam mengimplementasikan patient
safety dengan memperhatikan standar, target, sasaran atau kriteria
keselamatan pasien.
Kriteria objektif :
Baik :
jika jawaban responden mendapatkan skor >
27
Kurang Baik : jika jawaban responden mendapatkan skor < 27
B. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara
terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah
dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban
yan diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada
fakta-fakta emperis yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis
juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah
penelitian, belum jawaban yang emperik (Sugiyono, 2014). Perumusan hipotesis
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Hipotesis (Ha)
Ada hubungan antara supervisi kepala
ruangan dengan kinerja perawat dalam pengimplementasian patient safety.
2.
Hipotesis
(Ho)
Tidak ada hubungan antara supervisi
kepala ruangan dengan kinerja perawat dalam pengimplementasian patient safety.
|
METODE PENELITIAN
A. Jenis
Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan menggunakan
pendekatan Cross Sectional.
Pendekatan cross sectional adalah
jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran/observasi data variabel
independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat (Nursalam, 2013).
Dalam penelitian ini variabel independen dan variabel dependen
di kumpulkan dalam waktu bersamaan untuk mengetahui hubungan supervisi kepala ruangan dengan kinerja
perawat dalam pengimplementasian Patient
Safety di ruang perawatan interna RSUD Labuang
Baji Makassar tahun 2016.
B.
Tempat dan Waktu Penelitian
1.
Tempat
Penelitian
Penelitian
ini akan dilakukan di ruang perawatan interna
RSUD Labuang Baji Makassar.
2.
Waktu
Penelitian
ini akan dilaksanakan pada Bulan Mei - Juni 2016.
C.
Populasi dan Sampel
Dalam penelitian ini populasi dan sample yang digunakan peneliti adalah
sebagai berikut :
1.
Populasi
Populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri atas : obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,2014).
Populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh perawat pelaksana diruang perawatan interna RSUD Labuang Baji makassar
dengan jumlah perawat 80 orang.
2.
Sampel
Sampel adalah bagian dari
jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin
mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana,
tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari
populasi itu (Sugiyono,2014). Jadi sampel
dalam penelitian ini adalah semua perawat pelaksana di ruang perawatan interna
RSUD Labuang Baji Makassar yang sesuai dengan kriteria inklusi.
3. Teknik sampling
Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam pengambilan
sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan
subjek penelitian (Nursalam, 2013).
Pada penelitian ini menggunakan teknik accidental sampling yaitu metode
pengambilan sampel dengan memilih siapa yang kebetulan ada/dijumpai (Nursalam,
2013).
4.
Kriteria
Inklusi dan Eksklusi
a.
Kriteria
Inklusi
1)
Semua
perawat pelaksana yang berada di ruangan perawatan interna.
2)
Bersedia
diteliti.
3)
Ditemui
pada saat penelitian berlangsung.
b.
Kriteria
Eksklusi
1) Perawat yang pada saat penelitian
berlangsung mengalami hambatan untuk diteliti.
2) Perawat yang sedang cuti.
3) Kepala ruangan.
D. Jenis dan Instrumen
Untuk mendapatkan informasi yang diinginkan, peneliti menggunakan kuesioner sebagai instrument pengumpulan
data yang dikembangkan berdasarkan literatur yang memuat pernyataan tentang hubungan
supervisi kepala ruangan dengan kinerja
perawat dalam pengimplementasian patient
safety. Kuesioner yang digunakan peneliti
merupakan kuesioner yang sebelumnya sudah digunakan pada beberapa penelitian.
Adapun pernyataan mengenai supervisi kepala ruangan berjumlah 32
pernyataan. Sedangkan pernyataan tentang kinerja perawat dalam
pengimplementasian patient safety berjumlah
11 pernyataan .
Dengan menggunakan pengukuran Skala Likert. Berdasarkan Skala Likert
jawaban “selalu” diberi skor 4, “Sering ” diberi skor 3, “jarang ” diberi skor
2, dan “Tidak pernah” diberi skor 1.
E.
Metode Pengumpulan Data
Dalam
penelitian dibutuhkan data-data pendukung yang diperoleh dengan suatu metode
pengumpulan data yang relevan. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu
membagikan kuesioner kepada responden untuk memperoleh data-data yang
dibutuhkan.
F.
Pengolahan Data
Setelah
data terkumpul kemudian peneliti mengadakan :
a.
Editing (Proses Penyutingan)
Editing adalah
kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir kuesioner sehingga jawaban
sudah lengkap, jelas, relevan dan konsisten.
b.
Coding (Pemberian Kode)
Coding adalah
kegiatan merubah dan membentuk huruf menjadi data berbentuk angka/bilangan.
c.
Tabulating
Tabulating
adalah data yang telah dikumpulkan di tabulasi dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi. Skala pengukuran yang digunakan adalah Skala Likert.
d.
Analisis adalah
data yang sudah dikumpulkan dan di-entry, di analisis menggunakan uji
statistik.
G. Analisa Data
Setelah dilakukan pengumpulan data maka
analisis data yang dilakukan dengan menggunakan komputer yaitu program
statistik all program for social science (SPSS)
yang akan dilakukan secara statistik deskriptif. Analisis data yang digunakan
meliputi:
a. Analisis Univariat
Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel dan hasil penelitian.
Analisis ini menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel yang di
teliti.
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan tiap-tiap variabel
bebas dan variabel tergantung dengan menggunakan uji statistik dengan tingkat
kemaknaan (α) : 0,05. Uji statistic yang digunakan adalah uji chi-square, menggunakan komputer program
SPSS.
H.
Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti
perlu membawa rekomendasi dari institusinya untuk pihak lain dengan mengajukan
permohonan izin kepada institusi lembaga tempat penelitian yang dituju oleh
penelitian. Bila subjek menolak, maka peneliti tidak boleh memaksa dan harus
tetap menghormati hak-hak subjek. Menurut Nursalam (2008) dalam Munawarah
(2015), etika penelitian antara lain terdiri atas tiga yaitu sebagai berikut:
1.
Informed consent
Lembar persetujuan ini diberikan kepada
calon responden yang akan diteliti. Respoden harus memenuhi kriteria inklusi.
Lembaran informed consent harus
dilengkapi judul penelitian dan manfaat penelitian.
2.
Anonymity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasian penelitian tidak mencantumkan nama
responden, tetapi pada lembaran tersebut diberikan kode.
3.
Confidentiality
Kerahasian informasi responden dijamin
oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai
hasil penelitian.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
A. Gambaran Umum Dan Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Labuang Baji Makassaadalah rumah sakit negeri kelas B. Rumah sakit ini mampu memberikan
pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis terbatas. Rumah sakit ini juga
menampung pelayanan rujukan dari rumah sakit kabupaten.Rumah Sakit ini terletak
di bagian selatan Kecamatan Mamajang Kota Makassar tepatnya di Jalan Dr.
Ratulangi No. 81 Makassar. Adapun
batas-batas geografis RSUD Labuang Baji Makassar adalah sebagai berikut:
a.
Sebelah utara berbatasan dengan Jalan Landak
Lama
b.
Sebelah timur berbatasan dengan Jalan Tupai
c.
Sebelah selatan berbatasan dengan Perumahan
Pendeta Ekss
d.
Sebelah barat berbatasan dengan Jalan Dr.
Ratulangi.
RSUD Labuang Baji Makassar merupakan
salah satu rumah sakit milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, rumah sakit
ini merupakan rumah sakit rujukan bagi masyarakat yang ada di Sulawesi Selatan
khususnya bagi pasien Jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat) dan Jamkesda (jaminan
kesehatan daerah) sehingga jumlah pasien yang masuk di RSUD Labuang Baji
Makassar rata-rata yaitu pasien rawat inap sebanyak 33 pasien/tahun, pasien
rawat jalan sebanyak 116/tahun, dan Instalasi Gawat Darurat (IGD) sebanyak 15paB.
B. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal
16 Juni sampai 16 Juli 2016 yang bertempat di ruang perawatan Interna Rumah
Sakit Labuang Baji Makassar. Sampel dalam penelitian ini adalah perawat
pelaksana di ruangan perawatan interna dengan jumlah sampel sebanyak 47 orang
perawat pelaksana yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.
Setelah dilakukan pengambilan data,
langkah berikutnya adalah pengolahan data untuk memperoleh hasil dari
penelitian. Pengolahan data menggunakan
program komputer SPSS. Selanjutnya hasil penelitian secara lengkap dalam bentuk
tabel meliputi analisis univariat dan bivariat untuk melihat hubungan antara
variabel independen terhadap variabel dependen dengan menggunakan rumus Chi-Square, dimana tingkat kemaknaan α =
0,05.
Adapun hasil
penelitian dapat dilaporkan sebagai berikut :
1.
Karakteristik
Responden
a.
Kelompok Usia
Distribusi reponden menurut kelompok umur
responden diruang perawatan Interna RSUD Labuang Baji Makassar dapat dilihat
pada tabel berikut :
Tabel 5.1
Karakteristik
Responden Berdasarkan Pengelompokan Umur Responden di Ruang Perawatan Interna
RSUD
Labuang Baji
Makassar 2016
Usia
|
Frekuensi
|
Persentase
(%)
|
21 – 35
Tahun
36 – 50
Tahun
|
33
14
|
70,2
29,8
|
Total
|
47
|
100
|
Sumber : Data Primer (Diolah Juni 2016)
Dari tabel 5.1 Menunjukan bahwa dari 47
responden yang terbanyak adalah kelompok usia 21 - 35 tahun berjumlah 33 orang
(70,2%). Dan yang terendah adalah kelompok usia 36 - 50 tahun berjumlah 14
orang (29,8%).
b.
Jenis Kelamin
Distribusi reponden menurut jenis kelamin
responden diruang perawatan interna RSUD Labuang Baji Makassar dapat dilihat
pada tabel berikut :
Tabel 5.2
Karakteristik
Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Responden di Ruang Perawatan Interna RSUD
Labuang Baji
Makassar Tahun 2016
Jenis
Kelamin
|
Frekuensi
|
Persentase
(%)
|
Laki – Laki
Perempuan
|
4
43
|
8,5
91,5
|
Total
|
47
|
100
|
Sumber : Data Primer (Diolah Juni 2016)
Dari tabel 5.2 Menunjukan bahwa dari 47
responden yang terbanyak adalah berjenis kelamin perempuan dengan jumlah 43
orang (91,5%). Sedangkan yang berjenis kelamin laki laki sebanyak 4 orang (8,5%).
c.
Pendidikan Terakhir
Distribusi reponden menurut pendidikan
terakhir responden diruang perawatan interna RSUD Labuang Baji Makassar dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.3
Karakteristik
Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Responden di Ruang Perawatan Interna RSUD
Labuang Baji Makassar Tahun 2016
Pendidikan Terakhir
|
Frekuensi
|
Persentase (%)
|
SPK
|
1
|
2,1
|
D.III Keperawatan
|
18
|
38,3
|
D.IV Keperawatan
|
2
|
4,3
|
S1. Keperawatan
|
8
|
17,0
|
Ners/Profesi
|
18
|
38,3
|
Total
|
47
|
100
|
Sumber : Data Primer (Diolah Juni 2016)
Dari
tabel 5.3 Menunjukan bahwa dari 47 responden yang terbanyak adalah yang
berpendidikan D.III Keperawatan dan profesi/Ners dengan jumlah masing-masing sebanyak
18 orang (38,3%) Dan yang terendah adalah yang
berpendidikan SPK sebanyak 1 orang (2,1%).
d.
Masa Kerja
Distribusi
reponden menurut masa kerja responden diruang perawatan interna RSUD Labuang
Baji Makassar dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.4
Karakteristik
Responden Berdasarkan Masa Kerja Responden di Ruang Perawatan Interna RSUD
Labuang
Baji Makassar
Tahun 2016
Masa Kerja
|
Frekuensi
|
Persentase
(%)
|
≤ 15 Tahun
> 15 Tahun
|
39
8
|
83,0
17,0
|
Total
|
47
|
100
|
Sumber : Data Primer (Diolah Juni 2016)
Dari tabel 5.4 Menunjukan bahwa dari 47
responden yang terbanyak adalah yang masa kerjanya ≤ 15 Tahun sebanyak 39 orang
(83,0%). Sedangkan yang masa kerjanya > 15 Tahun sebanyak 8 orang (17,0%).
e.
Status Kepegawaian
Distribusi reponden menurut status kepegawaian responden di ruang
perawatan interna RSUD Labuang Baji Makassar dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.5
Karakteristik
Responden Berdasarkan Status Kepegawaian Responden di Ruang Perawatan Interna
RSUD
Labuang Baji
Makassar Tahun 2016
Status Kepegawaian
|
Frekuensi
|
Persentase
(%)
|
PNS
Non PNS
|
21
26
|
44,7
55,3
|
Total
|
47
|
100
|
Sumber : Data Primer (diolah Juni 2016)
Dari tabel 5.5 menunjukkan bahwa dari 47 responden yang terbanyak adalah
status kepegawaian non PNS sebanyak 26 orang (54,3%). Sedangkan status
kepegawaian yang PNS sebanyak 21 orang (44,7%).
2.
Analisis
Univariat
a.
Supervisi Kepala Ruangan
Distribusi responden menurut supervisi kepala ruangan diruang perawatan
Interna RSUD Labuang Baji Makassar dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.6
Distribusi
Frekuensi Responden Berdasarkan Supervisi Kepala Ruang di Ruangan Perawatan
Interna RSUD
Labuang Baji
Makassar Tahun 2016
Variabel
|
Kategori
|
Frekuensi
|
Persentase (%)
|
Supervisi
|
Baik
|
29
|
61,7
|
Kurang Baik
|
18
|
38,3
|
|
Total
|
47
|
100
|
Sumber : Data Primer (diolah Juni 2016)
Dari
tabel 5.6 pada penelitian ini menunjukan bahwa dari 47 responden yang terbanyak
adalah responden yang menjawab supervisi baik yakni sebanyak 29 orang (61,7%).
Sedangkan responden yang menjawab supervisi kurang baik yakni sebanyak 18 orang
(38,3%).
b.
Kinerja perawat dalam pengimplementasian patient safety
Distribusi
responden menurut Kinerja perawat dalam pengimplementasian patient safety diruang perawatan interna RSUD Labuang Baji Makassar
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.7
Distribusi
Frekuensi Responden Berdasarkan Kinerja Perawat dalam Pengimplementasian Patient Safety di Ruang Perawatan
Interna RSUD Labuang Baji Makassar Tahun 2016
Kinerja Perawat dalam Pengimplementasian Patient Safety
|
Frekuensi
|
Persentase (%)
|
Baik
Kurang Baik
|
32
15
|
68,1
31,9
|
Total
|
47
|
100
|
Sumber : Data Primer (diolah Juni 2016)
Dari tabel 5.7 Menunjukan bahwa dari 47
responden yang terbanyak adalah yang kinerjanya baik yaitu sebanyak 32 orang (68,1%) sedangkan yang
kinerjanya kurang baik yaitu sebanyak 15 orang (31,9%).
3.
Analisis Bivariat
Analisis ini untuk mengetahui Hubungan Supervisi Kepala Ruangan dengan Kinerja
Perawat dalam Pengimplementasian Patient
Safety di Ruang Perawatan Interna RSUD Labuang Baji Makassar Tahun 2016.
Tabel 5.8
Distribusi
Hubungan Supervisi Kepala Ruangan dengan Kinerja Perawat dalam
Pengimplementasin Patient Safety di Ruang Perawatan Interna RSUD Labuang
Baji Makassar Tahun
2016
Supervisi Kepala Ruangan
|
Kinerja Perawat
|
P
|
|||||
Baik
|
Kurang Baik
|
Total
|
|||||
N
|
%
|
N
|
%
|
N
|
%
|
||
Baik
Kurang Baik
|
27
5
|
57,4
10,6
|
2
13
|
4,3
27,2
|
29
18
|
61,7
38,3
|
0,000
|
Total
|
32
|
68,1
|
15
|
31,9
|
47
|
100
|
Sumber : Data
Primer (diolah Juni 2016)
Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa dari 47 responden
yang diteliti terdapat responden yang memiliki pendapat supervisi kepala
ruangan baik dengan kinerja perawat dalam pengimplementasian patient safety juga baik yaitu sebanyak
27 orang (57,4%) dan responden dengan supervisi kepala ruangan kurang baik
dengan kinerja perawat dalam pengimplementasian patient safetykurang baik yaitu sebanyak 13 orang (27,2%). Kemudian
responden yang memiliki pendapat supervisi kepala ruangan kurang baik dengan
kinerja perawat dalam pengimplementasian patient
safety baik yaitu sebanyak 5 orang (10,6%) dan responden dengan supervisi
kepala ruangan baik dengan kinerja perawat dalam pengimplementasian patient safetykurang baik yaitu sebanyak
2 orang (4,3%). Dari uji statistik dengan menggunakan Chi-Square,diperoleh nilai P
= 0,000lebih kecil dari pada nilai α = 0,05. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa hipotesis alternatif diterima atau hipotesis nol ditolak berarti terdapat
hubungan antara supervisi kepala ruangan dengan kinerja perawat dalam
pengimplementasian patient safety.
C.
Pembahasan
Penelitian ini
melihat apakah ada hubungan pelaksanaan supervisi dengan kinerja pelaksanaan patient safety. Hasil analisis yang
telah dilakukan mengahasilkan P value sebesar
0,000. Jika dibandingkan dengan α = 0,05 maka 0,000 < 0,05. Maka Ho ditolak
dan Ha diterima, berarti ada hubungan supervisi kepala ruangan dengan kinerja
perawat dalam pengimplementasian patient
safety.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa
supervisi yang dilakukan oleh kepala ruangan di ruang perawatan interna RSUD
Labuang Baji Makassar tergolong baik. Sebanyak 29 (61,7 %) orang responden
menjawab supervisi masuk dalam kategori
baik, dan 18 (38,3 %) orang responden menjawab supervisi masuk
dalam kategori kurang baik. Hasil tersebut merupakan perkembangan yang baik
bagi pihak rumah sakit. Sebab Gibson (1987) telah mengungkapkan bahwa variabel
supervisi ini juga dapat mempengaruhi kinerja individu. Oleh karena itu
sebaiknya pihak rumah sakit tetap mempertahankan budaya supervisi ini. Menurut
Swansburg dan Swansburg (1999) dalam Suyanto (2009), supervisi dapat memberi
kemudahan dalam menyelesaikan-menyelesaikan tugas-tugas keperawatan. Supervisi
juga dapat membantu dalam menemukan berbagai hambatan/permasalahan dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan ruang perawatan khususnya tentang patient safety. Dengan demikian
diharapkan setiap perawat dapat memberikan asuhan keperawatan dengan baik,
terampil, aman, cepat, dan tepat secara menyeluruh.
Penelitian yang sama pernah dilakukan
oleh Irwandi, dkk (2013). Dengan judul penelitian “ Hubungan motivasi dan supervisi terhadap kinerja perawat pelaksana dalam
menerapkan patient safety di rawat inap RS Universitas Hasanuddin”, yang
menyatakan bahwa pelaksanaan supervisi memiliki andil terhadap kinerja
perawat. Makta, dkk (2013), di unit rawat inap RS. Stella Maris Makassar juga
menyatakan bahwa ada hubungan antara supervisi dengan kinerja perawat pelaksana.
Semakin baik supervisi yang dilakukan
maka kinerja pun akan semakin baik. Tetapi dalam penelitian ini sebanyak 2 (4,3%)
responden menjawab supervisi dalam kategori baik, namun kinerjanya kurang baik.
Dilihat dari karakteristik masa kerja dan status kepegawaian kedua responden
tersebut, bahwa masa kerja kurang dari 15 tahun, dan status kepegawaian non
PNS. Menurut Gibson (1997) dalam Nursalam (2014) salah satu faktor yang
mempengaruhi kinerja adalah pengalaman kerja, kepuasan kerja dan penghargaan. Semakin
sedikit masa kerja, maka akan semakin sedikit pula pengalaman kerja yang
didapat. Oleh karena itu masa kerja memiliki pengaruh terhadap kinerja. Hal ini
ditunjukkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (2013)dalam Arif
Sumarianto (2013) yang berjudul “Hubungan Pelaksanaan Supervisi Kepala Ruangan
terhadap Kinerja Perawat dalam Pendokumentasian Asuhan Keperawatan di Rumah
Sakit Tentara Wijayakusuma Purwokerto” yang menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan kinerja perawat pelaksana dalam
pendokumentasian asuhan keperawatan.
Adapula responden yang menjawab bahwa
supervisi dalam kategori kurang baik, tetapi kinerja dalam kategori baik
sebanyak 5 (10,6%) responden. Jika dilihat dari katakteristik responden
tersebut bahwa masing-masing memiliki umur antara 36-50 tahun. Menurut Gibson
(2005) dalam Ma’wah (2015) bahwa variabel umur mempengaruhi perilaku dan
kinerja individu. Pendapat ini juga didukung oleh Siagian (2008) yang
menyatakan ada kecenderungan yang terlihat bahwasemakin lanjut usia pekerja,
tingkat kinerja semakin baik karena pekerja yang lanjut usia akan semakin sulit
memenuhi karir baru di tempat lain. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Kanestran (2009) dengan judul “Analisis Hubungan Karakteristik Individu
dan Lingkungan Kerja Dengan Kinerja Perawat di Unit Rawat Inap RS Pertamina
Jaya” yang menunjukkan bahwa hubungan umur perawat dengan kinerja perawat
berpola positif artinya semakin bertambah umur semakin besar skor penilaian
kinerja.
Jadi menurut asumsi peneliti bahwa
supervisi yang baik akan menghasilkan kinerja perawat yang baik pula. Karena
supervisi yang baik akan mengarahkan, mengajarkan, membimbing, memotivasi kerja
perawat sehingga perawat dapat melakukan
tugasnya dengan efektif dan efisien.
Seperti hasil penelitian ini bahwa terdapat hubungan antara supervisi
dengan kinerja perawat dalam pengimplementasian patient safety.
BAB VI
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dengan judul Hubungan Supervisi Kepala Ruangan
dengan Kinerja Perawat dalam Pengimplementasian Patient Safety di Ruang Perawatan Interna RSUD Labuang Baji
Makassar Tahun 2016. Maka dapat disimpulkan bahwa :
1.
Supervisi
kepala ruangan dalam pengimplementasian patient
safety tergolong baik yakni sebanyak 29 (61,7%) responden menjawab
supervisi baik dari 47 responden.
2.
Kinerja
perawat dalam pengimplementasian patient
safety juga tergolong baik yakni sebanyak 32 (68,1%) responden yang
menjawab kinerja baik dari 47 responden.
3.
Ada
hubungan supervisi kepala ruangan dengan kinerja perawat dalam
pengimplementasian patient safety dengan
nilai p = 0,000 < α = 0,05.
B. Saran
Dari hasil penelitian yang telah
diperoleh maka peneliti memberikan beberapa saran :
1.
Bagi
Rumah Sakit
Melakukan
penilaian supervisi kepala ruangan secara berkala di setiap unit pelayanan
keperawatan sebagai media komunikasi.
2.
Bagi
Kepala Ruangan
a.
Kepala
ruangan sebaiknya meningkatkan kemampuan perawat pelaksana dan memberikan
perhatian yang penuh terkait dengan tugas perawat pelaksana sehari-hari dan
tetap melakukan pengawasan, observasi dan penilaian setiap waktu.
b.
Kepala
ruangan sebaiknya sering melibatkan perawat pelaksana dalam aktivitas
sehari-hari terkait dengan pengimplementasian patient safety.
c. Kepala ruangan (supervisor)
sebaiknya melakukan penilaian secara objektif kepada perawat pelaksana.
3.
Bagi
perawat Pelaksana
Menunjukan
sikap yang loyal terhadap rumah sakit, loyal terhadap pekerjaan dan loyal
terhadap pasien yang dilayani dalam
memberikan asuhan keperawatan dengan cara melakukan pengimplementasian
keselamatan pasien yang aman dan baik sesuai dengan standar yang ditetapkan.
4.
Bagi
Peneliti Selanjutnya
Diharapkan
apabila melakukan penelitian untuk mengukur supervisi kepala ruangan maka yang
harus memberi penilaian tersebut adalah perawat pelaksana yang bekerja diruang
perawatan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Dermawan, Deden.
2012. Proses Keperawatan Penerapan Konsep
&
Kerangka Kerja. Yogyakarta : Gosyen Publishing
Kerangka Kerja. Yogyakarta : Gosyen Publishing
Nuha Medika
Nursalam. 2014. Manajemen Keperawatan Aplikasi Dalam Praktik
Keperawatan Profesional,
Edisi 4. Jakarta : Salemba Medika
. 2013. Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan
Praktis, Edisi 3. Jakarta : Salemba Medika
Praktis, Edisi 3. Jakarta : Salemba Medika
Jumaini & Purnamasari. 2014. “Hubungan Supervisi Kepala Ruangan Dengan
Motivasi Kerja Perawat Di Ruang Rawat Inap”. Ilmu keperawatan, Jom Psik, 1 (2), 1-9. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=186660&val=6447&title=hubungan%20supervisi%20kepala%20ruangan%20dengan%20motivasi%20kerja%20perawat%20di%20ruang%20rawat%20inap. Diakses 1 mei 2016
Priyonto & Tri Widyastuti. 2014. Kebutuhan
Dasar Keselamatan Pasien. Yogyakarta : Graha Ilmu
Sugiyono. 2014. Metode
Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D.
Bandung : Alfabeta
Bandung : Alfabeta
Ma’wah.
2015. “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Kinerja Perawat Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum (RSU) Kotta Tangerang
Selatan”. Skripsi publikasi. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidaayatullah Jakarja. http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29456/1/miftakhul%20ma%e2%80%99wah-fkik.pdf. Diakses 3 mei 2016
Depkes RI. 2006. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah
Sakit (Patient Safety). Jakarta.
Depkes RI. http://www.inapatsafety-persi.or.id/data/panduan.pdf. Diakses 27 April 2016
Permenkes RI. 2011. Keselamatan
Pasien Rumah Sakit. Menteri Kesehatan. http://202.70.136.86/bprs/uploads/pdffiles/21%20pmk%20no.%201691%20ttg%20keselamatan%20pasien%20rumah%20sakit.pdf. Diakses 28 April 2016
Hidayat. 2007. Riset Keperawatan dan Tekhnik Penulisan
Ilmiah, Edisi 2. Jakarta : Salemba medika
Sumijatun. 2011. Membudayakan Etika dalam Praktek Keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika
Ram Marnex Tampilang dkk . 2013. Hubungan
Supervisi Kepala Ruangan Dengan Kepuasan Perawat Pelaksana Di RSUD Liunkendage Tahuna ; Jurnal
e-NERS (eNS), 1 (1), 21-26. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=81491&val=999. Diakses1 mei 2016
Julkifli, dkk. 2013. Faktor
Yang Berpengaruh Terhadap Kinerja Perawat
Di Rumah Sakit Tingkat Iii 16.06.01 Ambon. Jurnal AKK, 2 (1),18-26.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=94557&val=2172. Diakses tanggal 12 Mei 2016
Rattu dkk
2015. Analisis Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kinerja Perawat Dalam
Menerapkan Asuhan Keperawatan Di Rumah Sakit Umum Bethesda Gmim Tomohon ; Jurnal e-Biomedik (eBm), 3 (3), 884-894. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ebiomedik/article/viewFile/.../10066+&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id. Diakses
4 mei 2016
Munawarah,
2015. Hubungan Strategi
Supervisi Kepala Ruangan Dengan Pendokumentasian Asuhan Keperawatan Di Ruang Perawatan Interna Dan Bedah Rsud
Labuang Baji Makassar. Skripsi Tidak Dipublikasi. STIKes Mega Rezky Makassar.
Arif Sumarianto, 2013. Hubungan Pengetahuan Dan Motivasi Terhadap
Kinerja Perawat Dalam Penerapan Program Patient
Safety Di Ruang Perawatan Inap Rumah Sakit Umum Daerah Andi Makassau
Parepare Tahun 2013. Skripsi
Publikasi. http://repository.unhas.ac.id:4001/digilib/files/disk1/166/--arifsumari-8289-1-14-arif-o.pdf. Diakses tanggal 1 Mei 2016
Irwandi dkk. 2013. Hubungan Motivasi Dan Supervisi Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana
Dalam Menerapkan Patient Safety Di
Rawat Inap Rs Universitas Hasanuddin Tahun 2013. Bagian Manajemen Rumah
Sakit Fakultas
Kesehatan Masyarakat UNHAS, Makassar. http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/5420/qalbia%20m.%20nur_hubungan%20motivasi%20supervisi_140613.pdf. Diakses tanggal 28 April 2016
Pratiwi. 2015. Hubungan Supervisi
Kepala Ruangan Dengan Penerapan Keselamatan Pasien Di Ruang Rawat Inap Rumah
Sakit Paru Jember. skripsi publikasi. http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/67125/eka%20desi%20pratiwi-112310101053.pdf. Diakses
tanggal 29 April 2016
Syahafdal, 2015. Budaya Keselamatan Pasien Di Rsud Labuang Baji Makassar. Departemen
Manajemen Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat
UNHAS, Makassar. http://repository.unhas.ac.id:4001/digilib/files/disk1/370/--syahafdhal-18458-1-jurnal28-).pdf. Diakses tanggal 30
April 2016
Kapalawi dkk, 2013. Pengaruh
Motivasi Kerja Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Di Unit Rawat Inap Rs. Stella
Maris Makassar Tahun 2013. Bagian Manajemen Rumah sakit Fakultas
Kesehatan Masyarakat UNHAS, Makassar. http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/5921/jrnal.pdf. Diakses tanggal 27 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar